BERDASARKAN Keppres 78 Tahun 1994
tentang Hari Guru, yang menjadi dasar pertimbangan penetapan Hari Guru Nasional
tiap tanggal 25 November adalah keyakinan pemerintah bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional, terutama pengembangan dan peningkatan kualitas SDM,
sangat bergantung pada guru.
Untuk itu, pemerintah melalui Kemendikbud,
Kemenag, dan PGRI pada tahun 2012 menetapkan pedoman Peringatan Hari Guru
Nasional dan HUT Ke-67 PGRI secara bersama-sama dengan tema ”Memacu
Profesionalisasi Guru melalui Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik”.
Indonesia telah mereformasi dunia pendidikan,
ditandai dengan pengundangan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
(UUGD) untuk mencapai pendidikan bermutu. Kebijakan ini selaras dengan visi
negara kita menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2050, mengingat Indonesia memiliki bonus
demografi.
Hal itu juga terkait dengan proporsi SDM usia
produktif yang sangat besar dan berkualitas pada 2015-2035 sehingga aset
tersebut bisa menjadi modal utama kemajuan bangsa. Tapi kondisi itu
mensyaratkan SDM tersebut yang kini masih menjadi peserta didik di PAUD/ TK,
SD/ MI, SMP/ MTs, SMA/ SMK, dan MAN/ MA mendapat pendidikan yang bermutu.
Terkait dengan posisi guru, UU Nomor 14 Tahun
2005 menyebutkan bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi
keterwujudan penyelenggaraan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip
profesionalitas guna memenuhi hak yang sama bagi tiap warga negara dalam
memperoleh pendidikan bermutu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan
guru sebagai tenaga profesional juga mengemban fungsi untuk meningkatkan
martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran demi meningkatkan mutu
pendidikan. Saat ini jumlah guru PNS di bawah Kemendikbud tercatat 1.684.977
orang (PNS 1.549.211; PNS Depag 24.406; dan PNS DPK 133.326), guru tetap
yayasan 314.355, guru tidak tetap 926.344 (guru bantu 15.584, guru honorer
daerah 57.631, GTT 831.163, guru honorer sekolah negeri 21.966).
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga
profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pasal 8,9, dan 10 UUGD
mensyaratkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Kualifikasi akademik sekurang-kurangnya sarjana atau D-4.
Adapun kompetensi menyangkut aspek pedagogik, kepribadian, sosial, dan
keprofesionalan. Sertifikat pendidik diperoleh melalui pendidikan profesi dan
portofolio/ pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG).
Regulasi menyangkut guru dan dosen tersebut
secara tegas juga menyebut guru sebagai profesi, sebagaimana profesi yang lain.
Ada banyak pengertian yang bisa membantu untuk memahami arti profesi, tapi
untuk guru minimal harus mencakup empat kriteria, yakni memiliki tanggung jawab
sosial atau mengabdi kepada nilai keutamaan; memiliki keahlian khusus atau
pendidikan tertentu; berorganisasi profesi; dan memiliki kode etik.
Sebagai profesi, guru harus menjunjung tinggi
nilai-nilai dan etika untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat
dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional.
Untuk itu, guru harus menjadi anggota
organisasi profesi. Terkait dengan penegakan kode etik, organisasi profesi guru
membentuk dewan kehormatan dengan kepengurusan dari tingkat pusat, provinsi,
hingga kabupaten/kota; serta LKBH PGRI dengan struktur yang sama.
Guru tidak perlu khawatir dengan
kode etik itu, yang mengatur norma dan etika yang memang mengikat perilaku
terkait pelaksanaan tugas keprofesionalan. Sejatinya, pengundangan kode etik
itu justru untuk menjaga serta meningkatkan kehormatan dan martabat guru.
Rekomendasi
Sanksi
Supaya sebagai profesi bisa menjaga kehormatan
dan bermartabat, seorang guru harus mematuhi kode etik. Kode etik itu pun
bersumber dari nilai-nilai agama, Pancasila, nilai-nilai empat kompetensi
(pedagogik, kepribadian, sosial ,dan profesional), serta nilai-nilai jati diri,
harkat, dan martabat manusia.
Selain untuk menjaga martabat dan kehormatan
guru, kode etik dapat mencegah praktik kesewenang-wenangan terhadap guru
terkait tugas profesinya. Tapi kita tidak boleh menafsirkan bahwa hal itu
berarti guru akan terbebas dari hukuman bila melakukan pelanggaran.
Hal itu selaras dengan MoU yang ditandatangani
Kapolri dan Ketua Umum PB PGRI. Transkrip kesepahaman itu, ”Perbuatan tindak
pidana yang tak disengaja dan perbuatan yang rawan timbulnya tindak pidana
berkaitan dengan profesi, proses penyelesaian hukumnya diutamakan melalui
perdamaian dalam rangka menjaga kewibawaan guru di mata peserta didik, orang
tua/wali, dan masyarakat, dengan tidak menyalahi dan tetap berdasarkan
peraturan perundang-undangan”.
Artinya, guru yang melanggar kode etik lebih
dulu akan ”diadili” oleh dewan kehormatan, dan guru tersebut bisa melakukan
pembelaan diri dengan/ atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/ atau
penasihat hukum, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Dewan kehormatan akan merekomendasikan
pemberian sanksi terhadap guru yang terbukti melanggar kode etik, kepada pimpinan
organisasi tempat guru itu bekerja, sesuai dengan tingkatannya. Rekomendasi
sanksi itu sejatinya merupakan upaya pembinaan kepada guru yang terbukti
melanggar kode etik, tapi dengan tetap menjaga harkat dan martabat profesinya.
Muhdi
;
Sekretaris
Umum PGRI Provinsi Jateng, Rektor IKIP PGRI Semarang
SUARA
MERDEKA, 26 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi