Hadirnya pendidikan merupakan upaya
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi
wadah penanaman nilai dan membentuk karakter serta kepribadian anak bangsa.
Dengan pendidikan, diharapkan kehidupan masyarakat lebih bermartabat.
Bila masalah pendidikan diperhatikan
dengan saksama maka tampak jelas bahwa pendidikan berbanding lurus antara
krisis moral dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk dikomersialisasikan
sehingga hal ini akan menimbulkan krisis moral terhadap anak bangsa.
Hal demikian terjadi karena
orientasi pendidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia
yang material-kapitalistik. Sistem pendidikan yang berbasis material-kapitalistik
itu sudah melekat mulai dari kebijakan hingga penyelenggaraan; sehingga tujuan
serta fungsi pendidikan yang diimplikasikan dalam materi dan kurikulum hanya
menjadi slogan verbal belaka.
Sistem pendidikan yang berbasis
material-kapitalistik tersebut berdampak terhadap sikap masyarakat dan warga
sekolah. Adanya sistem tersebut menimbulkan sikap pragmatis bagi warga sekolah,
sehingga berdampak terhadap cara pandang masyarakat. Saat ini masyarakat
menganggap pendidikan identik dengan mencari kerja. Pendidikan hanya dijadikan
tempat pengembangan potensi, agar setelah lulus sekolah bisa bekerja di
tempat yang layak.
Hal demikian menjadi pertimbangan
utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Mereka berlomba-lomba
menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit ataupun sekolah yang menjanjikan
pekerjaan bagi muridnya.
Selain orang tua, sekolah pun
berlomba-lomba menjanjikan pekerjaan bagi siswanya ketika sudah lulus sekolah.
Ini merupakan salah satu potret sistem pendidikan yang pragmatis.
Lantas yang menjadi pertanyaannya
adalah mengapa masyarakat menganggap pendidikan hanya dijadikan tempat mencari
ijazah dan pekerjaan? Bukankah sudah jelas dalam UU No 20 Pasal 3 Tahun 2003
dijelaskanbahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak terealisasinya tujuan
pendidikan itu akibat dominasi budaya serta sistem pragmatisme dalam dunia
pendidikan.
Bukan hanya dalam dunia pendidikan,
budaya pragmatis juga menjalar di masyarakat. Hal itu karena adanya
ketidaksesuaian dalam sistem pendidikan saat ini. Pendidikan diarahkan untuk
pemenuhan kebutuhan pasar.
Penanaman nilai serta pembentukan
karakter dan kepribadian pun kian terbengkalai, karena yang ditekankan adalah
agar siswa dapat bekerja. Proses tidak lagi mendapatkan ruang yang banyak dalam
pendidikan, tapi hasil menjadi hal yang urgen. Lulus ujian dan mendapatkan
ijazah merupakan harapan utama para siswa.
Dengan lulus ujian dan mendapatkan
ijazah, siswa dapat melamar pekerjaan, karena kedua hal tersebut menjadi salah
satu syarat. Ironisnya, berhasil tidaknya siswa mengenyam pendidikan itu
ditentukan dengan Ujian Nasional (UN). Inilah yang mendukung dominasi sistem
pendidikan yang pragmatis.
Dengan sistem pendidikan pragmatis,
pendidikan tidak lagi mencetak siswa yang berkarakter, tetapi mencetak siswa
yang hanya ahli bekerja. Dengan demikian, yang terjadi adalah banyaknya kasus
pelanggaran yang dilakukan siswa saat mengenyam pendidikan, tawuran
antarpelajar, menyontek, bolos sekolah misalnya.
Sistem pendidikan pragmatis, juga
menyeret banyak lembaga pendidikan untuk terjebak dalam budaya pragmatis.
Budaya pragmatis tersebut menjadikan corporate values sebagai nilai utama dalam
membangun pendidikan. Pendidikan tidak lebih hanya seperti supermarket.
Pengelola pendidikan akan berbondong-bondong untuk mencari siswa sebanyak-banyaknya
dengan memberikan jaminan mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Akibatnya, kecurangan kerap kali
menghiasi lembaga pendidikan pada saat pelaksanaan UN, guna menjaga popularitas
lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang dapat meluluskan siswa 100 persen yang
akan dicari masyarakat. Jika seperti itu terus dilestarikan, nilai-nilai
pendidikan sedikit demi sedikit akan pudar.
Sistem pragmatis pastinya akan
memengaruhi pada proses pendidikan. Menurut pandangan Habermas, ada tiga
kategori pengetahuan yaitu teknis, praktis dan emansipatoris. Jika budaya
pragmatis mendominasi dunia pendidikan, pengetahuan teknis-praktis akan
mendominasi proses pendidikan. Yang terjadi dalam proses pendidikan adalah
pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya.
Tak “Mendidik”
Pergolakan antara idealisme dan
sistem pragmatisme dalam dunia pendidikan akan terus terjadi. Di satu sisi,
pendidikan mempunyai peran dalam membentuk dan menanamkan nilai, kepribadian
serta karakter siswa. Namun, di sisi lain pendidikan harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Idealisme pendidikan tidak akan
berarti ketika disandingkan dengan sistem pragmatis yaitu berupa ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri, pendidikan dewasa ini diarahkan untuk memperbaiki
ekonomi seseorang. Jika hal ini terjadi, “Kehidupan publik seperti apa
yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan?” (Neil Postman: 1996).
Pendidikan diyakini untuk memainkan
peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan masyarakat yang bermartabat.
Bahkan, pendidikan diyakini sebagai tolok ukur keberhasilan bangsa. Namun, jika
pendidikan diarahkan ke hal yang bersifat pragmatis maka yang menjadi basis
pendidikan bukan lagi nilai-nilai idealisme.
Saat ini pasarlah yang membentuk
pendidikan. Pendidikan memenuhi kebutuhan pasar. Sedikit sekali lembaga
pendidikan yang mempertahankan idealismenya. Pendidikan mengikuti kebutuhan
pasar, karena tanpa bekerja seseorang tidak akan bisa hidup.
Paradigma seperti itulah yang sudah
tertanam dalam masyarakat. Lembaga pendidikan jika mempunyai prospek untuk
kerja maka lembaga pendidikan tersebut akan laris. Bahkan, hal itu sangat
kentara di tataran perguruan tinggi.
Orang tua akan lebih senang jika
anaknya kuliah di fakultas yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang
lebih kelak ketika sudah kerja. Jadi, tidak heran fakultas yang digemari
masyarakat adalah fakultas yang berorientasi pasar dan mudah untuk kerja,
misalnya fakultas ekonomi, akuntansi, dan kedokteran.
Fakultas yang tidak bisa memenuhi
kebutuhan pasar maka sedikit yang berminat, seperti fakultas filsafat dan
antropologi. Saat ini masyarakat menyekolahkan anak bukan berdasarkan keilmuan
yang akan diperoleh, tetapi berdasarkan prospek kerja ke depan.
Nur Sholikhin ;
Peneliti
Bidang Pendidikan di Garawiksa Institute Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 04 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi