Apa yang paling ”orisinal” dari
Undang Undang Pendididikan Tinggi—yang belum ada nomornya—dan telah disahkan
DPR 13 Juli?
Salah satunya adalah
disepakatinya sebuah bentuk perguruan tinggi baru, yakni Akademi Komunitas yang
dibedakan dari Akademi (Pasal 59). Maka, sekarang bentuk perguruan tinggi tidak
hanya universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi, tetapi
ditambah akademi komunitas.
Menurut Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (UUPT), akademi komunitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau
beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu, berbasis
keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus (Pasal 59 Ayat 7).
Apa bedanya dengan akademi? Batasan
yang diberikan oleh UU PT nyaris sama. Namun, kata kunci Akademi Komunitas (AK)
terletak pada (a) setingkat diploma satu atau dua, (b) berbasis keunggulan
lokal, dan (c) untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Pemerintah akan segera mendirikan
20 AK percontohan (Kompas, 27/8/2012), dengan harapan ke depan di setiap
kabupaten/kota terdapat AK negeri ataupun swasta untuk meningkatkan daya saing
tenaga kerja Indonesia. Prioritas pendirian AK adalah daerah penyedia tenaga
kerja dan daerah dengan sumber daya alam melimpah.
Kontradiksi
Akademi komunitas sesuai UUPT
adalah jenis pendidikan tinggi vokasi (Pasal 16), bukan jenis pendidikan
akademik ataupun profesi (Pasal 15 dan Pasal 17). Tugasnya melaksanakan
pendidikan tinggi program diploma dengan menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan
keahlian terapan tertentu.
Penegasan pada Pasal 16
diperjelas Pasal 21 yang menyebutkan bahwa program diploma merupakan pendidikan
vokasi untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan ilmu
pengetahuan dan/atau teknologi. Tegasnya, program diploma ini menyiapkan
mahasiswa menjadi praktisi terampil untuk masuk dunia kerja sesuai bidang
keahliannya.
Pasal 16 dan Pasal 21 mengandung
substansi yang kontradiktif bila dibandingkan Pasal 59. Batasan AK pada Pasal
59 (7) sudah sangat realistis dan operasional, tetapi Pasal 16 dan 21 tidak
menegaskan makna penting AK. Saya melihat, gagasan tentang AK tiba-tiba saja
muncul ketika dibahas bentuk perguruan tinggi pada Bab IV.
Seperti diketahui, Pasal 16 dan
Pasal 21 ada di bawah Bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Bab
IV berjudul Perguruan Tinggi. Anehnya, Bab III UU PT ini mencantumkan judul
Penjaminan Mutu. Maka lengkaplah kontradiksi itu mengingat tidak runutnya
penalaran yang dibangun lewat bab-babnya. Seolah-olah yang terkait dengan
penjaminan mutu hanyalah penyelenggaraan pendidikan tinggi, sedangkan perguruan
tinggi tidak dituntut apa pun berkaitan dengan penjaminan mutu.
Keunggulan
Lokal
Tulisan Wapres Boediono
”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27/8/2012 hal 6) sangat inspiratif.
Boediono menekankan perlunya melakukan sesuatu yang substantif bagi pendidikan
kita dengan membekali mahasiswa tentang delapan kemampuan, yakni kemampuan
berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral
permasalahan, menjadi warga negara yang efektif, mencoba mengerti dan toleran
terhadap pandangan yang berbeda, hidup dalam masyarakat yang mengglobal,
memiliki minat luas mengenai hidup, serta kesiapan untuk bekerja.
Dalam konteks AK sesuatu yang
substantif (dan orisinal), menurut pendapat saya, tentulah terletak pada upaya
menggali dan mengembangkan secara ilmiah keunggulan lokal yang dimiliki setiap
daerah.
Pergulatan menemukan keunggulan
lokal membutuhkan waktu panjang. Kalau tergesa-gesa, yang akan terjadi adalah
meniru belaka substansi yang telah dirumuskan oleh suatu daerah. Sebutlah,
misalnya, keunggulan lokal membatik atau ukir-ukiran daerah tertentu, sangat
besar kemungkinannya akan menjadi keunggulan lokal daerah lain dengan dalih
”batik kami berbeda/khas”, atau bahkan menuduh ”batik kami paling asli, yang
lain meniru kami”.
Keunggulan lokal harus
menunjukkan sesuatu yang khas baik sebagai substansi ataupun produk. Oleh
karena itu, sesuatu yang khas di komunitas kecil di suatu wilayah, dapat dikaji
mendalam sehingga nantinya dapat menjadi ikon daerah tersebut.
Arah ke depan AK sebaiknya tidak
ditekankan pada fantasi tentang kesiapan tenaga kerja Indonesia untuk bersaing
di pasar global, tetapi untuk menciptakan pencinta-pencinta keunggulan lokal
sehingga kelak mereka itulah yang akan memelihara, mengembangkan, dan
meneruskan kebanggaan lokal lewat produk seni, budaya, makanan, hasil
pertanian, dan seterusnya yang dikembangkan melalui AK.
Rasanya sudah sangat memadai
kalau dua kemampuan terakhir—kemampuan memiliki minat luas mengenai hidup dan
kemampuan memiliki kesiapan untuk bekerja—dipakai sebagai pemacu dan pemicu di
AK yang akan didirikan di sejumlah daerah. Jauhkan mahasiswa AK dari
fantasi-fantasi yang tidak realistis, sebaliknya tanamkan sekecil apa pun yang
substansial bagi bangsa dan negara ini.
JC
Tukiman Taruna ;
Dosen
Pascasarjana untuk Mata Kuliah Analisis Organisasi Pendidikan; Ketua Dewan
Penyantun Unika Soegijapranata Semarang
KOMPAS,
13 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi