Di Kota Linz yang suram di
Austria saat itu, kala guru-guru berceloteh ihwal kekaisaran Romawi, Alexander
yang Agung, dan Napoleon Bonaparte, terlihat seorang murid yang rajin, tak
banyak bicara, tidak curang, dan rapornya berderet huruf A, tetapi murid ini
suka melamun dan berkhayal ihwal centang-perentang kehidupan.
Namanya Adolf Hitler. Siapa tahu,
lamunan-lamunan Hitler dibuktikan dengan menggelar impian kolosal, melibatkan
jutaan figuran yang berperan sebagai korban, dan mengupah jutaan aktor menjadi
pembunuh berdarah dingin.
Kisah yang hampir sama
diceritakan filsuf dan pakar politik Romawi Kuno, Senece, ihwal muridnya, Nero.
Bocah bernama Nero, oleh Senece selalu diajari ihwal keilmuan dan pengabdian.
Tetapi apa daya, ketika dewasa
Nero menjadi kaisar pembunuh, yang telah membunuh mati ibu, saudara-saudara,
istri, dan sekian banyak rakyat jelata. Bahkan gurunya, Senece sendiri pernah
diracun walaupun tidak mengakibatkan sang guru mendiang.
Dari kisah itu, dari mana murid
semisal Hitler dan Nero memperoleh gagasan-gagasan brutal dan menjunjung
prinsip-prinsip yang nyaris sepenuhnya berlawanan dengan akal? Ihwal yang sama
dapat dipertanyakan kepada dunia pendidikan di Indonesia yang melahirkan
tragedi kekerasan, bahkan terjadi kematian? Adakah kurikulum yang mengajarkan
siswa menjadi sosok tiran?
Inilah ragam soal yang layak
mendapatkan jawab pada momentum Hari Guru Nasional, 25 November sekarang.
Lahirnya tragedi kekerasan dalam dunia pendidikan menyiratkan akan krisis
keyakinan.
Sejak semula, pendidikan
beriringan dengan kepercayaan; percaya terhadap sifat hakiki kemanusiaan
sendiri dan percaya terhadap ada atau tidak adanya daya rohaniah yang lebih
besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat raya. Tiap kepercayaan
bersifat lokal dan pewarisannya terhadap anak cucunya merupakan intisari
pendidikan.
Para pendeta dan pujangga Mesir
kuno, Persia, Sumeria, Ibrani, Jawa, Melayu, dan sebagainya telah melukiskan
dan mewariskan ajarannya kepada anak cucunya. Tergantung anak cucunya, intisari
itu dijadikan spirit berpendidikan, atau disingkirkan bahkan digunakan legitimasi
kuasa jahat.
Sejarah masa lalu mengajarkan
bahwa Musa meletakkan ajaran etis hidup lewat Kitab Taurat. Orang Ibrani
memiliki nabi-nabi seperti Amos, Hosea, Elia, dan Elisa. Orang Kristen
mendengarkan ajaran Yesus, Paulus, Petrus, dan lainnya.
Muhammad mendidik umat Islam agar
menjadi rahmat bagi sesamanya. Demikian juga yang dilakukan Lao Tzu dan
Confusius di China, Sidharta Gautama di India, dan Ronggawarsito di Jawa
tentang menebarkan kebajikan di alam semesta raya.
Ihwal kekerasan yang terjadi di
dunia pendidikan kita merupakan bukti gagalnya Indonesia menyerap intisari
pendidikan dari para pujangga bangsa dan pujangga dunia.
Ki Hadjar Dewantara mengajarkan
bahwa ing ngarso sung tulodo (yang di depan menjadi teladan), tetapi mengapa
para senior tidak menjadi teladan, justru menyiksa para juniornya? Inilah salah
satu bukti kegagalan kita. Ironisnya lagi, kampus pendidikan kita mengalami
amnesti sejarah. Masyarakat menjadi "lupa ingatan" akan masa lalunya
sendiri.
Masa lalu yang senyap. Masa lalu
yang tidak aktual. Menangkap pesan sejarah dalam lima tahun terakhir saja kita
gagal, terjangkit amnesti sejarah, apalagi merujuk ihwal kebijaksanaan para
pujangga ratusan tahun, bahkan ribuan tahun silam. Mindset pendidikan kita
memang diarahkan pada amnesti sejarah atau memang para aktor kampus yang
berperan di sana?
Dua kemungkinan itu bisa terjadi
adanya. Bahkan, ada usaha legalisasi atas ragam kekerasan tersebut yang
dilakukan rezim kampus, para pejabat tingginya maupun mahasiswanya. Ironisnya,
ketika terjadi tragedi lagi, baru ada kesadaran baru. Memang telah terjadi
amnesti sejarah kekerasan.
Kehilangan
Kemanusiaan
Dalam kondisi demikian, Denis
Collins (1977) melihat bahwa kekerasan telah membuat manusia kehilangan
kemanusiaannya dan hak pemenuhan nasib. Kaum penindas bersuka akan suksesnya
menghujam tertindas. Malangnya, kaum tertindas merintih tak kuasa meminta
suaka.
Sebuah tragedi, yang menurut
penindas dianggap prestasi, sementara bagi tertindas dianggap “penjajahan”
(colonization). Lebih ganas Bernard Shaw melihat bahwa di muka bumi ini tidak
satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah
penjara. Dalam beberapa hal sekolah malah lebih kejam dari penjara.
Melihat sekujur tubuh pendidikan
kita yang penuh luka, sudah saatnya –menurut analisis Freire- pendidikan mesti
menjadi jalan menuju pembebasan permanen, yang dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, manusia menjadi sadar
(disadarkan) tentang penindasan yang menimpanya; ia harus menjalankan praksis
mengubah keadaan tertindas itu. Kedua, membangun kemantapan berdasarkan apa
yang sduah dikerjakan di tahap pertama; proses permanen yang diisi dengan
aksi-aksi budaya yang membebaskan.
Mereka harus disadarkan bahwa diri
pendidikan yang penuh luka; mereka harus melawan penindasan. Setelah itu
membangun plan action yang melibatkan seluruh khazanah budaya dan birokrasi
pemerintah dalam melawan aksi-aksi kekerasan tersebut.
Ketika merasuk dalam sendi budaya
maka mudahlah pemerintah dan praktisi pendidikan melakukan perubahan-perubahan
strategis dalam merekonstruksi dunia pendidikan agar dapat dilihat berkemilau
nan bercahaya.
Cahaya pencerahan ini akan
membuka gerakan pembebasan untuk mencipta tatanan masyarakat yang egaliter.
Cahaya guru inilah yang dapat memadamkan api kekerasan yang diwariskan Hitler,
Nero, dan para pelaku kekerasan di republik ini.
Siti
Muyassarotul Hafidzoh ;
Peneliti
pada Program Pascasarjana
Universitas
Negeri Yogyakarta
SINAR
HARAPAN, 27 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi