SELAMA beberapa hari ini, media massa
nasional terus-menerus memberitakan variasi tanggapan tentang rencana penerapan
Kurikulum 2013.
Dari rekaman media, kita bisa
ungkapkan bahwa Kurikulum 2013 tersebut diterapkan, karena tuntutan adanya
perubahan yang fundamental terhadap perilaku dan pengetahuan peserta didik
secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif. Namun, masyarakat masih
bingung dan belum memahami sepenuhnya apa isi Kurikulum 2013 itu.
Hal ini karena kurangnya sosialisasi
ke masyarakat, apalagi persepsi terhadap perubahan kurikulum, yang dinilai
hanya kulitnya saja, sedangkan intinya tetap tidak berubah. Kalaupun ada kegiatan
sosialisasi, itu hanya akal-akalan saja.
Memori masyarakat masih terekam kuat
sehubungan pameo selama ini bahwa "ganti menteri, ganti kurikulum” atau
“kulitnya diganti, isinya tetap sama” atau “perubahan kurikulum hanya
menghamburkan uang".
Orang masih melihat dengan sinis dan
pesimistis karena setiap ada kurikulum baru, ternyata setelah diterapkan juga
tidak membawa perubahan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan anak didik.
Mari kita menengok perubahan
kurikulum di era Orde Baru. Kita pernah mengenal Kurikulum 1975, kemudian
Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004 yang dikenal dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Melihat rentang waktu tersebut, dapat
disimpulkan pergantian suatu kurikulum terjadi dalam kurun waktu yang cukup
panjang, yakni 10 tahun. Namun, pergantian KBK (2004) menjadi Kurikulum 2006
atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hanya dalam waktu dua tahun.
Kurikulum 2006 belum berjalan
efektif, muncul lagi ide Kurikulum 2013. Benar juga pameo yang berbunyi
"ganti menteri, ganti kurikulum", ternyata masih relevan hingga saat
ini.
Dari tinjauan historis gonta-ganti
kurikulum tersebut, ternyata kemerosotan mutu pendidikan kita sudah terasakan
selama bertahun-tahun, namun anehnya selalu saja kurikulum dituding sebagai
penyebabnya.
Kalau begitu di mana letak
kesalahannya? Kita melihat fakta, sekolah-sekolah yang
bermutu dari masa ke masa tetap saja
mempertahankan mutu pendidikannya, karena para gurunya memiliki kemampuan
profesional dan para siswanya serius belajar, ditambah dengan manajemen sekolah
yang efektif.
Karena itu, kemerosotan pendidikan
lebih disebabkan oleh kurang profesional guru dalam belajar-mengajar. Buktinya,
sejak beberapa tahun lalu mulai dilakukan perbaikan kinerja guru melalui uji
kompetensi guru, dan berbagai pelatihan, hasilnya banyak guru tidak lulus dan
hasil uji kompetensi terasa tidak efektif.
Dalam konteks inilah faktor utama
yang memengaruhi efektivitas belajar-mengajar, yaitu guru dan kurikulum. Karena
itu, pembenahan dan perbaikan kurikulum seharusnya dimulai dari para guru.
Gurulah yang akan "menghidupkan" kurikulum itu sejalan dengan
memperhatikan kesejahteraan guru.
Bila perubahan itu dilakukan tanpa
pengkajian berdasarkan pengalaman guru selama ini di lapangan, dan tanpa
melibatkan banyak pihak seperti orang tua dan murid, maka tidak akan ada
hasilnya.
Artinya, apa pun bentuk
penyempurnaannya tanpa melibatkan banyak pihak, tidak akan membawa hasil.
Justru yang terjadi adalah kulitnya saja yang berubah, namun isinya tetap sama,
tidak membawa perubahan.
Jiwa Nasionalisme
Konon Kurikulum 2013 diarahkan untuk
memperkuat jiwa nasionalisme para peserta didik. Ada beberapa pertimbangan di
mana kurikulum pendidikan diserahkan ke sekolah dengan nama KTSP ternyata tidak
efektif. Buktinya, setelah dilakukan evaluasi ada beberapa hal yang dinilai
tidak tepat, terutama terkait kurikulum penguatan nasionalisme.
Oleh karena itu, Kemendikbud
berencana memperkuat nasionalisme dan tidak mengabaikan aspek kebersamaan
secara nasional sehingga metodologi dan materi empat mata pelajaran, yakni
Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika, harus
ditata ulang.
Konon ada alasannya. Selama ini
anak-anak kita dinilai tidak memiliki waktu untuk membangun karakter dirinya.
Pendidikan yang diberikan oleh sekolah hanya menekankan pembelajaran yang
bersifat akademik, sementara yang bersifat perilaku diabaikan.
Artinya, konsep pendidikan nasional
yang saat ini diterapkan telah mengabaikan pendidikan watak/karakter dan
kemampuan bernalar. Akibatnya, terjadi krisis moral di mana-mana, seperti
perkelahian pelajar, menyontek, banyak siswa terlibat masalah seksual, dan
lain-lain, dan kasus-kasus tersebut kurang memenuhi harapan masyarakat.
Dalam konteks inilah pendidikan
nasional perlu diarahkan. Tidak saja pendidikan itu bertujuan mencerdaskan
bangsa, membentuk watak bangsa, tetapi juga menjadi bagian dari upaya mampu
bertarung di era globalisasi.
Ini karena tujuan akhir pendidikan
adalah membangun kesadaran kritis anak didik akan berbagai macam soal, termasuk
nilai moral, hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Perlu
penekanan yang lebih besar pada pendidikan nilai dan pembentukan watak/karakter
bangsa, sejalan dengan peningkatan kemampuan penguasaan iptek modern.
Moral Pancasila, pendidikan etika,
dan kewarganegaraan dijadikan dasar pijakan perilaku, keterampilan, dan
pengetahuan anak didik untuk mengembangkan dirinya. Terlepas dari itu, sebelum
kurikulum baru itu diterapkan, faktor utama yang harus dilakukan adalah
mengubah mental, cara, dan metode belajar-mengajar dalam diri guru sendiri.
Perlu dipahami, penyempurnaan
kurikulum harus dilakukan secara menyeluruh, konseptual, gradual, dan
konstitusional. Maksudnya, apa pun bentuk penyempurnaannya, semua tergantung
pada bagaimana terwujudnya praktik pendidikan yang lebih bermutu untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu, yang berlaku secara nasional, sampai
di pelosok Nusantara.
Pendidikan yang baik akhirnya tetap
tergantung pada mutu guru, di mana guru harus memberi teladan yang kreatif,
aktif, dan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Kita sangat mendukung dan berharap
tidak hanya slogan murahan bahwa pembenahan kurikulum akan melibatkan guru,
mulai dari konsep pemikiran sampai dengan tahap pelatihan pada guru.
Rencana ini sangat baik kalau serius
dilakukan karena kurikulum itu sendiri berarti seperangkat program
belajar-mengajar yang berfungsi sebagai pedoman untuk mencapai tujuan
pendidikan, yaitu memberikan bekal kemampuan intelektual dan spiritual yang
diperlukan bagi siswa yang akan dikembangkannya di dalam hidupnya.
Keterlibatan guru dalam pembentukan
menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat untuk menghasilkan kurikulum yang
bermutu tentu saja tidak boleh diabaikan kebutuhan siswa itu sendiri.
Cyprianus Aoer ;
Mantan Anggota Komisi X DPR,
Bekerja di Lembaga Sertifikasi Profesi Hotel dan Restoran
SINAR HARAPAN, 15 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi