Pengantar
Redaksi
Menandai peringatan Hari
Kemerdekaan RI, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar Muda Indonesia
(LMI) pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri II/2012 di Bentara
Budaya Jakarta (BBJ). Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara Kesejahteraan:
Pendidikan yang Memerdekakan”, diskusi menampilkan pembicara Jalaluddin Rakhmat
(Yayasan Muthahari), Elin Driana (Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka), dan
H Soedijarto (Universitas Negeri Jakarta), dipandu oleh Daniel Adipranata. Hasil
diskusi yang dirangkum oleh Chris Panggabean dan Daniel Adipranata dari LMI
serta wartawan ”Kompas” Kenedi Nurhan, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari
ini.
Sesuatu yang alamiah jika
individu menginginkan yang terbaik. Sesuatu yang mulia jika ada kehendak untuk
maju mencapai kondisi yang lebih baik lagi. Dalam hal ini pembanding
diperlukan. Apakah membandingkan satu hal dengan hal lain yang setara; atau
membandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Apa pun itu diperlukan suatu
tolok ukur, gunanya untuk meminimalkan bias dalam menilai diri. Setelah proses
belajar berlangsung banyak pihak yang ingin mengetahui, sampai sejauh apa
pelajaran dapat terserap, siswa mana saja yang kemampuan menyerap
pengetahuannya lebih terbelakang dibanding teman-teman satu sekolah, sekolah
mana saja yang dapat memberikan proses pembelajaran yang terbaik dan
seterusnya. Tolok ukur diharapkan menjadi masukan dalam proses evaluasi
sehingga dapat diketahui sudah sejauh apa melangkah dan sisi mana yang masih
perlu diperbaiki.
Konstruk pengukuran semestinya
disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuannya untuk evaluasi
proses, selayaknya ia ditempatkan sebagai data masukan untuk memperbaiki
proses. Lantas bagaimana jika angka tolok ukur menjadi tujuan itu sendiri?
Atau lebih parah lagi tolok ukur
turut dijadikan penentu kelulusan siswa, penentu besarnya dana bantuan ke
sekolah, penentu karier para guru? Karena ada konsekuensi besar pascamistar
pengkuran (lewat high stakes testing), serta-merta subyek-subyek yang terlibat dalam
ujian nasional menjadikan angka-angka yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai
tujuan.
Tidak mengherankan jika dalam
ujian nasional ada banyak kasus di mana kepala sekolah dan para guru
memfasilitasi siswanya untuk saling ”berbagi” saat ujian berlangsung. Pihak
sekolah ingin konduite sekolahnya bagus, para siswa tidak ingin mengulang satu
tahun lagi.
Untuk itu angka kelulusan minimal
harus tercapai. Tanpa disadari oleh pembuat kebijakan standar baku yang
ditentukannya menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah.
Kontradiksi
Ada kontradiksi dalam kebijakan
pendidikan nasional. Sistem evaluasi pendidikan nasional di akhir bertentangan
dengan proses pembelajaran yang sudah berlangsung. Ujian Nasional yang
seharusnya memetakan perbedaan kualitas pendidikan malah menjadi alat untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
Padahal, perbedaan kualitas
pendidikan dan pengetahuan sejak semula ada di dalam proses pendidikan itu.
Pemerintah mengenal beberapa kategori sekolah: sekolah reguler, sekolah standar
nasional (SSN) dan sekolah berstandar internasional (SBI). Setiap kategori
memiliki perbedaan fasilitas dan metode belajar mengajar.
Untuk ketiganya diadakan Ujian
Nasional yang sama. Saat ini sistem pendidikan nasional menggunakan kurikulum
operasional yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Intinya pihak
sekolah dan komite sekolah diminta untuk menyusun kurikulum sesuai dengan
kondisi geografis, ekonomis, dan sosial di mana sekolah itu berada.
Artinya, proses pembelajaran
sangat dimungkinkan berbeda-beda antarsekolah sesuai dengan karakteristik
tiap-tiap sekolah. Untuk kesemuanya itu, kelulusan siswa ditentukan oleh satu
ujian nasional yang sama.
Cara berpikir yang sama juga
pernah coba diterapkan lewat aturan yang mewajibkan mahasiswa S-1 dapat lulus
jika telah menulis satu artikel di jurnal ilmiah. Pembuat kebijakan seolah tak
paham bahwa di dunia ilmiah yang dipandang adalah impact factor-nya, bukan
seberapa banyak jurnal yang diterbitkan. Jika angka yang menjadi tujuan, ada
banyak cara pragmatis untuk mencapainya.
Meneruskan gaya high stakes
testing dalam sistem pendidikan hanya akan mengungkung perkembangan potensi
individu. Sekolah akan mengajarkan bahwa kebenaran ada pada otoritas, guru
misalnya. Padahal, pada era digital seperti sekarang pengetahuan dapat diperoleh
dari berbagai sumber.
Intelegensi tidak lebih dari daya
ingat dan kemampuan mengulang. Akurasi ingatan dan kemampuan mengulang ini yang
justru mendapatkan pengakuan. Tak mengherankan jika daya analitis dan kemampuan
berpikir kritis semakin menurun.
Biasanya mereka yang tidak patuh
terhadap sistem akan dihukum sehingga konformitas secara intelektual dan sosial
meningkat. Sukar menemukan inovasi dan kebaruan dari karakter-karakter semacam
ini.
Sekolah tidak lebih dari pabrik
untuk mencetak murid-murid yang mampu melewati ujian akhir. Karena fokus pada
ujian nasional, jumlah jam belajar di kelas sama lamanya dengan jam belajar di
tempat les.
Kegiatannya bukan mencari
pengetahuan, melainkan mengulang-ulang soal dan mencari cara singkat menjawab
soal. Siswa pun menjadi cepat bosan, terasing dan frustrasi.
Berpikir
Instrumental
Proses belajar tidak lagi menjadi
pengalaman yang menyenangkan. Tidak ada lagi kegembiraan karena mendapatkan
pemaknaan dari penyingkapan pengetahuan. Ada kekosongan dalam proses belajar.
Peserta didik menjadi terlatih untuk berpikir instrumental.
Ciri khas cara berpikir ini
adalah melakukan manipulasi agar tujuan tercapai. Makna pendidikan menjadi
terdegradasi. Pendidikan ini dikhawatirkan semakin jauh dari apa yang pernah
digambarkan oleh para pendiri bangsa.
Jika dikatakan bahwa pendidikan
kita terlalu menekankan aspek kognitif dan kurangnya aspek spiritual adalah
benar adanya. Namun, aspek spiritual yang dimaksud bukanlah gagasan tentang
agama, melainkan menciptakan kebaikan bagi kehidupan bersama, bagi kemajuan
komunitasnya.
Seperti yang dilakukan oleh para
pendiri bangsa yang menggunakan pengetahuannya untuk membentuk kesadaran lepas
dari kungkungan kolonialisme. Bagi mereka, kemerdekaan akan membuat bangsa
menjadi lebih baik.
Pendidikan seharusnya menambah
pengetahuan yang mengarahkan individu untuk mampu berempati, bekerja sama dan
saling melayani dengan individu lain sehingga ketidakadilan dapat terkurangi.
Kesemuanya itu memupuk fondasi
bagi karakter diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan dan terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan kreativitas dapat
diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah pendidikan yang
memerdekakan mendapatkan pemaknaannya.
Diskusi
Panel Kompas
‘Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi