Polemik jurnal
mengemuka kembali di kalangan akademisi setelah pada Februari 2012 sempat
memenuhi media massa. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)
Kemendikbud, baru-baru ini mengeluarkan Surat Edaran baru No: 1483/ E/T/2012
yang intinya akan mengevaluasi prodi doktoral akankah tetap komit menjalankan
amanah Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/ 2012 tanggal 27 Januari 2012
tentang publikasi internasional. SE Januari itu me-mang berisi keharusan
mempublikasikan jurnal ilmiah bagi calon sarjana, magister dan doktor per Agustus
tahun ini. Dikti melihat rendahnya publikasi internasional kampus-kampus di
Tanah Air sangat mencolok jika dibandingkan dengan kampus-kampus sejenis luar
negeri. Dalam pemahaman luas, rendahnya penelitian para scholar Indonesia
akhirnya menyebabkan akselerasi pembangunan tanah air menjadi tersendat.
Namun benarkah
indikator banyaknya jumlah jurnal menandakan kemajuan bangsa? Majunya negara
Eropa, Amerika, Jepang dan Malaysia sebagai pembanding dalam SE tersebut
sebetulnya bukan disebabkan karena jumlah jurnal yang dipublikasikan namun
lebih karena etos masyarakatnya yang mendukung.
Bahkan jurnal yang
diterbitkan dengan bahasa ilmiah yang sulit dicerna masyarakat kebanyakan
ditambah dengan deretan rumus uji statistik rumit, akhirnya hanya berhenti
sampai di rak-rak perpustakaan atau dalam folder portal jurnal elektronik. Para
pelaku di tataran riil, baik pelaku ekonomi, praktisi, maupun birokrasi masih
belum menemukan solusinya bagaimana mensintesa sebuah karya ilmiah menjadi
produk praktis atau kebijakan untuk kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, sudah
sangat jamak jika praktisi atau pengambil kebijakan tidak menggunakan dasar
jurnal sebagai landasan pengetahuan dalam pengambilan keputusan. Daya akurasi
jurnal masih belum dapat disandingkan dengan karya tulis para konsultan yang
kini sangat menjamur menjadi profesi baru.
Betapapun, menurut SCI
(Science Citation Index) yang berbasis pada jurnal SCOPUS, terjadi peningkatan
jumlah publikasi ilmiah internasional dari peneliti Indonesia pada tahun 2010.
Satu dekade lalu jumlah publikasi ilmiah internasional masih 580 penelitian,
namun pada tahun lalu sudah mencapai 1.925 artikel. SCI memperkirakan sampai
dengan akhir tahun 2011, penelitian Indonesia yang bisa dipublikasikan oleh
grup SCOPUS paling tidak akan mencapai 6.000 artikel.
Kendati demikian,
menurut penelitian SCI (2010), peringkat peneliti Indonesia masih berada di
posisi 64 dari 234 negara yang disurvey. Indonesia masih kalah produktif
dibanding Singa-pura yang menduduki peringkat 31, Thailand (42) dan bahkan
negeri jiran Malaysia (48). Untuk ilustrasi, AS memproduksi 4,3 juta artikel
ilmiah per tahun dan menduduki urutan pertama SCI. Sementara Jepang berada pada
urutan ketiga SCI dengan 1,2 juta artikel per tahun.
Jumlah peneliti memang
menjadi persoalan, namun angka 6.000 artikel yang diproduksi tentu sangat jauh
dari harapan. Jumlah peneliti dengan kualifikasi pendidikan magister pada tahun
2010 berada pada kisaran 71.489 peneliti, sementara dengan kualifikasi doktor
sebanyak 13.033 orang. Jumlah guru besar dan profesor paling tidak
diproyeksikan 4.500 orang. Sangat tidak sebanding dengan jumlah karya tulis
yang diterbitkan dalam jurnal internasional.
Bagi kalangan dunia
nyata, sebetulnya tidak menjadi persoalan karya ilmiah diterbitkan dalam jurnal
internasional atau tidak, asalkan kondisi bangsa dalam keadaan sejahtera.
Negara Brunei Darussalam yang minim penelitian juga tidak mengharuskan para
guru besar, profesor atau doktor untuk menulis artikel internasional toh warga
negara dalam keadaan sejahtera.
Namun, berbeda dengan
Indonesia, situasi yang demikian karut marut sungguh memerlukan peran dan
kontribusi para scholar untuk turun gunung. Sangat diharapkan pengalaman
penelitian dan analisis dari studi perbandingannya sehingga dapat dengan cepat
di-'copy paste' ke dalam sistem negara ini. Tidak seperti sekarang, negara ini
keha-bisan energi karena pemimpinnya sibuk melakukan trial and error dari
setiap kebijakan.
Eksekutif tidak
memiliki pengalaman dan benchmarking sehingga buta dan tuli. Untuk menyelesaikan
pro dan kontra pembatasan subsidi BBM saja menghabiskan tiga tahun la-manya
tanpa hasil. Rencana demi rencana dilontarkan dan membuat rakyat dalam keadaan
terteror secara psikologis. Semula akan dilakukan dengan kartu magnetik
tertentu dan kini entah dengan cara apa.
Rendahnya publikasi
jurnal internasional sebenarnya tidak semata-mata sebagai sumber kelambanan
dari seluruh aspek bangsa. Tidak ada sinkronisasi antar-program satu dengan
yang lainnya adalah sebab utama carut marut sistem bernegara. Saat negeri ini
dirasakan mulai terjadi krisis bahan pangan pokok, upaya membuat
program-program sepertinya serius, namun tidak sampai dua bulan kemudian isu
itu hilang dengan sendirinya. Ini mengingatkan ketika pemerintah meluncurkan
program biofuel sebagai alternatif BBM fosil, namun kini hilang entah ke mana.
Kini, ketika subsidi bahan bakar dalam APBNP 2012 mencapai Rp 305,9 triliun
padahal disain semula Rp 195,3 triliun baru semua tersadar. Tergopoh-gopoh kini
kuota ditambah 1,23 juta kilo liter, padahal diperlukan tambahan belanja
minimal Rp 5,6 triliun.
Jadi, ketidak-fokusan
pemerintah dalam membuat program peningkatan kesejahteraan rakyat pada akhirnya
juga menderitakan rakyat. Kendati demikian, kalangan scholar seperti profesor
dan doktor seharusnya tidak tinggal diam untuk memberikan pandangan keilmuan
dari kekuatan penelitiannya. Banyak sekali ilmuwan Indonesia sekarang ini
memilih meneliti fenomena di negara lain sebagai objek riset dari pada masalah
dalam negeri, alasan klasik terutama disebabkan karena minimnya dana. Masalah
ini memang harus pula diperhatikan oleh Kemendikbud.
Effnu
Subiyanto ;
Mahasiswa
Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik
(Forkep)
SUARA
KARYA, 13 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi