RUU
Pendidikan Tinggi Bermasalah
SECARA historis, kehidupan pembelajaran pendidikan
tinggi di berbagai kampus Indonesia baik negeri maupun swasta tidak pernah
terlepas dari intervensi pola pengaturan oleh negara. Pada 1970an, pemerintah
Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef
mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Tujuan NKK itu menghentikan sikap skeptis dan
kritis mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan Orde Baru dengan membubarkan
semua organisasi kemahasiswaan baik internal maupun eksternal, yang kemudian
disatukan dalam satu wadah bernama senat akademik universitas yang langsung di
bawah kendali mendikbud. Kebijakan NKK dan pembentukan senat akademik
universitas secara langsung melakukan depolitisasi kampus dengan mengajak
mahasiswa menghentikan sikap idealisme dan berpikir pragmatis hanya belajar,
lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan.
Belum lagi, hal tersebut ditambah pemaksaan
ideologi bagi mahasiswa dengan adanya penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dalam ujian sa ringan perguruan tinggi dengan
mahasiswa diwajibkan menghafal setiap bait teks P4 tersebut. Pada era reformasi
sekarang ini, perilaku intervensionisme negara terhadap kampus boleh dibilang
lebih parah karena sudah melibatkan aktor asing dan logika kapitalisme sudah
merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum pendidikan.
Tentunya, kita masih ingat bagaimana pemerintah
memaksakan kampus negeri dan swasta harus membiayai operasionalisasi kegiatan
belajarmengajar (KBM) di kampus dengan melepaskan fungsi subsidi alokasi
anggaran melalui UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian g digugat
itu. Status badan hud kum yang disematkan kepada kampus sendiri menyimbolkan
kampus sudah layaknya korporasi terselubung dengan perguruan tinggi (PT)
berganti makna menjadi perseroan tinggi.
Kalau demikian adanya, kita sudahi dan
rekonstruksi ulang saja makna tridharma pendidikan tinggi yang selama ini
menjadi dogma pendidikan tinggi Indonesia--yakni penelitian, pendidikan, dan
pengabdian kepada masyarakat-menjadi pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada yang mbayar. Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS sebagaimana yang
diatur RUU PT menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi lembaga nirlaba,
melainkan lembaga profit oriented.
Intervensionisme
Pendidikan
Adanya rancangan UU Pendidikan Tinggi yang akan
disahkan DPR ini boleh dibilang merupakan NKK jilid 2. Dalam RUU tersebut
independensi kampus ketika melaksanakan fungsi dalam penelitian dan pendidikan
sudah diawasi mendikbud. RUU PT sudah cukup tegas terdapat pasal-pasal subversif
yang dinilai mengacaukan sistem pendidikan kampus, baik Pasal 9 ayat 2 dan ayat
4 maupun Pasal 16 ayat 3 dalam rancangan UU PT mengatakan menteri berhak tahu
dan awas terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang
dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Keberadaan menteri selaku wakil pemerintah dalam
mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik itu saja sudah kontradiktif. Itu sudah
menjadi urusan kampus yang bersangkutan. Hal itu sama saja dengan menteri
bertindak subjektif terhadap pemilahan rumpun ilmu pengetahuan yang dinilai
tidak membahayakan pemerintah. Sama saja pihak universitas dipasung dan tidak
bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam menghasilkan produk pengetahuan yang
bermutu dan berguna bagi masyarakat.
Baik Pasal 20 yang berisi enam ayat maupun Pasal
32 yang berisi tiga ayat menjelaskan menteri berhak mengevaluasi dan mengawasi
pendidikan tinggi kampus dalam menjalankan tridharma pendidikan maupun dalam
upaya menjalin kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, yakni dunia usaha dan
dunia industri.
Pasal itu bisa dikatakan hipokritis dan slapstick
mengingat pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi
kampus dalam mencari sumber mandiri. Sama saja pemerintah menjilat ludah
sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber mandiri akibat
pemerintah pelit, kemudian dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi
pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan
pihak pemerintah. Sekarang ini saja, mau kuliah di PTN dan PTS saja sudah
membuat dahi orangtua berkerut melihat besaran sumbangan peningkatan mutu
akademik (SPMA) yang tidak logis untuk sekadar mendapat titel sarjana dan
diploma.
Menaikkan digit angka sumbangan SPMA merupakan
modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk mencari dana mandiri sejak subsidi
dicabut. Imbasnya kemudian hanya sosialita kelas menengah atas yang berhak
kuliah, sementara yang miskin dimarginalkan dari arena tersebut. Hal yang perlu
untuk disoroti secara tegas ialah longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap
keberadaan lembaga pendidikan tinggi asing yang terus melakukan ekspansi ke
Indonesia.
Dimensi yang kentara dari ekspansi tersebut ialah
makna pendidikan tinggi di kampus kini sudah layaknya industri waralaba yang
saban tahunnya mencetak sarjana siap jadi tanpa ada kejelasan masa depan.
Logika orientasi bisnis semakin semerbak dengan PTN/PTS dihadapkan pada
persaingan tinggi dengan PT asing yang konon katanya akan meningkatkan mutu
pendidikan tinggi di Indonesia.
Jika substansi utama RUU PT itu meningkatkan
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, tak usahlah ada intervensi pemerintah
dan kompetisi dengan PT asing. Pemerintah perlu menggenjot dana hibah yang
besar kepada kampus untuk melaksanakan tugasnya seperti yang termaktub dalam
tridharma pendidikan tinggi. Biarkan kampus mengelola tata laksana KBM sendiri
tanpa direcoki pemerintah. Kampus lebih tahu dan paham bagaimana caranya
meningkatkan kualitas pendidikan daripada pemerintah.
Warjati
Suharyono
Pengamat
pendidikan pada Lingkar Kajian Profetik UGM
MEDIA INDONESIA,
14 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi