MENCERMATI ekses pendidikan
akhir-akhir ini, sejak hasil uji kompetensi guru yang jeblok, kecurangan ujian
nasional, kontroversi RSBI yang diskriminatif, serta kurikulum pendidikan yang
overload, saya ingin mengajukan perspektif lain yang perlu dicermati, yaitu
soal tata kelola pendidikan (education governance).
Penyakit pendidikan saat ini adalah layanan
yang government-heavy (dominan pemerintah), supply-oriented sehingga rawan
korupsi, tidak berorientasi pelayanan, dan tidak relevan dengan kebutuhan siswa
sebagai subjek yang sedang belajar. Kehadiran internet sedang dan akan mengubah
pendidikan Indonesia abad ke-21.
Tata kelola pendidikan sering mendorong
praktik dan budaya layanan pendidikan menjadi kurikulum yang terlaksana, yang
bisa bertentangan dengan tujuan kurikulum yang direncanakan yang tampak bagus
di atas kertas. Termasuk, praktik korupsi di sekolah dan birokrat pendidikan.
Tata kelola pendidikan yang buruk adalah peluang korupsi.
Kurikulum antikorupsi menjadi lelucon dalam
praktik pendidikan yang koruptif. Pendidikan karakter adalah lelucon yang lebih
besar di lingkungan sekolah yang membiarkan kecurangan saat ujian nasional.
Maksud Kemendikbud baru-baru ini untuk mengevaluasi kurikulum yang dipandang
''berat konten miskin proses'' patut diapresiasi. Namun, kurikulum yang
terlaksana justru sering disebabkan tata kelola yang buruk.
Pertama, dalam format desentralisasi saat ini,
pelayanan pendidikan juga harus didesentralisasikan. Untuk Indonesia dengan
keragaman sosial, budaya, sumber daya alam, serta cakupan geografi seluas Eropa
ini, sentralisasi pendidikan jelas merupakan arah yang keliru. Yang kita
perlukan saat ini adalah membangun sistem pendidikan daerah (sisdikda) sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan membangun sisdikda ini, sistem
pendidikan nasional akan lebih lentur serta luwes menghadapi kebutuhan layanan
pendidikan yang beragam dan berubah cepat. Sayang, banyak bupati dan wali kota
yang tidak mampu memanfaatkan peluang membangun sisdikda tersebut.
Konsep kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) merupakan konsep yang sudah benar, namun justru terganjal kebijakan
ujian nasional yang dirancang sebagai bagian dari penentu kelulusan. Yang kita
butuhkan adalah sebuah standar nasional pendidikan (SNP) sebagai panduan
sasaran capaian kinerja pendidikan. Namun, sebagai panduan, ia tidak harus
dipenuhi setiap daerah. Daerah bisa menetapkan standar daerah pendidikan (SDP)
yang lebih tinggi atau lebih rendah dari SNP.
Daerah bisa merancang ujian daerah untuk
melayani seleksi masuk guna menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
tidak untuk menentukan kelulusan dari sekolah. Kelulusan dari sekolah
diserahkan kepada guru sekolah masing-masing. Untuk mencegah malapraktik
pendidikan oleh sekolah, akreditasi dilakukan lembaga independen untuk
melindungi murid sebagai konsumen sekolah yang berengsek. Jika masih gagal
setelah pembinaan beberapa tahun melalui akreditasi, sekolah semacam itu bisa
dibubarkan dinas pendidikan daerah.
Kedua, pembinaan profesi guru seharusnya
diserahkan kepada organisasi profesi guru. Itu adalah best practice yang
dilakukan komunitas dokter, insinyur, arsitek, dan lain profesi. Calon dokter
hanya layak disertifikasi dokter. Sertifikasi guru dilaksanakan oleh organisasi
profesi guru di daerah. Setiap profesi mensyaratkan organisasi profesi yang
mandiri dan tepercaya serta memiliki kode etik profesi yang ditaati.
Kemendikbud atau LPTK tidak memiliki kompetensi teknis dan moral untuk
melakukan sertifikasi guru. Dosen tidak berkompeten menilai kinerja profesional
guru.
Ketiga, jika jargon education for all masih
dipercaya, itu berarti juga education by all. Apalagi, dengan ketersediaan
jaringan internet saat ini, layanan pendidikan semakin tidak memerlukan
formalisme persekolahan. Setiap warga negara bisa belajar di mana saja, kapan
saja, dan dengan siapa saja. Internet sedang mengubah semua permainan, termasuk
pendidikan. Jika sekolah dan guru serta pemerintah tidak berubah, sekolah akan
menjadi museum dan guru akan menjadi dinosaurus abad ke-21.
Karena itu, peran dewan pendidikan daerah
perlu diperkuat agar layanan pendidikan lebih demand-sensitive dan lebih
nonformal. Layanan pendidikan universal justru tidak mungkin dicapai melalui
persekolahan belaka. Yang menjadi masalah bukan jumlah anak yang tidak
bersekolah, tapi jumlah anak yang tidak bisa belajar.
Layanan perpustakaan atau kesempatan magang di
usaha kecil di sekitar rumah justru memberikan kesempatan belajar yang lebih
luas daripada di kelas. Yang perlu dikembangkan adalah jejaring belajar
(learning web), bukan sekolah dengan semua formalisme dan kecongkakannya.
Kecenderungan yang berlebihan dari sekolah untuk memberikan pesan dan kesan
sebagai satu-satunya tempat belajar harus dikurangi atau dihilangkan sama
sekali.
Keempat, struktur Kemendikbud saat ini perlu
disederhanakan karena sebagian kewenangan pelayanan pendidikan sudah
didaerahkan dan diserahkan kepada masyarakat serta organisasi profesi.
Kemendikbud cukup mengelola pendidikan tinggi serta penelitian dan pengembangan.
Itu berarti Kemenristek dan Dirjen Pendidikan Tinggi disatukan menjadi
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset.
Daniel
Mohammad Rosyid ;
Penasihat
Dewan Pendidikan Jawa Timur,
Guru
Besar ITS
JAWA
POS, 08 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi