RUU
Perguruan Tinggi yang Problematik
Dewan Perwakilan Rakyat RI akhirnya mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) pada 13 Juli 2012 dalam suatu
sidang yang singkat, sehingga para mahasiswa yang berencana melakukan aksi
penolakan pun kecele: RUU PT itu telah disahkan ketika mahasiswa baru memasuki
pintu gerbang DPR untuk menggelar demo penolakan. Info yang diterima sebelumnya
adalah RUU PT akan disahkan setelah Jumatan, tapi ternyata sebelum Jumatan
telah disahkan. Ini menunjukkan bahwa proses pengesahan RUU PT tersebut seperti
main kucing-kucingan.
Meskipun telah disahkan menjadi UU, resistansi
terhadap keberadaan UU PT ini tetap tinggi. Bahkan resistansi itu semakin
besar. Yang menarik adalah perkembangan kelompok yang menolak RUU PT. Sampai
April 2012, kelompok yang menolak RUU PT itu hanya berasal dari mahasiswa dan
aktivis yang dulu juga menolak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Tapi, setelah
April, kelompok penolak itu bertambah, dari para civitas academica perguruan
tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Menariknya lagi, dasar penolakan
keduanya adalah pada kata “otonomi”.
Kelompok pertama, yang sejak awal menolak RUU PT,
menilai UU PT ini merupakan jelmaan baru dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Kata “otonomi” yang ada dalam UU PT
dipersepsikan akan menimbulkan komersialisasi pendidikan tinggi. Persepsi
tersebut tidak salah karena didasari pengalaman satu dekade terakhir terhadap
pelaksanaan PT BHMN. Anggapan itu cukup mendasar karena beberapa pasal dalam UU
PT masih mengakomodasi pasal-pasal dalam UU BHP, hanya dengan perubahan
kalimat, seperti pembentukan badan hukum (pendidikan tinggi), badan usaha,
penerimaan mahasiswa baru dengan jalur lain di luar seleksi bersama, dan
penerapan kontrak kerja dosen. Kelompok ini meyakini bahwa pengesahan RUU PT
hanya melegitimasi praktek-praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini
diperankan oleh PT BHMN. Dengan dalih otonomi kampus, PT BHMN memiliki
kebebasan menerima mahasiswa melalui jalur mandiri yang mahal itu.
Bagi kelompok kedua, setidaknya ini
direpresentasikan oleh sejumlah akademisi dari Universitas Indonesia dan ITB,
menolak keberadaan UU PT ini karena dinilai terlalu mengekang otonomi kampus.
Bagi mereka, otonomi perguruan tinggi itu bersifat kodrati, melekat pada
keberadaan perguruan tinggi itu sendiri. Artinya, sesuatu yang given, seperti
hak asasi manusia. Sebagai hal yang sifatnya kodrati, negara (baca: pemerintah)
tidak bisa melarang, tapi sebaliknya, justru harus mendorong, memfasilitasi,
dan menjamin otonomi kampus. Otonomi tersebut mencakup otonomi akademik
(kebebasan akademik) maupun non-akademik (anggaran, pengelolaan keuangan, staf,
dll).
Kelompok ini meyakini bahwa intervensi pemerintah
yang terlalu jauh akan mengerdilkan keberadaan perguruan tinggi, yang mempunyai
tugas mencari kebenaran. Mereka khawatir kebebasan akademik pun akan terancam,
seperti pada masa Orde Baru dulu, bila negara terlalu mengintervensi. Dengan
kata lain, kelompok kedua ini menolak UU PT justru karena otonomi dikebiri oleh
pemerintah. Ini berbeda sekali dengan kelompok pertama, yang menolak UU PT
justru karena menilai negara terlalu memberi kebebasan kepada PTN, terutama
BHMN, sehingga PTN-PTN tersebut semakin sulit diakses oleh publik karena
terlalu mahal. Jadi sama-sama menolak keberadaan UU PT dengan berpangkal pada
kata “otonomi”, tapi dengan persepsi yang berbeda. Yang pertama, mempersepsikan
otonomi sebagai bentuk komersialisasi dan itu didasarkan pada pengalaman;
sedangkan yang kedua justru berjuang tentang pentingnya otonomi perguruan
tinggi untuk kemajuan pendidikan tinggi itu sendiri.
Problematik
Pertanyaan yang selalu dikemukakan kepada penulis
oleh para jurnalis adalah mengapa RUU/UU PT ini ditolak? UU PT ini sebetulnya
jelmaan dari UU BHP yang telah dibatalkan oleh MK guna memberi payung hukum
kepada PT BHMN yang selama ini hanya didasari peraturan pemerintah (PP) di
masing-masing PTN. Payung hukum yang kuat itu semula didapatkan pada UU BHP.
Tapi, karena UU BHP dibatalkan oleh MK, kembali pada PP di masing-masing PTN.
Dan, melalui PP Nomor 66/2010, pemerintah mengamanatkan agar PT BHMN kembali menjadi
PTN dengan masa transisi dua tahun, atau terakhir adalah 31 Desember 2012.
Amanat untuk kembali ke PTN itu ternyata
menimbulkan resistansi terhadap para pimpinan PT BHMN. Karena itu, mereka
kemudian mendesak DPR segera membuatkan payung hukum baru sebelum masa transisi
tersebut terlaksana. Maka, sejak akhir 2010, muncullah konsep RUU tentang
Pengelolaan Perguruan Tinggi, sebagai pengganti UU BHP, yang hanya mengatur
masalah tata kelola. Tapi, pada perkembangannya, muncul perluasan konsep, RUU
tersebut bukan hanya mengatur masalah tata kelola, tapi juga keseluruhan
persoalan di perguruan tinggi. Maka kemudian nama RUU-nya pun berubah menjadi
RUU tentang Perguruan Tinggi, dan selanjutnya berubah lagi menjadi RUU
Pendidikan Tinggi. Ditargetkan, RUU tersebut dapat disahkan paling lambat pada
Desember 2011. Tapi, karena berbagai kendala, hal itu ditunda. Bila kemudian
RUU tersebut disahkan pada Juli 2012, ini tidak lain agar sah dan siap
diimplementasikan sebelum akhir 2012. Dengan adanya UU PT yang baru ini, maka
PT BHMN yang seharusnya balik menjadi PTN, tidak perlu terjadi. Mereka tetap
berstatus sebagai PT BHMN. Bahkan PT BHMN yang saat ini telah kembali menjadi
PTN, seperti ITB dan UI, dengan adanya UU PT ini, mereka diamanatkan kembali
menjadi PT BHMN dengan masa transisi maksimal dua tahun.
Pengesahan RUU PT menjadi UU ini bagi publik
sebetulnya menimbulkan problem. Pertama, pengesahan RUU PT menjadi UU baru
tidak memberi perubahan kondisi yang lebih baik dari yang ada sekarang, kecuali
melegitimasi praktek-praktek yang telah dijalankan oleh PT BHMN ataupun PTN-PTN
umumnya yang sudah mulai mematok biaya masuk kuliah cukup tinggi dengan
menerapkan sistem penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri. Keberadaan
pasal yang mengatur bahwa PTN-PT BHMN wajib menerima sekurang-kurangnya 20
persen dari keluarga tidak mampu sesungguhnya makin memperkuat persepsi publik
bahwa PT BHMN hanya untuk yang kaya. UU PT ini dapat bermakna bagi publik bila
ada satu pasal saja yang dapat menjamin kepala SD/SMP dapat menyekolahkan
anaknya di fakultas kedokteran dengan biaya yang terjangkau seperti pada masa
lalu. Dengan kata lain, ada UU PT atau tidak, sama sekali tidak berdampak
apa-apa terhadap masyarakat luas.
Kedua, bagi PT BHMN sendiri, UU PT ini menjadi
problematik ketika masalah penyusunan statuta saja harus mendapat pengesahan
dari menteri. Di satu sisi, PT BHMN diberi kebebasan melalui otonomi yang luas,
tapi di sisi lain otonomi mereka dikendalikan oleh menteri melalui PP atau
peraturan menteri.
Ketiga, pengaturan mengenai tenaga dosen dan
administrasi yang didasarkan pada sistem kontrak tidak akan menjamin kualitas
PTN menjadi lebih baik, sebaliknya bisa menurun. Keterbatasan dana PT yang
bersangkutan menyebabkan PT tersebut tidak mampu membayar gaji dosen secara
profesional dan mampu menyekolahkan sampai tingkat doktor. Pengalaman para
tenaga PT BHMN selama ini, mereka ternyata memperoleh gaji lebih rendah
daripada gaji dosen PNS, dan kesempatan untuk bersekolah harus mereka cari
sendiri dengan berburu beasiswa dari luar negeri. Jadi, baik gaji maupun
imbalan lain yang diterima oleh para dosen PT BHMN sangat tidak menarik. Siapa
yang akan tertarik menjadi dosen?
Kondisi yang sama buruk dialami oleh perguruan
tinggi swasta (PTS). Bagi PTS, ada atau tidak ada UU PT sama sekali tidak akan
membuat perhatian pemerintah terhadap PTS meningkat. Yang terjadi sebaliknya,
pemerintah justru menegerikan PTS-PTS yang sudah maju. Karena problematik,
tidak terelakkan bila pengesahan RUU PT ini akan berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Darmaningtyas
Penulis
Buku ‘Tirani Kapital dalam Pendidikan’
KORAN
TEMPO, 16 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi