Otonomi kampus adalah ruh suatu perguruan
tinggi. Otonomi kampus tidak sekadar kebebasan mimbar akademik, tetapi juga
otonomi non-akademik, antara lain di bidang keuangan, sumber daya manusia,
serta pengembangan sarana dan prasarana.
Meski saat ini otonomi kampus diatur dalam
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, masih ada resistansi
terhadap UU itu, khususnya terkait isu komersialisasi dan liberalisasi
pendidikan. Karena itu, penulis mencoba memaparkan alasan mengapa otonomi
non-akademik sangat dibutuhkan secara faktual berdasarkan pengalaman dalam
mengelola perguruan tinggi negeri (PTN).
Karakteristik unik PTN yang berbeda dengan
satuan kerja pemerintah lain membutuhkan otonomi non-akademik yang lebih luas.
Namun, peraturan yang ada cenderung kurang bisa mengakomodasi dan bahkan
membatasi gerak PTN melakukan Tri Darma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat) perguruan tinggi dengan baik.
Untuk mendapatkan otonomi non-akademik, PTN
dihadapkan pada pilihan untuk bermain di dalam ”rumah” atau di luar ”rumah”
peraturan yang sudah ada. Pilihan pertama jelas kurang mengakomodasi dinamika
PTN. Koridor yang harus dilewati antara lain UU No 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Begitu penerimaan PTN masuk kategori penerimaan negara bukan
pajak, segala peraturan di bawahnya akan memagari gerak PTN, seperti dalam hal
pengadaan barang dan jasa, penganggaran, dan pelaporan keuangan.
Pilihan kedua lebih masuk akal, yaitu PTN
dibuatkan ”rumah” peraturan tersendiri. Rumah baru itu saat ini
dimanifestasikan dalam bentuk PTN berbadan hukum yang diatur UU No 12 Tahun
2012. Dengan kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah, PTN badan hukum
bisa memiliki aturan main yang lebih sesuai dengan karakteristiknya dan
memungkinkan untuk berkembang lebih baik. Kebutuhan akan otonomi non-akademik
bagi PTN badan hukum sebenarnya merupakan amanah UU No 12 Tahun 2012 Pasal 89
Ayat 3, yang menyatakan, perlu ditetapkan PP tentang bentuk dan mekanisme
pendanaan PTN badan hukum.
Empat
Alasan Pokok
Pentingnya otonomi non-akademik tercermin dari
berbagai kondisi berikut. Pertama, tahun anggaran pemerintah, Januari sampai
Desember, tak sama dengan tahun akademik (tahun ajaran) yang dimulai Juli
sampai Juni tahun berikutnya. Di PTN biasa, pada akhir tahun sisa saldo kas
harus disetorkan kembali ke negara. Di sisi lain, sering kali kegiatan Tri
Darma—misalnya riset atau ujian tetap—harus berjalan awal tahun. Padahal, dana
DIPA sering kali belum cair.
Terkait perbedaan siklus itu, bagi auditor,
pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa di laporan keuangan akhir tahun
PTN badan layanan umum atau eks badan hukum milik negara (BHMN) menyisakan
saldo kas? Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan saldo kas PTN itu adalah
keuntungan. Perlu diketahui, saldo kas tersebut adalah bagian dari penerimaan
tahun ajaran berjalan untuk semester kedua. Situasi semacam ini menunjukkan
institusi pendidikan, khususnya PTN, tidak dapat disamakan perlakuannya dengan
institusi pemerintah lainnya.
Kedua, sisi permasalahan sumber daya manusia.
Meski PTN badan hukum (dulu PT BHMN) bisa merekrut dosen dan tenaga
kependidikan, karier dan penggajian tak bisa disinkronkan dengan sistem
penggajian PNS. Sistem anggaran pemerintah bukan block grant yang memberi
otonomi kepada PTN untuk menggunakan anggarannya.
Ketiga, sistem pelaporan keuangan pemerintah
kurang bisa mengakomodasi laporan keuangan PTN yang bisa lebih kompleks
dibandingkan laporan keuangan satuan kerja pemerintah. Dalam menjalankan Tri
Darma, PTN bisa punya rumah sakit, asrama, wisma, laboratorium, dan unit usaha.
Konsekuensinya, dalam hal sistem pelaporan keuangan, PTN membuat laporan yang
menggunakan standar akuntansi nirlaba, yaitu PSAK 45 dan standar akuntansi
instansi. Kewajiban akuntabilitas dengan membuat dua jenis laporan keuangan
tersebut sangat tidak efisien waktu dan tenaga. Kerumitan ini ditambah dengan
kewajiban untuk dikonsolidasikan pada laporan keuangan kementerian/lembaga yang
hanya mengacu pada standar akuntansi instansi.
Keempat, ketika keuangan PTN mengacu kepada UU
Keuangan Negara, proses pengadaan barang dan jasa harus mengikuti peraturan
pemerintah yang belum tentu cocok dengan siklus akademik dan kebutuhan
hilirisasi produk penelitian. Dengan otonomi non-akademik, PTN bisa merancang
sistem pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan karakteristiknya.
Sebagai PTN yang pernah menjadi BHMN, banyak
manfaat yang dirasakan dari otonomi non-akademik. Di bidang keuangan, sebagai
contoh, penggunaan dana internal bisa menalangi keterlambatan cairnya beasiswa
mahasiswa dan dosen yang tugas belajar. Di kegiatan kemahasiswaan, kegiatan
yang sangat dinamis sering kali tidak terakomodasi di sistem penganggaran
pemerintah yang jadwalnya sangat kaku dan nilainya kurang memadai.
Sebenarnya, sejak 2000 pemerintah melalui PT
BHMN telah mencoba memberi otonomi akademik dan non-akademik yang lebih besar
kepada beberapa PTN. Otonomi tersebut telah memberikan dampak positif terhadap
kinerja PT BHMN, misalnya, tercermin dalam sejumlah indikator seperti
akreditasi dalam dan luar negeri.
Cermin
Prinsip Demokrasi
Tentu saja harus diakui, prestasi PT BHMN itu
tidak lepas dari sejumlah kritik, misalnya komersialiasi kampus. Namun, kritik
tersebut dijawab pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain
penghapusan uang pangkal di PTN dan pemberian beasiswa Bidik Misi kepada
mahasiswa tidak mampu. UGM juga telah membuka akses bagi mahasiswa tidak mampu
dengan memberi beasiswa dan menerima mahasiswa Bidik Misi yang jumlahnya
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Secara kelembagaan, otonomi non-akademik dalam
bentuk PTN badan hukum lebih mencerminkan prinsip demokrasi, desentralisasi,
dan check and balance. Otonomi tersebut memberi peran serta kepada masyarakat,
termasuk mahasiswa, untuk ikut dalam pengawasan pengelolaan PTN melalui Majelis
Wali Amanat. Upaya untuk membatalkan pasal-pasal terkait PTN badan hukum akan
mengebiri peran mahasiswa, alumni, dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan
PTN badan hukum.
Selain itu, kekhawatiran akan adanya
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di balik UU No 12 Tahun 2012
merupakan hipotesis yang perlu diuji lebih lanjut dengan data empiris. Dugaan
dan prasangka bukanlah bukti empiris yang layak dijadikan alat untuk menguji
hipotesis secara ilmiah.
Akhirnya, mari kita lihat permasalahan otonomi
pendidikan tinggi ini secara jernih, arif, dan komprehensif. Sejarah akan
mencatat siapa pihak yang menjadi pendukung kemajuan dan kemandirian bangsa
melalui pendidikan tinggi dengan tetap memberikan otonomi yang menyeluruh.
Akankah sejarah mencatat hal yang sebaliknya?
Didi
Achjari ;
Wakil
Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi UGM
KOMPAS,
13 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi