JAWA POS edisi Rabu (12 Desember halaman 15) menurunkan
berita bersumber Mendikbud M. Nuh: Jatah untuk Mahasiswa Miskin Harus Sampai
FK-FE. Di depan forum rektor PTN, Mendikbud menyatakan bahwa alokasi kursi
mahasiswa baru untuk keluarga miskin belum merata. Masih banyak terserap di
fakultas nonfavorit dan berbiaya murah saja, tak termasuk fakultas kedokteran
(FK) dan fakultas ekonomi (FE).
Presiden SBY pun prihatin dan berkomentar. Saat rakor
terbatas bidang pendidikan Juli lalu, presiden mengkritik biaya mahasiswa jalur
mandiri untuk FK yang bisa mencapai Rp 200 juta. Presiden sampai meminta agar
tidak ada lagi kenaikan biaya pendidikan di PTN.
Awal pendidikan kedokteran hingga mengubah perilaku menjadi
dokter profesional memang dilalui dengan proses seleksi yang sangat kompetitif.
Proses kuliah mahasiswa kedokteran dimulai dengan kuliah klasik, lalu menuju
materi berorientasi klinis, hingga latihan yang intens. Mereka diwajiban
menguasai ilmu biomedis termasuk anatomi, fisiologi, biokimia, farmakologi, patologi,
dan ilmu perilaku serta medical ethics and law hingga ilmu klinik, baik rumpun
bedah maupun nonbedah, yang didapat dari program clerkships maupun putaran
klinik.
Dalam proses pendidikan itu, yang dibutuhkan bukan hanya
transfer ilmu pengetahuan, tapi juga pembentukan sikap serta perilaku yang baik
terhadap pasien dan kolega. Mereka masuk pembelajaran seperti kuliah berkelas
besar, seminar dengan 10-25 mahasiswa, problem based learning dengan 8-12
mahasiswa, tutorial dengan 4-12 mahasiswa, praktikum dengan 8-12 mahasiswa,
maupun bedside teaching dengan 2-4 mahasiswa.
Intinya, mereka harus melewati serangkaian kapasitas dalam
proses pencetakan menjadi anggota baru kelak dengan citranya. Lalu,
perlahan-lahan mereka melewati ujian hingga akhirnya belajar mendiagnosis
pasien. Persis yang ada pada Blooms's taxonomy, mereka tidak sekadar tahu, tapi
harus tahu dan mampu berdiskusi -menginterpretasi, mengaplikasi, menganalisis,
menyinstesis, dan akhirnya mampu mengevaluasi.
Setelah lulus, seorang dokter akan memberikan pelayanan
kesehatan di tengah masyarakat yang dinamis. Kepercayaan masyarakat akan
terguncang jika terjadi banyak kasus kelalaian medis dan malapraktik. Karena
itu, dibuat regulasi yang mengatur profesi kesehatan untuk menjaga budaya dan standar
kualitas produk profesi kedokteran.
Carr-Sunders & Wilson (1933) menyebutkan beberapa elemen
pada profesi kedokteran. Yaitu, adanya pengetahuan khusus (lewat pendidikan),
kontrol atas pekerjaannya, standar etika yang tinggi, etos yang tinggi, nilai
kebersamaan yang kuat, posisi tunggal dalam pasar kerja, serta status sosial
yang tinggi (tingginya minat sekaligus tingginya respek masyarakat terhadap
profesi dokter).
Kurikulum pendidikannya diawasi secara rutin dengan standar
ketat. Masih ada lagi kurikulum informal yang akan menuntun sikap, perilaku,
serta integritas. Proses pendidikan kedokteran yang ketat itu berlangsung
bertahap dan saling terkait dengan kemampuan negara dalam membiayainya. Nah, di
sinilah masalahnya.
Dalam negara berkembang dengan penduduk yang sangat besar
seperti Indonesia, kebutuhan profesi dokter sangat besar, sedangkan yang
tersedia masih sedikit. Rasio antara dokter dan jumlah penduduk masih sangat
timpang.
Mulanya, negara mengambil solusi konservatif dengan
menyelenggarakan pendidikan kedokteran lewat FK di PTN yang jumlahnya sangat
terbatas. Dulu hanya dikenal UI, UGM, Unair, Undip, USU, dan Unhas. Berikutnya
ditambah Unibraw, Unpad, Unsoed, UNS, Unila, dan lain-lain. PTN-PTN itu bisa
dikatakan menerapkan prinsip konservatif dan prudential.
Demi menjaga kualitas lulusannya, proses pendidikannya sangat
ketat, berstandar sangat tinggi, berbiaya sangat mahal, dan lulusnya sulit.
Bahkan, iklimnya bisa dibilang sangat feodal. Jika di fakultas sastra seorang
mahasiswa menyapa dosen seniornya cukup dengan ''Pak'', mahasiswa FK menyapa
dosennya harus dengan sapaan ''Dok'' atau ''Prof''. Warna itu mungkin memang
dimaksudkan untuk menjaga standar kualitas dan perilaku profesi kedokteran.
Namun, hasilnya, jumlah dokter lulusan PTN-PTN masih sangat sedikit, tak
sebanding dengan kebutuhan ratusan juta warga kita. Biayanya sangat mahal,
hasil lulusannya sedikit.
Lalu, pendirian FK di PTS yang sebelumnya langka diperbanyak.
Pendidikan kedokteran di PTS itu ''ditengarai'' berprinsip lebih moderat.
Kurikulum dan sumber ilmunya sama dengan PTN. Tapi, proses dan iklim belajarnya
tak seketat serta seseram di PTS yang konservatif. Rasio dosen dan mahasiswanya
bisa lebih longgar dibanding FK di PTN. Karena itu, biaya pendidikannya lebih
murah. Selain itu, terbuka kemungkinan bisa menghasilkan lulusan dalam waktu
yang relatif lebih cepat dan lebih banyak. Dengan demikian, ''jalur moderat''
di PTS itu bisa membantu mempercepat penambahan dokter baru. Mereka juga harus
melewati UKD (uji kompetensi dokter Indonesia) untuk menjaga kualitas.
Pembiayaan Negara
Meski bersikap lebih ''moderat'', biaya pendidikan kedokteran
di PTS tetap saja paling tinggi dibanding fakultas lainnya. Dokter adalah
profesi yang berhubungan dengan kesehatan dan nyawa manusia. Ibaratnya, salah
mendiagnosis pasien akan berakibat salah memberikan tindakan dan resep obat
yang bisa berisiko fatal. Dibutuhkan keahlian, keterampilan, serta sikap
profesional dengan standar tinggi yang hanya bisa dicapai lewat serangkaian
proses pendidikan dan latihan yang ketat, lama, serta berbiaya mahal.
FK membutuhkan lulusan SMA yang pandai agar nanti bisa lulus
sebagai dokter yang berkualitas dan berintegritas tinggi. Kenyataannya, banyak
lulusan SMA yang dari sisi kualitas cukup pandai, tapi takut masuk FK gara-gara
biaya yang mencekik.
Karena itu, pemerintah lalu memberikan alokasi bagi siswa
berprestasi namun miskin agar bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Salah satunya, mengucurkan bantuan operasional (BO) dan program bidik misi yang
dari tahun ke tahun jumlahnya ditingkatkan. Bisa dikatakan, pemerintah sudah
memulai revolusi pendanaan pendidikan untuk level perguruan tinggi.
Nah, bisakah model pembiayaan seperti itu diterapkan di
perguruan tinggi, termasuk untuk FK dan FE, tanpa menurunkan kualitas? Tentu
harus bisa agar si miskin mendapat kesempatan pendidikan seluas-luasnya seiring
meningkatnya APBN pendidikan. Monggo, Pak Nuh.
Djoko Santoso ;
Dosen FK Unair dan
Dokter RSUD dr Soetomo
JAWA POS, 15 Desember
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi