Hasil Trends in
International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2011, yang baru saja
dipublikasikan, semakin menegaskan kondisi gawat darurat dunia pendidikan di
Tanah Air.
Nilai rata-rata
matematika siswa kelas VIII (kali ini Indonesia tidak mengikutkan siswa kelas
IV) hanya 386 dan menempati urutan ke-38 dari 42 negara. Di bawah Indonesia ada
Suriah, Maroko, Oman, dan Ghana. Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand,
dan Singapura, berada di atas Indonesia. Singapura bahkan di urutan kedua dengan
nilai rata-rata 611. Nilai ini secara statistik tidak berbeda secara signifikan
dari nilai rata-rata Korea, 613, di urutan pertama dan nilai rata-rata Taiwan,
609, di urutan ketiga.
Hasil Sains tak kalah
mengecewakan. Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara dengan nilai rata-rata
406. Di bawah Indonesia ada Maroko dan Ghana. Yang mencengangkan, nilai
matematika dan sains siswa kelas VIII Indonesia bahkan berada di bawah
Palestina yang negaranya didera konflik berkepanjangan.
Hasil Progress in
International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011, yang juga baru diterbitkan,
menempatkan siswa kelas IV Indonesia di urutan ke-42 dari 45 negara dengan
nilai rata-rata 428. Di bawahnya ada Qatar, Oman, dan Maroko.
Rendahnya kemampuan
siswa-siswa Indonesia di matematika, sains, dan membaca juga tecermin dalam
Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kecakapan
anak-anak berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang
dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Indonesia telah
ikut serta dalam siklus tiga tahunan penilaian tersebut, yaitu 2003, 2006, dan
2009. Hasilnya sangat memprihatinkan. Siswa-siswa Indonesia lagi-lagi secara
konsisten terpuruk di peringkat bawah. Kita tunggu bersama hasil penilaian
tahun 2012.
Benar bahwa kita pun
memiliki anak-anak yang meraih medali dalam berbagai olimpiade matematika
ataupun sains. Namun, jumlah mereka tak seberapa dibandingkan total populasi
anak-anak di Indonesia. Kita tak bisa mengandalkan pembangunan bangsa dan
melepaskan kebergantungan bangsa ini pada produk impor, bahkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan, hanya pada segelintir orang saja.
Konsistensi buruknya
hasil-hasil penilaian internasional terhadap kemampuan matematika, sains, dan
membaca siswa-siswa Indonesia merupakan indikator kuat adanya
”penyakit-penyakit” kronis dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pun tampaknya belum berhasil menyembuhkan
”penyakit-penyakit” itu. Bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan yang diambil
justru semakin memperparah kondisi pendidikan di Tanah Air.
Ujian Nasional,
misalnya, telah terbukti gagal dalam meningkatkan prestasi akademis siswa kita.
Asesmen-asesmen internasional, seperti TIMSS, PIRLS, dan PISA, sangat tepat
untuk dijadikan indikator kegagalan UN. Berbagai kajian seputar ujian kelulusan
yang dilakukan di beberapa negara juga belum berhasil membuktikan bahwa ujian
kelulusan merupakan instrumen tepat untuk meningkatkan prestasi akademis siswa.
Sementara itu,
dampak-dampak negatif, seperti penyempitan kurikulum, terfokusnya pembelajaran
pada latihan-latihan soal, terhambatnya pembelajaran yang menekankan
kreativitas dan inovasi, ataupun kecurangan-kecurangan, telah terbukti.
Kondisi gawat darurat
ini tentunya harus segera direspons bila kita tak ingin gagal dalam
mempersiapkan anak-anak dengan kecakapan yang mereka butuhkan untuk menghadapi
tantangan abad ke-21, dengan masalah yang semakin kompleks yang kerap
membutuhkan alternatif penyelesaian dengan cara-cara yang tidak biasa.
Kegagalan kita dalam mempersiapkan generasi mendatang tentunya akan berimbas
pada keberlangsungan bangsa dan negara di tengah persaingan global.
Memanfaatkan
Asesmen internasional
Pemeringkatan tentunya
bukanlah tujuan utama keikutsertaan Indonesia dalam PISA, TIMSS, PIRLS, ataupun
asesmen international lain. Berbagai kajian yang dilakukan oleh penyelenggara
asesmen sebetulnya memberikan informasi yang sangat kaya yang dapat
dimanfaatkan untuk mengevaluasi kebijakan dan praktik pendidikan yang
dijalankan selama ini. Kita pun dapat belajar dari kesuksesan negara-negara
lain dalam mempersiapkan anak-anaknya dengan sikap-sikap dan
kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan abad ke-21.
Strong Performers and
Successful Reformer in Education: Lessons from PISA for the United States yang
diterbitkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 2010
menegaskan, antara lain, bahwa negara-negara yang menempati peringkat atas
memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan kualitas guru. Negara-negara
peringkat atas yang dikaji dalam laporan OECD tersebut ialah China, yang
diwakili oleh Shanghai dan Hongkong, Kanada, Finlandia, Jepang, dan Singapura.
Finlandia, misalnya,
merekrut guru dari 10 persen terbaik lulusan perguruan tinggi, sementara Kanada
dari 30 persen terbaik. Hal ini tentunya dimungkinkan bila profesi guru
mendapatkan penghargaan tinggi di mata masyarakat dan dunia kerja, yang juga
terkait pendapatan yang diterima.
Dalam rangka
pengembangan kompetensi, guru-guru di Singapura mendapatkan pelatihan selama
100 jam setiap tahun, sementara guru-guru di Shanghai mendapatkan pelatihan
selama 240 jam dalam kurun lima tahun. Sangat kontras dengan minimnya pelatihan
yang diperoleh guru-guru SD di Indonesia berdasarkan hasil survei Federasi Serikat
Guru Indonesia (Kompas, 6/12/2012).
Pembelajaran di
negara-negara peringkat atas PISA semakin difokuskan pada penalaran tingkat
tinggi yang menggeser pembelajaran yang berorientasi penguasaan materi untuk
persiapan tes atau ujian yang kerap didominasi oleh hafalan dan latihan-latihan
soal. Pergeseran fokus pembelajaran tentunya membutuhkan guru-guru yang mampu
menciptakan atmosfer belajar yang mendukung.
Kelas yang makin
heterogen dari sisi kemampuan akademis siswa juga menjadi kecenderungan di
negara-negara peringkat atas tersebut. Shanghai dan Hongkong telah meniadakan
ujian di akhir jenjang pendidikan dasar yang biasa digunakan untuk menyeleksi
siswa ke jenjang pendidikan berikutnya karena dipandang sebagai penghalang bagi
pembelajaran yang mendorong kreativitas dan inovasi. Tempat tinggal siswalah
yang menentukan ke mana siswa dapat melanjutkan sekolahnya. Konsekuensinya,
tentu pemerintah harus menjamin bahwa semua sekolah memiliki kualitas yang
bagus.
Hal ini sangat kontras
dengan Indonesia yang menggunakan nilai UN untuk seleksi siswa ke jenjang
pendidikan berikutnya, bahkan untuk siswa SD yang akan melanjutkan ke SMP. Di
lain pihak, Finlandia hanya mengadakan ujian untuk melanjutkan studi ke
perguruan tinggi.
Revisi
Kurikulum
Revisi kurikulum memang
harus dilakukan, antara lain, karena banyaknya mata pelajaran dan terlalu
padatnya materi yang ingin dijejalkan kepada peserta didik. Tidak sedikit di
antara materi-materi tersebut sebetulnya tidak sesuai dengan usia peserta didik
sehingga hanya menjadi sekumpulan fakta untuk dihafalkan tanpa memahami
maknanya.
Namun, kecermatan dan
ketepatan dalam mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan
tentunya amat diharapkan dalam proses revisi kurikulum agar menghasilkan
kurikulum yang memang sesuai tuntutan zaman. Bukan kurikulum dengan tempelan
pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran sehingga terkesan memaksa,
sebagaimana tecermin dalam draf kompetensi dasar beberapa mata pelajaran.
Laporan OECD di atas
juga makin menegaskan bahwa guru memegang peranan teramat vital dalam
mempersiapkan siswa dengan sikap-sikap dan kecakapan-kecakapan belajar yang
dibutuhkan dalam menghadapi tantangan abad ke-21, tanpa mengabaikan peran
faktor-faktor lain. Oleh karena itu, sebelum mengetuk palu untuk mengesahkan
Kurikulum 2013, alangkah baiknya bila dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mengetahui secara pasti
permasalahan-permasalahan dalam kurikulum tersebut, termasuk dalam
implementasi.
Tak tertutup kemungkinan
kegagalan implementasi KTSP disebabkan pengabaian terhadap pengembangan
profesionalitas dan kualitas guru yang telah berlangsung lama.
Elin
Driana ;
Dosen
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta;
Koordinator Education Forum
KOMPAS,
14 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi