SAAT ini Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan menyusun kurikulum baru yang bakal digunakan pada 2013. Dalam
drafnya, kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi
pengembangan pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah peningkatan
efektivitas belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru, menjadi kunci.
Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui
program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 Tahun.
Yang ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga
strategi itu tentu perlu kita apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud
memberikan catatan atas strategi tersebut.
Catatan pertama, ketiga dimensi strategi
tersebut saling berkaitan, bukan besaran yang mandiri. Harus dikatakan bahwa
dimensi pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam
banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang
pertama. Itu telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun lalu dan bisa
kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini.
Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi
kedua, yaitu semakin lama bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah), semakin
baik. Lalu, semakin lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin
baik. Asumsi itu hanya valid bila dimensi pertama juga valid. Artinya,
pembelajaran terjadi secara efektif. Jika asumsi tersebut tidak valid, semakin
lama seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari justru semakin
buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi tersebut sangat dipengaruhi oleh
schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka.
Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih
bersifat kuantitatif relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya
ketersediaan anggaran. Semakin besar anggaran semakin baik. Sementara dimensi
pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit. Untuk dimensi pertama itulah,
praktik pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya, proses pembelajaran di
banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif: tidak membangun karakter dan
kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar hidup sehat dan produktif.
Kedodoran itu dibuktikan dengan utak-atik
kurikulum yang dilakukan selama ini, termasuk upaya pengembangan kurikulum 2013
saat ini. Kedodoran itu diperparah oleh guru yang tidak kompeten dan budaya
sekolah yang tidak meritokratik sebagai pelaksana kurikulum yang mengubah
kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana.
Pada akhirnya, pendidikan yang baik bergantung
bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya. Proses
memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan praktik
kehidupan sehari-hari. Sesederhana itulah sebenarnya apa yang bisa kita
harapkan dari pendidikan.
Bukan
Perubahan Kurikulum
Di abad internet ini, belajar semakin tidak
membutuhkan sekolah. Yang dibutuhkan adalah sebuah jejaring belajar (oleh Ivan
Illich disebut learning web) yang lentur dan luwes. Murid bisa belajar di mana
saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Kurikulum harus menyesuaikan murid,
bukan sebaliknya. Dalam perspektif itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten. Saya
merasa khawatir ikhtiar Kemendikbud kali ini akan sia-sia (lagi) dan Kurikulum
2013 akan menjadi perencanaan kegagalan pendidikan dan kita bakal menuai
"tagihan demografi", bukan bonus demografi.
Perbaikan mutu pendidikan itu dengan demikian
sesungguhnya bergantung kepada kualitas guru dan budaya sekolah. Di sana murid
mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekadar
menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seperti saat ini, dan budaya sekolah
sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian
dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari.
Sekolah menjadi lahan tandus inovasi, tempat yang tak memadai bagi beragam
ekspresi multiranah multicerdas murid-muridnya.
Yang kita butuhkan saat ini bukan perubahan
kurikulum, melainkan perubahan guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi
sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi
oleh birokrat pendidikan dan wali murid. Pembinaannya harus dilakukan oleh
organisasi profesi guru, bukan oleh pemerintah. Guru tidak boleh dipandang
lebih sebagai pegawai. Tapi, mereka sebagai profesional yang bekerja dengan
berpedoman kepada kode etik guru, sesuai tema Hari Guru 25 November tahun ini.
Budaya belajar dapat dikembangkan dengan
sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan
layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet
yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian, hargai pengalaman dan praktik
murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya menulis,
lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di sekolah
dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekadar tempat
guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan
birokrasi.
Daniel
M Rosyid ;
Penasihat
Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Guru Besar ITS
JAWA
POS, 26 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi