Ketertutupan
Pungutan di Arena Pendidikan
IBU paruh baya, Musnada, 35, yang sehari-hari
berjualan jamu gendong, pada Selasa, 26 Juli 2011, mendatangi Sekolah Dasar
Negeri Kotakusuma, Sangkapura, Gresik, Jawa Timur. Tak lupa ia menjinjing
sebuah kursi plastik warna biru yang ia beli secara kredit untuk disumbangkan
ke sekolah.
Musnada tidak tahu-menahu bahwa sekolah tempat
putranya, Andika Imam Taufik, 9, belajar, memungut uang Rp55 ribu guna pembelian
kursi plastik. Keputusan itu konon sudah final dan disepakati antara wali murid
dan sekolah. Kebetulan pada pertemuan yang membahas sumbangan sekolah, Musnada
tidak bisa hadir karena harus berjualan jamu.
Menurut penuturan putranya, sekolah juga menarik
iuran sebesar Rp324.000 yang Musnada tidak mengetahui peruntukannya. Awalnya ia
takut saat dipanggil ke sekolah. Ia takut jika dimintai uang yang tak akan
sanggup ia bayar. Akhirnya, setelah didampingi LSM Gerbang Bawean, Musnada
memberanikan diri ke sekolah. Di sekolah ia memohon keringanan biaya. Tampaknya
negosiasi itu tak membuahkan hasil. Sekolah hanya menyarankan Musnada, yang
merupakan orangtua tunggal, membuat surat keterangan tidak mampu dari desa setempat.
Tak lupa Musnada menyerahkan Rp200 ribu untuk mencicil sumbangan sekolah yang
ia peroleh dari para dermawan.
Miris memang. Musnada hanya rakyat kecil yang bisa
makan dalam sehari saja sudah untung. Meski demikian, sebagai orangtua, ia tak
rela anaknya bodoh lantaran tak sekolah. Dengan cara apa pun ia bertekad
menyekolahkan anaknya, kalau perlu sampai ke perguruan tinggi.
Orang seperti ia pasti akan bahagia saat melihat
tayangan televisi yang mengabarkan bahwa sekolah sudah digratiskan. Musnada dan
ribuan orang kecil seperti dirinya pasti juga lega karena mengira kaum seperti
mereka bisa menyekolahkan anak tanpa harus memikirkan biaya.
Namun, ternyata kabar yang didengarnya dari
stasiun televisi salah. Bayangan bahwa anaknya kelak menjadi orang pintar sirna
sudah. Sebab, ternyata sekolah tak lebih dari lintah darat. Sekolah selalu
memungut biaya-biaya yang kadang tak dipahami para orangtua untuk apa
sebenarnya uang yang mereka setorkan. Musyawarah yang diadakan pihak sekolah
hanya formalitas. Pasalnya, dalam musyawarah tidak ada tawar-menawar atau
negosiasi, melainkan langsung ketok palu.
Kita tahu apa yang menimpa Musnada hanya fenomena
puncak gunung es. Masih ada ribuan kasus serupa yang tak pernah mencuat ke
publik. Oleh masyarakat, pungutan sekolah sudah dianggap sebagai kewajaran.
Para orangtua pun, lantaran tingkat pendidikannya rata-rata rendah, sering kali
manut mengikuti apa saja kebijakan sekolah.
Gertak
Sambal
Praktik pungutan liar (pungli) di sekolah saat
penerimaan siswa baru (PSB) dan tahun ajaran baru tampaknya sulit dihi langkan.
Kendati pemerintah tegas melarang sekolah menarik iuran bagi siswa di sekolah
penerima dana bantuan operasional sekolah (BOS), pungli tetap terjadi. Biasanya
pungli mengatasnamakan bantuan `sukarela' (tetapi memaksa) untuk pembangunan
sekolah, pembelian seragam, lembar kerja siswa (LKS), subsidi, dan lain-lain.
Menurut ketentuan Kementerian Pendidikan
Kebudayaan (Kemendikbud), bantuan dari masyarakat sifatnya sukarela, tidak
mengikat, dan jumlah tidak boleh ditetapkan. Waktu pelaksanaannya pun bisa
kapan saja, tidak harus menunggu momentum tahun ajaran baru (fleksibel). Pendek
kata, tidak ada kewajiban bagi orangtua menyetor uang dalam jumlah tertentu,
apalagi dengan tujuan agar anaknya lolos seleksi PSB.
Setiap tahun menjelang tahun ajaran baru, tak lupa
Kemendikbud mengeluarkan surat edaran yang melarang sekolah menarik iuran dari
orangtua. Tidak sekali-dua kali Kemendikbud ataupun dinas pendidikan daerah
berjanji akan menindak tegas sekolah yang melanggar saat ada pengaduan dari
masyarakat soal praktik pungli. Hasilnya? Nihil. Pungli tetap marak, bahkan
dinas pendidikan daerah atau kepala daerah yang diamanati mengawasi aturan itu
terkesan menutup-nutupi. Komitmen pemerintah untuk menghapus pungli di sekolah
tak lebih dari gertak sambal.
Sangat disayangkan jika sampai detik ini praktik
pungli saat PSB masih marak. Tampaknya pemerintah kurang tegas mener tibkan
aksi tersebut. Biasa nya, jika enggan membayar, calon siswa tidak diterima
meski nilai ujiannya bagus.
Selain membebani para orangtua, pungli juga
menyalahi aturan. Sekolah, dengan begitu, berubah menjadi ajang komersialisasi
atau memupuk keuntungan. Padahal, pemerintah sudah berjanji akan menggratiskan
biaya pendidikan melalui dana BOS. Lantas ke mana jargon pemerintah yang
katanya `sekolah sudah gratis' itu, jika untuk masuk SD saja harus menyetor
ratusan hingga jutaan rupiah?
Sialnya lagi, banyak sekolah yang menarik uang
seragam yang kelewat mahal. Tidak hanya pada kisaran ratusan ribu, melainkan
hingga jutaan rupiah. Padahal, para orang tua masih harus mem beli keperluan
lain seperti buku, tas, dan sepatu. Tidak mengherankan jika setiap tahun ajaran
baru, banyak orangtua yang kelimpungan mencari pinjaman uang.
Salah
Paham
Sejak awal, kata `gratis' dimaknai beragam oleh
masyarakat. Ada yang memahami bahwa bersekolah tak perlu keluar uang sepeser
pun. Hal demikian tentu disambut sangat antusias oleh masyarakat.
Mereka mengira untuk bersekolah, siswa tak perlu
bayar apa pun karena segala biaya sudah ditanggung.
Namun, gratis yang dimaksud ialah bebas biaya SPP,
uang masuk, dan biaya operasional sekolah. Adapun untuk uang seragam, buku,
alat tulis, uang saku, tetap harus ditanggung orangtua. Pemahaman yang berbeda
tersebut bisa jadi karena sosialisasi kebijakan BOS dan 13 poin cakupan
kegiatan yang dibiayai dengan dana itu tidak disampaikan kepada orangtua dan
masyarakat secara terbuka.
Kita menduga sekolah gratis lebih berbau politis
ketimbang komitmen pemerintah membenahi pendidikan dalam negeri. Pemerintah
getol memasang iklan sekolah gratis di berbagai media supaya dianggap
pendidikan kita membaik. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pembodohan
publik dan mengumbar dusta.
Pungutan tinggi juga dikeluhkan para orangtua yang
hendak menyekolahkan anak di sekolah bertaraf internasional. Kendati terus
dikritik, sekolah-sekolah tersebut bergeming. Mereka terus saja mematok harga
yang hanya mampu dijangkau kalangan berduit. Padahal, orangtua dengan kemampuan
ekonomi pas-pasan harus gigit jari dan bermimpi bisa menyekolahkan anak di
sana.
Laporan keuangan di sekolah bertaraf internasional
perihal iuran orangtua juga tidak disampaikan secara transparan. Orangtua tidak
diberi tahu secara detail peruntukan uang yang mereka bayarkan. Itulah yang
selama ini dirisaukan banyak pihak. Bisa jadi ada semacam praktik korupsi
terselubung terkait dana tersebut. Ada dugaan biaya tersebut sebagian disetor
ke dinas pendidikan daerah setempat dan untuk melobi anggota dewan daerah agar
diberi bantuan dana.
Dunia pendidikan kita memang dilematis. Di satu
sisi, pendidikan berkualitas membutuhkan perangkat belajar yang memadai seperti
sarana internet, laboratorium, perpustakaan, dan guru yang profesional. Semua
itu bisa dicapai jika didukung dengan anggaran besar.
Di sisi lain, anggaran dari pemerintah untuk biaya
operasional sekolah sangatlah kecil. Ujung-ujungnya para orangtua dikenai
pungutan yang terkadang tak sanggup mereka bayar.
Kita berharap pemerintah lebih tegas menghapus
aksi pungli di sekolah-sekolah. Biar bagaimanapun, pungli ibarat penyakit yang
harus dienyahkan. Pemberian sanksi bagi sekolah yang melanggar jangan hanya
retorika. Para orangtua semestinya ikut berperan. Mereka bisa melaporkan kepada
dinas terkait jika mengetahui ada pungli di sekolah agar ditindaklanjuti. Semoga
ke depan tidak ada lagi pembiaran seperti saat ini. Andai uang negara tak
banyak yang dicuri (dikorupsi), tentu kita optimistis kelak sekolah bisa
benar-benar gratis sehingga orangtua tak perlu lagi pusing memikirkan biaya
pendidikan anaknya. Semoga.
Muhammad
Safrodin
Pemerhati
Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi