Sejumlah pakar pendidikan
mengatakan bahwa calistung (istilah yang kini populer untuk menyingkat baca –
tulis – hitung) belum saatnya diajarkan kepada anak (peserta didik) sebelum
mereka cukup umur untuk duduk di sekolah dasar (SD).
Padahal, sekarang ini bukan lagi
ukuran panjang tangan kanan atau tangan kiri si bocah yang dijadikan ukuran
untuk bisa menjangkau kuping kanan atau kiri. Lalu kriteria apa yang dirasa
paling cocok untuk menguji kemampuan anak yang masih batita itu? (batita =
bawah tiga tahun).
Banyak dari kita yang paham bahwa
prinsip belajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau play group dan TK
adalah belajar sambil bermain (play and learn), sehingga sangatlah mengherankan
bahwa syarat untuk anak masuk SD adalah kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung.
Jelas tuntutan itu merupakan
kontradiksi dengan prinsip belajar dan bermain itu. Sampai kapan kondisi ini
akan berlangsung?
Masalah terjadinya kesenjangan
itu diakui sejumlah kalangan pejabat di Direktur Pembinaan PAUD Kemendikbud.
Namun, kita jadi bertanya masakan
hanya cukup diakui bahwa ada masalah di situ? Apa tindakan selanjutnya untuk
membenahi praktik yang keliru itu? Memang sampai kapan pun antara apa yang
menjadi kondisi ideal dengan kenyataan yang ada selalu ada kesenjangan.
Jurang itu akan semakin menganga
manakala kebanyakan guru SD hanya mau terima bersih, maksudnya calon peserta
didiknya di SD sebaiknya sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Parahnya lagi kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung itu juga dijadikan bahan tes masuk di beberapa SD yang
menganggap diri “unggulan”.
Dalam kaitan ini penulis ragu
bahwa cara-cara seperti ini akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,
bahkan mungkin akan menimbulkan persoalan di jangka panjang.
Ini karena pelajaran membaca,
menulis, dan berhitung sepantasnya diberikan kepada anak minimal usia 7 tahun.
Hal ini pula yang digembar-gemborkan (disosialisasikan) oleh Direktorat
Pendidikan Dasar, Kemendiknas.
Teori Tabularasa
Filsuf John Locke terkenal dengan
teorinya tabularasa, yang maksudnya tiap anak manusia itu terlahir ibarat
selembar kertas putih, dan baru kemudian ditulisi oleh guru maupun orang
tuanya. Penulis tetap berharap “tolong jangan kotori kertas putih itu!”
Penulis yakin bahwa di bawah
kertas putih itu ada “benjolan-benjolan/tonjolan-tonjolan” yang pendidik kenal
sebagai bakat-bakat bawaan (gen dari keluarga). Tugas guru/pendidik adalah
mencari dan menemukan bakat-bakat bawaan si anak kemudian menumbuhkembangkannya,
agar si anak dapat meraih prestasi sesuai talenta yang dimiliki dan ia pun
bersekolah dengan enjoy.
Bermain dan belajar adalah hak
anak, sehingga janganlah anak-anak usia batita dan balita harus dijejali dengan
materi pelajaran yang berat, itu ibarat memaksa bayi mengunyah makanan keras
sebelum giginya tumbuh?
Ironinya pula, mereka yang sudah
remaja/dewasa (SLTA dan mahasiswa) justru maunya belajar yang “lembut-lembut”
saja, semua mau ilmu siap saji. Sungguh suatu fenomena yang sangat mencemaskan
dunia pendidikan.
Pembentukan sikap dan mental
sudah seharusnyalah dipersiapkan dan dibentuk sejak dini, kalau perlu sejak
lahir karena pendidikan dimulai dari dalam kandungan ibu sampai ke liang lahat
(from womb to tomb).
Melalui bermain itulah anak
dididik karakter, mental, dan kepekaan sosialnya, dia berada di tengah-tengah
kawan sebayanya. Di situlah akan tampak perilaku dan tabiat anak dalam intra
dan interpersonalnya seperti logikanya/kecerdasannya, afektifnya, dan
psikomotoriknya. Keegoisan anak, kemandirian, kemampuan bekerja sama, sikap
toleran, suka membantu memecahkan masalah, bahkan juga talenta kepemimpinannya
sudah terlihat sejak dini usia.
Berbagai pelajaran dapat
disajikan dan dikemas secara menarik, sehingga merangsang otak anak dan
menjadikannya antusias, karena hal-hal itulah yang diperlukan bangsa ini.
Contoh diadakannya latihan
menjadi polisi kecil, TNI, guru, dokter, teknisi, ahli hukum, ahli IT, ahli
musik dan vokal. Contoh lain yang paling sederhana: belajar minta maaf, minta
tolong, mengucap terima kasih, mengantre saat belanja, menolong orang
menyeberang jalan, membuang sampah pada tempatnya, dan bermain dalam kelompok.
Pada akhirnya, para guru anak
kecil itu harus benar-benar memenuhi ajaran Ki Hajar Dewantoro (ing ngarso sung
tulodo – ing madyo mangun karso – tut wuri Handayani). Guru PAUD/TK harus
benar-benar mumpuni, karena dia ikut membentuk kepribadian anak, mendidik
tingkah laku dan ucapan tutur kata yang benar-benar patut diteladani, karena
kita tahu bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung.
E
Handayani Tyas ;
Dosen
di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Universitas
Kristen Indonesia, Jakarta
SINAR
HARAPAN, 08 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi