Masalah karakter siswa kini di
ambang krisis. Beberapa gejala krisis karakter siswa tengah mengancam generasi
muda kita beberapa bulan belakangan ini, seperti meningkatnya kasus tawuran
antarsekolah, kekerasan siswa geng motor, mewabahnya virus game online yang
destruktif, menggejalanya video seks yang diperankan siswa, dan kehidupan
glamor yang dicontohkan ta- yangan televisi.
Krisis karakter siswa ini bukan
terjadi tiba-tiba, melainkan proses panjang yang multifaktor. Di antaranya
mencerminkan pelaksanaan pendidikan di sekolah, tempat kurikulumnya hanya
berorientasi pada nilai dan guru, tidak lagi memerankan keteladanan. Ini
merupakan koreksi bagi seluruh elemen bangsa yang dilandasi cinta kepada para
guru dan pendidikan di Indonesia.
Disadari atau tidak, kurikulum sekolah kita
tidak menuntut standar ke cukupan moral seperti halnya dite tapkan di
negara-negara maju, terutama Finlandia.
Sekolah-sekolah kita hanya mencetak siswa
dengan standar nilai, sedangkan moral atau budi pekerti hanya menghiasi papan
visi-misi di halaman sekolah.
Begitu pun guru-guru kita, banyak yang hanya
mentransfer informasi tanpa memperkuat fungsi keteladanan.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru adalah pendidik profesional
yang salah satu fungsi utamanya sebagai pembimbing siswa. Membimbing itu dengan
contoh dan teladan, bukan dengan hafalan atau angka-angka semata.
Peran guru sangat mulia, jika
pemerintah tidak mengabaikannya seperti sekarang. Jargon klasik guru sebagai
sosok yang memerankan citra profesi yang digugu dan ditiru menjadi sangatlah
relevan dengan kondisi kekinian, sekaligus solusi terhadap ancaman krisis
karakter siswa. Peran guru sangat strategis dalam menjamin keberlangsungan
generasi masa depan suatu bangsa, seperti ditekankan UNESCO ketika pertama kali
menetapkan Hari Guru Internasional (5 Oktober 1994). Dan sekali lagi perlu
disadari, generasi seperti apa yang di butuhkan Indonesia? Hanya generasi
berkarakter produk pendidikan budi pekerti.
Atas dasar itu, mari kita mengajak semua
lapisan masyarakat untuk menagih janji menteri pendidikan untuk menghadirkan
kurikulum pendidikan yang mengedepankan pembentukan karakter siswa. Ini harus
menjadi software baru untuk mencetak siswa-siswa berbudi pekerti di sekolahnya,
berakhlak di keluarganya, dan beretika di lingkungannya.
Akhir tahun ini, kita bisa saksikan dan
kritisi bersama. Apakah pemerintah serius menyusun kurikulum berkarakter atau
hanya memformat ulang kurikulum lama dengan program-program yang dijejali
angka, hafalan, dan vonis yang namanya `nilai'. Kita berharap, bila kurikulum
baru telah mengakomodasi penguatan moral siswa, para guru akan memfungsikan
kembali keteladanannya. Sesungguhnya ini yang harus dikhayati tatkala
memperingati Hari Guru Nasional yang ke-67 sekarang. Pemerintah bertanggung
jawab memfasilitasi terjadinya revitalisasi fung- si keteladanan guru melalui
semua in strumen pendidikan. Dan itu momentumnya sekarang.
Sejarah hari Guru Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) lahir pada 25 November 1945, atau 100 hari setelah Proklamasi
Ke- merdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama
Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi
Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932. PGRI tetap setia dalam
pengabdiannya.
Peran guru dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia sungguh besar dan sangat menentukan. Guru merupakan salah satu faktor
yang strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang meletakkan dasar
serta turut mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik untuk masa depan
bangsa. Begitu besar peran dan pentingnya guru dalam memajukan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memberikan jaminan penghargaan,
perlindungan, dan kesejahteraan kepada guru. Sejak tahun 1994, setiap tanggal
25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI
secara bersama-sama.
Momentum peringatan Hari Guru Nasional dan HUT
PGRI, sudah sepantasnya menjadi refleksi, renungan, dan evaluasi bagi semua
guru untuk membuka kembali lembar catatan dari banyak peristiwa, persoalan, tantangan,
dan kendala yang telah dihadapi. Menjadi guru profesional bukanlah perkara
gampang, maka perlu kesadaran pada setiap diri para guru untuk menjadi sosok
yang memerankan citra profesi yang digugu dan ditiru.
Citra guru yang baik akan mengangkat kualitas
pendidikan itu sendiri.
Dan pendidikan yang baik akan dapat mengangkat
harkat dan martabat bangsa. Tidak ada guru, tidak ada pendidikan, tidak ada
pendidikan mustahil ada proses pembangunan. Hanya dengan sentuhan guru yang
profesional, bermartabat, dan diteladani, maka anak-anak bangsa akan menerima
proses pembelajaran yang mendidik dan bermutu. Guru itu adalah cermin
pendidikan, dan pendidikan itu akan tecermin dari para guru.
Herlini
Amran ;
Anggota
Komisi X DPR
REPUBLIKA,
27 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi