Pendidikan harus memerdekakan dan
membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan. Pendidikan nasional bukan untuk
kepentingan politik, golongan, atau agama, melainkan untuk membangun bangsa.
Masyarakat dunia sesudah Perang
Dunia II dilandasi peradaban, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana, berciri
modern, rasional, berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan menekankan hak-hak
manusia. Namun, menurut Djojonegoro, pada tahun 1940, rakyat Indonesia yang
mengenyam pendidikan dasar sangat sedikit, bahkan mahasiswa hanya 157 orang
(Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, 1996).
Akhirnya, para pendiri Republik
yang menjadi cerdas karena pendidikan sekolah menetapkan tujuan kemerdekaan
sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Mereka
yang menganut moto ”membangun bangsa, membangun sekolah” itu menetapkan
kewajiban pemerintah sebagai ”mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional” (Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945).
Mencerdaskan
Rakyat
Sering ”mencerdaskan kehidupan
bangsa” dimaknai sebagai memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apa pun
mutunya. Saat ini, memang kesempatan memperoleh pendidikan tingkat SD sudah
berada di atas 96 persen, tingkat SMP hampir 70 persen serta perguruan tinggi
di atas 10 persen. Namun, kehidupan bangsa yang cerdas sesungguhnya belum
terwujud. Lembaga pendidikan kita masih dengan gedung sekolah tanpa
laboratorium, tanpa buku, tanpa lapangan olahraga, dengan guru yang kurang
terjamin kesejahteraannya.
Hakikat mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah gerakan transformasi budaya dari tradisional dan feodalistik
menjadi modern, rasional, demokratis, dan berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek).
Semangat ”ada hari ada nasi”
harus berubah menjadi rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Perlu
transformasi budaya bagi perubahan sikap hidup: dari menerima nasib menjadi
manusia yang memiliki jati diri dalam menghadapi tantangan. Untuk itu, sekolah
harus menjadi pusat pembudayaan warga negara yang bermoral, beretos kerja,
berdisiplin, produktif, demokratis, dan bertanggung jawab.
Persoalan besar yang sedang kita
hadapi sekarang adalah hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar kita
meninggalkan tujuan pendidikan seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara,
pendiri Perguruan Tamansiswa, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Di situ, siswa dilihat
sebagai makhluk sosial.
Tujuan pendidikan nasional adalah
menciptakan insan mandiri yang tidak bergantung pada orang lain, tetapi juga
tidak menjadi individualis, insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka
hidup bersama. Idealnya, pendidikan bersifat membebaskan dan memberdayakan.
Pendidikan
Terpisah dari Rakyat
Rakyat sebagai pemilik negeri
semakin susah mendapatkan pendidikan bermutu. Pendidikan kita semakin
menciptakan segregasi sosial (pengotak-kotakan masyarakat) berdasarkan
kemampuan ekonomi dan agama. Sekolah negeri yang seharusnya sekolah kebangsaan
semakin terpenjara oleh berbagai kepentingan non-pendidikan.
WS Rendra mengungkapkan
kegelisahannya tentang pendidikan yang semakin terpisah dari kenyataan hidup
rakyat. Apa gunanya pendidikan bila hanya membuat seseorang menjadi asing di
tengah kenyataan persoalannya? Apa gunanya pendidikan bila hanya mendorong
seseorang menjadi layang-layang di Ibu Kota, kikuk pulang ke daerahnya? (Sajak
Seonggok Jagung, 1975)
Tak kalah memprihatinkannya,
praktik pungutan untuk mengikuti pendidikan wajib belajar masih berlangsung,
meski tersurat dalam konstitusi ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pemerintah pun secara sadar tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 31 Ayat 2, tetapi hanya membantu melalui program
yang dikenal dengan bantuan operasional sekolah (BOS).
Padahal, bersama ketentuan Ayat 4
yang mewajibkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta ketentuan Ayat 5 yang
mewajibkan pemerintah untuk memajukan iptek, tujuan akhirnya adalah mewujudkan
Indonesia sebagai negara kesejahteraan dengan rakyat yang cerdas. Pendidikan
untuk semua lapisan masyarakat.
Di samping dimensi pembiayaan,
yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen penyelenggaraan pendidikan. Di
hampir semua negara kesatuan, seperti Perancis, Inggris, atau Jepang,
penyelenggaraan pendidikan tidak sepenuhnya terdesentralisasi. Perancis adalah
negara kesatuan yang tidak mengenal desentralisasi penyelenggaraan pendidikan.
Inggris, sejak Perdana Menteri Margaret Thatcher mengurangi otonomi
penyelenggaraan pendidikan, terutama yang terkait kurikulum, karena mutu
pendidikan justru merosot akibat desentralisasi.
Sejak UU Pemerintahan Daerah
tahun 1999 berlaku, otonomi penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada
pemerintah tingkat kabupaten. Dunia pendidikan pun tercemari kepentingan
politik sesaat. Bahkan, ada cerita nyata, karena sang bupati tidak suka dengan
kepala SMA di suatu kota, kepala sekolah itu dipindahkan menjadi guru TK di
daerah terpencil.
Rakyat
Bertindak
Apa yang salah dengan pendidikan
kita? Mengapa setelah hampir 70 tahun merdeka, kualitas pendidikan kita belum maju,
dan bahkan tertinggal dari negara-negara di sekitar kita? Para pendiri Republik
mungkin menangis melihat sebagian besar rakyat Indonesia yang belum cerdas.
Visi mulia pendidikan dalam
konstitusi seperti kata-kata kosong makna, hanya menjadi bumbu retorika politik
para penguasa menjelang pemilu. Visi pendidikan diperdebatkan dan menjadi bahan
diskusi, tetapi tidak mengubah dan menghidupi apa pun. Kebijakan sistem
pendidikan, kurikulum nasional, dan peraturan perundang-undangan berubah-ubah
tanpa arah karena selalu tersandera oleh berbagai kepentingan non-pendidikan.
Dan, akhirnya rakyat tetap menjadi obyek pendidikan bukan subyek.
Memang menagih janji pendidikan
untuk rakyat bersenjatakan konstitusi tidaklah cukup. Kita tidak bisa hanya
berpangku tangan dan menantikan kemauan politik pemerintah untuk memajukan
pendidikan.
Rakyat terdidik perlu merapatkan
barisan dan mengorganisasi diri demi menuntut pendidikan untuk rakyat. Orangtua
dan guru menjadi garda depan memperjuangkan visi mulia pendidikan dan menolak
campur tangan kepentingan non-pendidikan.
Organisasi guru yang independen
dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek penguasa perlu
ditumbuhkembangkan dan diperkuat. Komunitas-komunitas pendidikan harus terus
bersuara tanpa kenal lelah, mendesak dan menanamkan berbagai kebijakan
pendidikan untuk rakyat dalam sistem demokrasi dan ketatanegaraan saat ini.
Diskusi
Panel Kompas
‘Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi