“Sekolah
RSBI menjadi ladang uji coba penerapan kurikulum yang berorientasi
kebarat-baratan.”
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan RSBI tidak sah dan melanggar
Konstitusi melegakan banyak pihak yang peduli dengan pendidikan pro publik. Publik
dengan antusias menyambut "bubar”-nya RSBI yang selama ini banyak
memunculkan kontroversi dan gugatan dari publik.
Memang
faktanya, keberadaan sekolah-sekolah RSBI (Rintisan Sekolah bertaraf
Internasional) tidak berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan
nasional. Eksistensi sekolah RSBI selama ini diakui tidak mampu mengungkit
peningkatan mutu sekolah sebagai "gerbang" pencerdasan generasi muda.
RSBI
justru tercitrakan sebagai institusi pendidikan yang berbiaya mahal yang
pelayanannya hanya bisa dinikmati anak usia sekolah dari keluarga berkasta
ekonomi mampu. RSBI yang dalam kegiatan belajar mengajarnya menggunakan dua
bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dianggap sekadar sebagai
"proyek" peningkatan kualitas pendidikan yang menghabiskan alokasi
dana APBN.
Satu
sekolah RSBI konon mendapatkan kucuran dana pembinaan per tahun antara Rp
200-750 juta. Sekolah RSBI menjadi "ladang uji coba" penerapan
kurikulum pembelajaran yang berorientasi kebarat-baratan (western oriented) dan
berbagai kegiatan yang beraroma penyerapan (penghabisan) anggaran di sekolah.
Dari
segala hal beraroma bintek pengembangan kompetensi guru hingga proyek
peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Sekolah-sekolah RSBI menjadi
"menara gading" di tengah sekolah-sekolah yang kualitas
sarana-prasarananya buruk dan tidak memadai.
Sekolah
RSBI yang ditarget berkembang menjadi sekolah bertaraf Internasional (SBI)
justru menjadi sekolah atau institusi pendidikan yang mendiskriminasi
aksesibilitas publik atas pendidikan yang layak dan berkualitas. Ironinya,
label "bertaraf internasional" dijadikan tameng praktik pungutan
anggaran yang membumbung tinggi di sekolah.
Sekolah
RSBI menjadi bagian dari apa yang disebut “Mc Donaldisasi pendidikan” bahwa
pendidikan menjadi komoditas yang standar harganya ditakar atas standar
pelayanan fisik yang diberikan, serta ditentukan sejauh mana sekolah bisa
menghargai dirinya dengan berbagai variasi pelayanan kegiatan belajar-mengajar
yang serba mewah.
Diskriminasi Pola Kolonial
Kehadiran
sekolah RSBI yang konon dilegitimasi UU No 20 Tahun 2003 yang
liberal-kapitalistik mengabaikan peran negara dalam mendorong fasilitasi
pendidikan yang murah dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Konsepsi
pendidikan untuk semua (education for all) dinegasikan oleh kehadiran dan
sekolah RSBI. Sekolah RSBI menjadi sekolah yang memberikan fasilitas pendidikan
yang didukung fasilitas yang "mewah" bagi anak-anak dari keluarga
berkasta ekonomi papan atas.
RSBI
telah mensegregasi anak usia sekolah dan masyarakat atas apa yang disebut
paradoks pelayanan pendidikan bagi masyarakat dan mengabaikan hakikat
pendidikan menjadi instrumen sosiologis yang mencerdaskan masyarakat. RSBI
ibaratnya seperti sekolah-sekolah di era kolonial (Belanda) yang mendiskriminasi
hak rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas.
Sekolah
di zaman kolonial semacam HIS, HBS, hingga sekolah pendidikan tinggi STOVIA
(Sekolah Kedokteran) dan OSVIA (Sekolah Pamong Praja) hanya bisa dinikmati oleh
anak-anak bangsa Belanda (Eropa) dan para aristokrat, yakni anak-anak punggawa
pemerintahan bumi putera yang menjadi alat kepentingan kolonial.
Sekolah-sekolah
di zaman kolonial sekadar menjadi institusi pendidikan yang berfungsi
menyiapkan tenaga administrasi bagi kepentingan sistem ekonomi kolonial dan
menyediakan tenaga fungsional di bidang kesehatan-pendidikan yang pekerjaannya
mengabdi kepada rezim penjajah.
Sekolah
ini menghamba kepada kepentingan pasar dan korporasi. Mengapa disebut demikian?
Karena pola pendidikan dan kurikulum RSBI mengacu kepada kepentingan pasar,
yang memerlukan tenaga-tenaga siap pakai untuk kepentingan politik niaga pasar
bebas. Sekolah ini menjadi sekolah yang membedakan status sosial masyarakat
atas kastanisasi ekonomi, jabatan, dan kemampuan membayar "jasa"
pelayanan pendidikan.
RSBI
seolah menjadi sekolah yang dihadirkan untuk mengabaikan mandat Pasal 31 dan
Pasal 34 UUD 1945 bahwa pendidikan nasional menjadi tanggung jawab negara dan
negara tidak boleh membeda-bedakan status dan eksistensi sekolah atas label
"unggulan" atau tidak "unggulan".
Mengawal Pembubaran
Kemendikbud
melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan
akan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Namun pernyataan tersebut tidak
menjamin RSBI akan tetap eksis dengan berganti "label", atau
"topeng' karena sekolah-sekolah RSBI merupakan produk unggulan birokrasi
pendidikan yang memiliki kepentingan terhadap anggaran.
Harus
diakui mandat UU No 20 Tahun 2003 bahwa batas minimal anggaran APBN untuk
sektor pendidikan sebesar 20 persen membuat "bingung" perencana
(pendesain) kebijakan pengelolaan anggaran.
Anggaran
puluhan bahkan ratusan triliun sangat sulit dibelanjakan karena mindset
pengambil kebijakan pendidikan yang terbiasa dengan kultur penghabisan anggaran
sehingga anggaran yang besar tidak sebanding dengan desain inovasi dan kreasi
perencanaan pendidikan. Akibatnya, sekolah RSBI dan proyek-proyek peningkatan
mutu guru menjadi objek belanja pengeluaraan anggaran Kemendikbud.
Untuk
itulah publik dan masyarakat yang antidiskriminasi pendidikan harus berani
mengawal dan mengadvokasi keputusan MK tentang pembubaran sekolah RSBI. Jangan
sampai RSBI hanya sekadar berganti wajah dan pola kebijakannya dilanjutkan.
Publik harus sadar bahwa eksistensi sekolah RSBI tidak mampu meningkatkan
kualitas pendidikan nasional dan tidak mampu mengungkit meningkatnya mutu
sumberdaya manusia.
Pendidikan
yang mampu meningkatkan kualitas manusia dan pendidikan nasional adalah yang
memiliki konsepsi pendidikan untuk semua. Pendidikan harus ditingkatkan mutu
dan dukungan anggaran secara adil dan merata. Tidak boleh ada sekolah yang
dimanjakan fasilitas dan diperbolehkan menjadi alat kepentingan bisnis yang
mengabdi kepada kepentingan pasar.
Publik
saat ini harus mengadvokasi putusan MK sebagai media perjuangan pendidikan yang
humanis, egaliter, dan pro publik. Publik harus bisa merealisasikan gagasan
pendidikan yang memiliki filosofi nilai kegotongroyongan sosial, seperti apa
yang dicita-citakan oleh KH Dewantara. Pendidikan bukan diabdikan untuk
kepentingan elite sosial, namun untuk masyarakat. Rest in peace sekolah RSBI!
Ari Kristianawati ;
Guru SMAN 1 Sumberlawang, Sragen
SINAR HARAPAN, 11 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi