Buta huruf itu aib. Ibu negara
Prancis, Carla Bruni-Sarkozy, juga sadar betul akan hal itu. Dalam wawancara
dengan harian La Tribune pada 2009, Bruni pernah meradang atas adanya rilis
data terbaru yang menyebutkan 3 juta warga Prancis buta huruf.
Carla berang. Ia pun mendirikan
yayasan untuk menggalang dana, terutama sekali untuk gelandangan, narapidana,
dan kelompok masyarakat buta huruf. Istri Presiden Prancis Nicolas Sarkozy itu
mengistilahkan tindakannya sebagai perang melawan buta huruf.
Jauh sebelum Bruni marah-marah,
kamus nasionalisme sudah menegaskan bahwa, bagi negara berstatus merdeka, buta
huruf adalah aib.
A. Surjadi dalam buku Pembangunan
Masyarakat Desa (1969) membuat pola pemberantasan buta huruf dari beberapa
negara yang baru saja mengumumkan maklumat kemerdekaan. Simaklah kaum Komunis
di Rusia sewaktu menumbangkan rezim Tsar pada 1917. Dalam dua tahun, Lenin
bikin perintah untuk menghilangkan kebutahurufan. Turki memulai kampanye
pemberantasan buta huruf segera setelah Kemal Attaturk menjadi presiden.
Perkembangan yang cepat dalam
kerja pemberantasan buta huruf di India merupakan akibat langsung dari
pembentukan kekuasaan Kongres. Di Indonesia dan Ghana demikian juga.
Pemberantasan buta huruf dilakukan setelah kemerdekaan nasional dimaklumatkan.
Bagi pemerintah yang dipimpin
kalangan nasionalis terpelajar dan revolusioner, buta huruf adalah aral yang
merintangi kemajuan. Kata Lenin, "Seorang manusia buta huruf adalah di
luar dunia politik." Dan ajaran minimum adalah mengetahui abjad alfabet.
Pemerintah nasionalis beranggapan orang-orang yang melek huruf hanyalah
satu-satunya dasar yang sehat untuk membangun masa depan bangsanya.
Sikap kaum nasionalis pada
masalah buta huruf dimiliki pula oleh ratusan orang di pelbagai negara yang
baru merdeka. Dengan usahanya, jumlah orang buta huruf yang berduyun-duyun
untuk belajar makin bertambah, dan banyak orang yang pandai baca-tulis
dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Semangat yang tumbuh dari gerakan
kemerdekaan nasional berbarengan dengan gerakan pemberantasan buta huruf. Tanpa
hal itu, diragukan apakah kampanye pemberantasan buta huruf akan berhasil
cepat.
Dengan rangsangan-rangsangan
usaha tersebut, banyak juga yang tak mempergunakan kesempatan tersebut untuk
belajar. Sebagian menganggap tak ada kegunaan belajar membaca. Yang lainnya
lagi karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya.
Hukuman
Sadar bahwa buta huruf menghambat
kemajuan, disiapkanlah serangkaian hukuman bagi warga yang buta huruf atau tak
mampu memperbaiki kualitas keberaksaraannya. Di Rusia, penolakan untuk ikut
kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, kehilangan
kartu makanan, atau dikeluarkan dari persatuan dagang.
Hukuman Tiongkok yang menolak
program pemberantasan buta huruf dikenai pajak yang diatur oleh undang-undang.
Di Turki, pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia
bagi orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Tidak bagi yang buta huruf.
Sedangkan untuk kasus Indonesia
bisa kita kutipkan Mass Education Handbook, "Pada kenyataannya kepentingan
negara menuntut setiap warga negara memiliki kemampuan membaca dan
menulis." Karena itu, dicoba jalan memaksa orang menjadi melek huruf
dengan jalan perintah-perintah atau pengumuman. Bahwa setiap formulir diisi
langsung oleh orang yang bersangkutan, dan memerintahkan setiap rumah dan
tempat memakai papan nama.
Pada satu kecamatan di Jawa,
misalnya, lulus dari ujian pemberantasan buta huruf merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh izin nikah. Pada masa pemerintahan Sukarno yang masih labil,
penanggulangan tuna-pendidikan waktu itu dikenal dengan sebutan pemberantasan
buta huruf (PBH) atau kursus ABC. Bagian yang menangani buta huruf adalah
Bagian Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
(PPK).
Pada 1951, misalnya, disusun
program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk
Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya. Namun,
pada 1960, masih terdapat sekitar 40 persen orang dewasa yang buta huruf. Pada
1960 dikeluarkan Komando Presiden Sukarno untuk menuntaskan buta huruf sampai
1964. Hasilnya, 31 Desember 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali
yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf (Ali, 2007).
Pada masa awal Orde Baru, dalam
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) tahun 1969, buta huruf sudah menjadi
titik sorot. Program seperti Program Paket ABC distimulasi untuk melawan aib
buta huruf. Rupanya, usaha semesta itu tak pernah berakhir, sebagaimana di
Prancis. Aib itu pada 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79
persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun
Muhidin
M Dahlan ;
Pengelola
Radio Buku Live Streaming @radiobuku;
Tinggal
di Yogyakarta
KORAN
TEMPO, 12 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi