Setelah
membahas tentang paradigma indirect learning dalam tulisan
pertama kemarin, dengan keterbatasan ruangan, saya menyambung dengan pembahasan
mengenai keluhan ''robotisasi guru''.
Sebagai
salah satu anggota Tim Penyusun Kurikulum Mata Pelajaran Antropologi, saya
mencoba ''menghayati'' maksud yang diamanatkan oleh Kurikulum 2013. Rasanya tak
ada tujuan untuk memberatkan siapa pun, apalagi robotisasi guru. Tentu masih
ada kekurangan di sana-sini, akan tetapi dengan semangat ''berubah menuju
baik'' demi anak bangsa, rasanya wajar kalau kita mengikuti dulu kebijakan ini.
Pemerintah, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan juga terus berupaya
mencari strategi agar guru tidak bingung dengan kondisi ini.
Hambatan Inovasi
Dalam
tulisan kemarin saya menguraikan contoh-contoh, untuk menghindari kekhawatiran dan
kebingungan banyak orang. Seolah-olah kurikulum yang baru mengharuskan guru
mengajarkan agama, misalnya guru Bahasa Inggris atau guru mata pelajaran lain
di luar guru agama dan guru PKn, padahal tidak demikian.
Kebingungan
itu wajar, mengingat sebuah inovasi pasti mengalami berbagai kendala dalam
pelaksanaannya. Demikian pula Kurikulum 2013 yang merupakan salah satu inovasi
bidang pendidikan. Menurut Rogers (1987), dalam sebuah inovasi pasti ada
hambatan-hambatan, yakni hambatan sosial, budaya, dan hambatan psikologis.
Hambatan sosial lebih disebabkan adanya interaksi antarindividu dan/ atau
bertentangan dengan pranata sosial yang ada. Dalam kasus ini guru menerima
informasi dari interaksinya dengan sesama guru atau kolega yang belum jelas
juga, sehingga pemahamannya bisa salah.
Kebingungan
pemahaman karena hasil interaksi ini bisa memunculkan skeptisitas atau hambatan
sosial dalam menyikapi perubahan kurikulum. Hambatan budaya terkait dengan
sistem nilai, perilaku, sikap, dan kepercayaan. Dalam kasus pergantian
kurikulum, guru merasa belum memercayai nilai ìkebaikanî yang terkandung dalam
kurikulum. Karena belum percaya maka masyarakat/ guru bisa saja memilih
bersikap skeptik.
Maka
untuk membuktikan ìkebaikanî itu justru kurikulum harus diberlakukan. Hambatan
psikologis lebih pada ìrasa kenyamananî: guru sudah terbiasa dengan kurikulum
lama. Apalagi guru punya perasaan ìkurikulum lama saja belum jelas dan paham,
kok sudah berganti dengan yang baruî. Perasaan itu tentu saja memicu
ketidaknyamanan dan ìkegusaranî.
Kompetensi Generik
Kebingungan
lain yang mengemuka adalah ketika silabi sudah disusun oleh Tim Penyusun
Kurikulum, ada anggapan guru ''dirobotisasi''. Anggapan itu sah-sah saja,
karena belum tentu jelas kebenarannya. Sebelum menyusun silabi, tim juga harus
membuat Kompetensi Generik. Kompetensi ini merupakan ìkompetensi bayanganî,
artinya tidak muncul secara eksplisit dan tertulis dalam Kurikulum 2013, namun
disusun oleh tim sebagai panduan untuk menyusun Kompetensi Dasar berdasarkan
Kompetensi Inti.
Kompetensi
Generik bertujuan membuat keterkaitan sesama mata pelajaran dalam suatu
pemintan. Dengan kata lain, dengan adanya Kompetensi Generik ini, semua mata
pelajaran kelompok pemintan mengembangkan kompetensi yang sama, yang berbeda
hanya konteksnya, Dengan demikian ikatan mata pelajaran menjadi solid untuk
membangun kompetensi yang utuh, terintegrasi.
Berdasarkan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Generik, disusunlah Kompetensi Dasar dan silabi.
Beberapa contoh Kompetensi Dasar sudah saya contohkan dalam tulisan bagian
pertama, kemarin.
Dengan
disusunnya silabi di tingkat pusat justru guru punya acuan dalam menyusun dan
mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan silabi yang
ada. Sementara itu penyusunan RPP mengharuskan guru kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan strategi pembelajaran, media, dan alat peraga. Demikian pula
dalam proses pembelajaran guru dan siswa sudah diberi acuan untuk menanya,
mengamati, mengasosiasi, mengeksplorasi, dan mengomunikasikan.
Dengan
acuan tersebut, misalnya guru dan siswa dapat (dan harus) mengeksplorasi
kekayaan lokal lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar dalam proses
pembelajaran. Jadi tidak benar jika ìdiseragamkanî, justru ìditungguî
kreativitasnya dalam proses pembelajaran dengan acuan silabinya.
Jauh dari
maksud merobotisasi guru, sebaliknya guru diberi kebebasan untuk mengembangkan
kegiatan pembelajaran dengan proses menanya, mengamati, mengasosiasi,
mengeksplorasi, dan mengomunikasikan pada setiap pembelajarannya. Dengan demikian
pembelajaran menjadi proses yang menyenangkan, aktif, kreatif, dan inovatif.
Silabi
justru akan mengurangi kebingungan guru dalam menyusun RPP, mengingat
kompetensi dalam kurikulum yang baru ini ìbegitu idealî. Sebisa mungkin guru
ìdimudahkanî untuk mencapainya. Pusat Kurikulum juga sudah menyusun buku-buku
sesuai dengan kompetensi dalam kurikulum baru, seperti buku pegangan guru dan
siswa. Pelatihan-pelatihan untuk guru juga sudah dirancang, mengingat Indonesia
memiliki wilayah dengan heterogenitasnya, maka merancang dan melaksanakan
pelatihan juga tidak gampang.
Dengan
banyaknya jumlah guru, tentu pelatihan dilaksanakan secara bertahap. Pelatihan
pertama untuk para kepala sekolah dan pengawas, karena salah satu tugas mereka
adalah membimbing guru dalam merancang pembelajaran, termasuk menyusun RPP.
Maka kepala sekolah dan pengawas harus paham Kurikulum 2013, agar dapat
membimbing guru.
Memang
masih banyak ketidaksempurnaan di sana sini, namun minimal inilah iktikad baik
pemerintah untuk “menenteramkan” kehirukpikukan pro dan kontra pemberlakuan
Kurikulum 2013.
Tri
Marhaeni Puji Astuti ;
Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu
Sosial Unnes, Anggota Tim Penyusun Kurikulum Mata Pelajaran Antropologi
SUARA MERDEKA, 01 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi