KONGRES internasional bacaan anak
ke-33 yang diselenggarakan International Board on Books for Young People (IBBY)
di London, Inggris, akhir Agustus lalu, baru saja usai. Kongres yang
diselenggarakan setiap dua tahun itu kali ini mengusung tema Crossing the
boundary: translation and migration. Melalui perbincangan kritis tentang
persoalan konstruksi identitas dan pemaknaan ‘masa kanak-kanak’ (childhood)
dalam cerita, penulis, ilustrator, penerjemah, penerbit, pustakawan,
pendongeng, dan peneliti dari seluruh dunia membahas makna dan peran bacaan
anak di era keragaman budaya ini.
Multikulturalisme telah menjadi
isu kontemporer dunia saat ini. Anak-anak bukan hanya menjadi saksi, melainkan
juga korban alienasi sosial, intoleransi, dan penghakiman dari mayoritas
sebagai akibat dari meningkatnya migrasi antarnegara, juga kekerasan dalam
konflik antarras dan agama di banyak negara.
Buku anak tidak hanya merekam
pengalaman itu, tapi juga menyebarkannya ke penjuru dunia. Melalui buku, anak
mengenali fenomena sosial di belahan dunia lain yang beragam, kompleks, dan
sering tidak adil.
Subjektivitas
dalam Seni
Sebagai media pembelajaran, buku
anak sering berfungsi untuk mengajarkan nilai pluralisme, toleransi, dan
keadilan sosial. Namun, tujuan edukatif itu kini dianggap terlalu tendensius.
Beberapa karya yang diperbincangkan dalam kongres--seperti The Arrival dan The
Lost Thing, karya penulis dan ilustrator Shaun Tan, juga puisi-puisi Michael
Rosen--meneguhkan nilai pluralisme itu tidak diajarkan secara eksplisit, tetapi
dikonstruksi pembaca anak melalui kisah-kisah yang ditulis secara jujur dan
subjektif.
Kongres IBBY ke-33 memberikan
apresiasi tinggi kepada buku anak yang menyuguhkan tema-tema pluralisme secara
artistik. Dalam penyajian itu, anak disuguhi potret jujur tentang kegamangan,
pencarian identitas, dan kehilangan.
Semuanya disajikan melalui kisah
keseharian, misalnya cerita makhluk aneh yang tak seorang pun tahu dari mana
dia berasal (The Lost Thing, Shaun Tan). Tema-tema ‘muram’ itu tentunya
menggambarkan evolusi paradigma masyarakat Barat tentang anak-anak (childhood).
Pada awal kemunculannya di abad ke-19, cerita anak dituntut menyiarkan
kegembiraan dan pesan moral yang eksplisit karena anak-anak diyakini sebagai
makhluk polos yang harus dididik tentang banyak hal. Selain itu, anak-anak
harus selalu bergembira karena kesedihan akan merapuhkan mereka.
Shaun Tan, Michael Rosen, dan
banyak penulis buku anak lain agaknya menafsirkan ‘kegembiraan’ itu dengan
pendekatan berbeda. Di tangan mereka, kegembiraan diramu dengan cara pandang
khas anak dalam menghadapi problema hidup. Dalam The Sad Book misalnya, Michael
Rosen bercerita tentang kesedihannya saat anak lelakinya meninggal. Ilustrasi
karya Quentin Blake membungkus cerita sedih itu dengan humor. Pembaca akan
dibuat tersenyum saat Michael Rosen menegaskan bahwa kesedihan itu wajar dan
banyak cara bisa dilakukan untuk mengatasinya. Anakanak mengatasi kesedihan
dengan caranya sendiri. Cara pandang khas anak itu menjadi kekuatan buku-buku
yang didiskusikan dalam kongres.
Michael Rosen dibesarkan dalam
keluarga Yahudi yang miskin sehingga puisi-puisinya memuat pertanyaan dan
ekspresi naif Michael kecil, misalnya tentang mengapa ibunya memenuhi lemari
dapur dengan daging kaleng (corned beef), juga tentang mengapa bapaknya
berbohong kepada sebuah toko mainan agar mendapatkan pengganti mainan yang
dirusaknya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut lumrah ditanyakan anak di seluruh
dunia. Yang unik mungkin ialah pertanyaan itu disajikan tanpa dikemas dalam
nasihat dan pesan moral yang kentara.
Buku anak merupakan teks yang tak
final, kata Shaun Tan. Tugas pembaca anak yaitu menyempurnakannya dengan
interpretasi, imajinasi, dan daya kritis mereka. Buku-buku Shaun Tan yang
miskin teks-bahkan sering tanpa teks sama sekali--menampilkan gambargambar
makhluk tak bernama yang merasa canggung, terasing, bahkan kesepian. Karena
lahir sebagai keturunan campuran beberapa ras--China, Malaysia, dan
Kaukasia--Shaun Tan tak mengelak bahwa kisah-kisah itu merefleksikan sebagian
dari dirinya. Namun, keterasingan itu universal.
Anak-anak akan membangun konsep
alienasi dengan pengalaman mereka yang unik. Melalui gambar FREDY
makhluk-makhluk fantasi ciptaannya, Shaun Tan mengundang anak untuk menciptakan
kisah mereka sendiri, lalu membaca refleksi diri mereka dalam kisah itu. Anak
adalah pembaca yang aktif mengonstruksi makna. Penulis-penulis itu, sebagaimana
ditegaskan juga oleh kongres, menegaskan bahwa buku sebaiknya tidak menganggap
anak sebagai pembaca pasif yang hanya dijejali makna ciptaan orang dewasa.
Tak
Ada Dikotomi
Di negara tempat buku-buku
tersebut beredar, buku anak digunakan sebagai media dialog. Buku-buku fiksi
anak memicu pertanyaan dan refleksi kritis di ruang kelas dan perpustakaan.
Dengan fungsi itu, tak ada lagi dikotomi antara buku fiksi komersial dan buku
pelajaran. Ketika anak menemukan kenikmatan dan daya kritis mereka terusik saat
membaca kisah fiksi, mereka telah mempelajari sesuatu yang sangat berharga.
Terlebih, buku-buku fiksi juga menyajikan tema-tema kesetaraan, demokrasi, dan
keadilan sosial.
Selain itu, buku-buku bergambar
disajikan dengan ilustrasi manual yang detail dan artistik. Estetika tersebut
tidak hanya mengembangkan rasa keindahan anak, tetapi juga memanjakan mata
pembaca dewasa. Maka, anggapan bahwa buku anak hanya dapat dinikmati anak pun
terpatahkan. Kongres juga menunjukkan ilustrasi buku anak dapat bernuansa
monokrom, sephia, putih, atau hanya didominasi beberapa warna tertentu.
Tren kuno bahwa buku anak harus
berwarna-warni dan mencolok mata pun ditinggalkan.
Dalam rentang sejarah evolusi
buku anak, kondisi perbukuan di Indonesia agaknya dapat disetarakan dengan
situasi di awal abad ke-20 di Eropa dan Amerika. Di masa itu, anak-anak
dianggap berada dalam fase the age of innocence sehingga buku-buku yang sesuai
dengan mereka hanyalah buku yang ‘menghibur’ dan sarat nilai moral. Setiap
negara tentu memiliki derap laju literasi yang unik dan mengakar pada kebutuhan
dan konteks budaya lokal. Namun tanpa kreativitas dan inovasi dalam menggali
potensi artistik khas Indonesia, nama Indonesia akan terdengar semakin samar di
panggung literasi anak dunia.
Sebagai perbandingan,
negara-negara yang masih bergelut dengan angka buta huruf seperti India,
Thailand, dan Kamboja telah berupaya mengejar standar literer dunia Barat
dengan menggunakan potensi budaya mereka. Negara Asia seperti Singapura, Korea,
dan Jepang sudah terlebih dulu mencuri perhatian dengan kisah yang sederhana
tetapi fi losofi s, juga ilustrasi imajinatif yang khas anak. Perlu juga dicatat,
peta perbukuan anak tidak lagi didominasi negara-negara maju seperti Inggris
dan Amerika. Perhatian mulai teralih kepada negara-negara seperti Meksiko,
Slovenia, dan Iran yang secara inovatif mulai memproduksi buku untuk anak
berkebutuhan khusus. Penghargaan tertinggi dalam kreasi buku anak, yaitu Hans
Christian Andersen Award, bahkan diraih penulis Maria Teresa Andruetto dari
Argentina dan ilustrator Peter Sis dari Republik Ceko.
Sementara itu, Indonesia masih
berjuang untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Produksi buku anak masih
berfokus kepada buku-buku yang mudah diserap dan memanjakan selera pasar.
Penerbit pun belum berani berspekulasi dan bereksperimen dengan memproduksi
buku-buku artistik yang tentu lebih mahal.
Penghargaan finansial kepada
ilustrator masih belum memadai sehingga ilustrator buku anak belum mengerahkan
kemampuan artistiknya secara maksimal. Dengan minat baca dan daya beli
masyarakat yang masih rendah, tak mengherankan apabila dunia perbukuan anak
masih didominasi buku bergambar terjemahan--karena membeli hak cipta jauh lebih
murah-dan buku sarat pesan moral yang sudah terbukti dikehendaki pasar.
Banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan di kancah literasi anak
dunia. Dalam lingkup nasional, kritik dan apresiasi terhadap sastra anak masih
berada di wilayah marginal dunia sastra.
Kita membutuhkan forum
penghargaan sastra anak untuk mendorong produksi buku anak secara artistik,
baik secara visual, narasi, maupun kedalaman makna. Apresiasi sastra diperlukan
untuk menciptakan standar literer dalam bacaan anak dan memberikan alternatif
terhadap dominasi pasar dalam produksi buku anak. Akhir kata, selamat merayakan
Hari Literasi Internasional.
Sofie
Dewayani ;
Pengajar
di ITB dan Penulis Buku Anak
MEDIA
INDONESIA, 10 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi