Pembiayaan pendidikan di
Indonesia sekarang rasanya masih menyimpang jauh dari teori ekonomi. Secara
teori ekonomi, pendidikan bergerak dari barang publik menuju barang privat.
Jika pendidikan dikatakan barang publik, intervensi negara dapat dibenarkan. Sebab,
tanpa intervensi negara, penyediaan pendidikan tidak cukup memenuhi tingkat
penyediaan yang optimal secara sosial.
Subsidi menjadi keharusan,
sehingga tidak mengherankan jika kita lihat betapa besar subsidi pemerintah
dalam bidang pendidikan. Bahkan, menurut teori pertumbuhan baru (new economic
growth theory), pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh besarnya anggaran
pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital atau sumber daya manusia
(SDM). Pertanyaannya, sejauh mana negara harus terlibat dalam pembiayaan
pendidikan?
Teori menunjukkan, kadar barang
publik akan menurun sejalan tingkat pendidikan. Artinya, semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin berkurang kadar barang publik. Sebab, manfaat pribadi yang
diperoleh seseorang relatif lebih besar dibandingkan dengan manfaat sosialnya.
Hal ini terbukti pula dengan makin tingginya rasio antara private rate of
return dan social rate of return dari pendidikan, sejalan dengan tingkat
pendidikan.
Sederhananya, manfaat sosial yang
dihasilkan oleh keberhasilan kita membuat petani bisa membaca dari menghitung
melalui SD sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh secara
pribadi. Bayangkan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan negara untuk
mencapai swasembada guna mengajari petani bercocok tanam secara benar dengan
mengirimkan penyuluh pertanian secara langsung. Tapi, dengan pendidikan dasar
tersebut, penyuluhan dapat dilakukan dengan menggunakan brosur dan sebagainya
tanpa harus mengirimkan waktu yang lebih banyak daripada penyuluh pertanian
mengajari petani secara langsung. Buat si petani pribadi, manfaat yang
dirasakan tentu cukup besar, tapi relatif tidak banyak berbeda.
Sementara untuk lulusan perguruan
tinggi, dialah yang mendapat manfaat lebih banyak dibandingkan dengan manfaat yang
didapatkan masyarakat atau negara. Perbedaan dari private dan social rate of
return, sebagian tecermin pula dari biaya penyediaan pendidikan per murid yang
meningkat lebih dari proporsional, sejalan dengan tingkat pendidikan.
Konsekuensi logis dari hal di
atas, subsidi pendidikan harus difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah
(dikdasmen), bukan perguruan tinggi. Artinya, perbedaan antara SPP dan biaya
penyelenggaraan pendidikan untuk masing-masing tingkat pendidikan harus makin
mengecil.
Prinsip seperti ini dijalankan
semua negara yang telah berhasil dalam pembangunan ekonomi, mulai dari negara
industri hingga negara industri baru seperti Jepang, Korea, Taiwan dan
Malaysia. Pendidikan dasar di negara itu disubsidi secara penuh. Sementara
porsi subsidi untuk perguruan tinggi jauh lebih kecil dan praktis dibiayai
sendiri oleh mahasisawa bersangkutan. Dengan prinsip seperti ini, dampak
pendidikan untuk memperbaiki distribusi pendapatan dapat tercapai.
Di Indonesia memang sudah
dilakukan melalui BOS dan penggratisan biaya di SD dan SMP negeri. Nah, SD dan
SMP swasta pun harus juga mulai diawali jika berpijak pada teori di atas. Tidak
perlu takut kebobolan anggaran, karena manfaat sosial dalam jangka panjang akan
jauh lebih dahsyat dapat dirasakan untuk kemajuan ekonomi bangsa.
Selain itu, pola yang juga perlu
diperbaiki adalah porsi subsidi per kapita untuk mahasiswa yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan murid SD. Begitu pula anggaran pembangunan bagi
perguruan tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan dasar dan
menengah. Tidak heran, kemudian kita menyaksikan SD di beberapa tempat terpaksa
diliburkan karena kebanjiran, atau wajah fisik gedung SD, terutama di
tempat-tempat terpencil banyak yang masih tidak layak pakai, serta tidak mencerminkan
kelayakan sebuah institusi pendidikan. Masih banyak pula murid SD di daerah
pedalaman tidak bisa berbahasa Indonesia. Ini mengisyaratkan yang bersangkutan
tidak bisa baca tulis. Padahal, porsi anggaran pendidikan kita di Kemendiknas
hampir mencapai Rp 64 triliun. Tentu angka raksasa ini harus dipikirkan ulang,
dengan melakukan sharing subsidi di masing-masing tingkat pendidikan kita.
Ini mengingat pola pengeluaran
anggaran pemerintah yang tidak proporsional, menurut logika bisnis pendidikan,
menjadi salah satu penyebab rendahnya distribusi pendapatan di tengah-tengah
masyarakat. Kelompok orang mampu menikmati lebih banyak subsidi dari APBN
dibandingkan dengan masyarakat miskin. Mengoreksi biaya pendidikan di perguruan
tinggi, tanpa harus mempertimbangkan kemungkinan perbaikan kualitas pengajaran
di perguruan tinggi sebagai akibat perbaikan sistem insentif, merupakan salah
satu bentuk reformasi harga guna memperbaiki dampak anggaran terhadap
distribusi pendapatan. Lalu, apakah perguruan tinggi hanya untuk yang kaya?
Tentu tidak. Perguruan tinggi dituntut menyediakan tempat bagi orang miskin.
Mengingat pentingnya pendidikan
untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan perbaikan distribusi pendapatan,
porsi pengeluaran untuk pendidikan harus meningkat. Tapi, prioritasnya adalah
untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan menengah yang merupakan
kebutuhan mayoritas penduduk Indonesia.
Kemudian, akses pendidikan
terhadap kelompok tidak mampu perlu disediakan seluas-luasnya. Konsepnya,
pemerataan tanpa pembedaan siswa pintar dan tidak pintar dengan fokus pada
pendidikan dasar dan menengah. Untuk pendidikan tinggi, program 'bidik misi'
yang dicanangkan Kemendiknas dan diprioritaskan pada siswa cerdas dan tidak
mampu, tetap bagus dan harus dilanjutkan
Abdullah
Yazid ;
Magister
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan (STEKPI) Jakarta
SUARA
KARYA, 10 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi