Mengamini
Korporasi Edukasi Pencederaan HAM Serius
TAJUK Media Indonesia (14/7) berjudul Menertibkan
Sekolah Nakal menyebutkan dunia pendidikan masih memperlihatkan wajah suram.
Penerimaan siswa baru dari jenjang terendah sampai tertinggi masih diwarnai
berbagai pelanggaran, terutama menyangkut pungutan.
Posko pengaduan penerimaan siswa baru tahun ajaran
2012-2013 yang dibentuk Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Ombudsman mencatat
setidaknya ada 112 kasus pelanggaran di 108 sekolah di Tanah Air. Mayoritas
pelanggaran terkait dengan pungutan. Besaran pungutan bergantung pada jenjang
pendidikan. Untuk tingkat SD atau madrasah ibtidaiah sebesar Rp1,3 juta, SMP
atau madrasah sanawiah Rp2 juta, dan untuk tingkat sekolah menengah atas Rp2,4
juta. Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Kota Malang, Jawa Timur, bahkan
menemukan 40 jenis pungutan liar yang dilakukan penyelenggara pendidikan di
rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah bukan RSBI di
Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu.
Masalahnya mengapa `sekolah nakal', sekolah
serakah, sekolah tak kenal kasih sayang, sekolah berhaluan diskriminasi, atau
sekolah yang menakar segala penyelenggaraan pendidikan mereka berasas serbauang
itu tetap saja unjuk gigi di setiap tahun ajaran baru?
Mengapa sekolah-sekolah bergaya kapitaslistis itu
bisa terus berjaya, tanpa merasa bersalah, dan tanpa merasa melanggar hak
konstitusional warga?
`Sekolah nakal' atau `jagat pendidikan
kapitalistis' itu secara fundamental layak dikategorikan sebagai wujud nyata
pelanggaran terhadap hak kesetaraan pendidikan masyarakat. Sekolah bukan
ditempatkan sebagai `rumah' yang memanusiakan dan mengharmoniskan, melainkan
sebaliknya, didesain menjadi institusi dagang yang lebih berkiblat pada besaran
modal yang bisa mereka peroleh.
Sekolah yang semestinya menjadi media strategis
atau kawah candradimuka terhadap proses transformasi nilai-nilai ilmu
pengetahuan dan moralitas agung akhirnya digeser penyelenggaranya sebagai
`korporasi edukasi' yang mengutamakan harga jual alih-alih harga keadaban dan
demokratisasi edukasi.
“Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh
dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya,“
demikian pernyataan John Hagee dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan
diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006), yang sebenarnya mengingatkan
kita supaya dalam kehidupan atau menjalani aktivitas di dunia ini tidak
menahbiskan uang atau tidak memenangkan uang di atas kesakralan ilmu
pengetahuan (pendidikan).
Bukan
Jadi Garansi
Uang memang bisa digunakan untuk membeli rumah
atau sekolah, tetapi tidak otomatis bisa `membeli' kasih sayang yang bisa
dihadirkan di dalam rumah dan sekolah. Uang bisa digunakan membeli kenikmatan
dan kesenangan, tapi tidak bisa digunakan membeli kebahagiaan, ketenangan, dan
khususnya keadaban (pembumian prinsip pemanusiaan manusia).
Sudah banyak sekolah mewah dibangun dengan
menghabiskan uang hingga miliaran rupiah, tetapi pengeluaran yang sebanyak itu
tidak selalu menjadi garansi institusi pendi dikan tersebut bisa menjadi
mediasi lahirnya kedamaian, kebahagiaan, iklim progresivitas, dan pencerahan di
dalamnya. Para penghuninya sebatas bisa mengarsiteki dan membangun serta
membelikannya perabotan eksklusif bernilai ratusan hingga miliaran juta rupiah,
tetapi gagal membelikan (memberikan) perhiasan terbaik bernama `keadaban' bagi
anak didik mereka. Para peserta didik hanya dikenalkan pada besaran `korporasi
edukasi' yang mereka terima, dan bukan keadaban yang wajib memperkuat
kepribadian mereka.
Sosiolog kenamaan Juergen Habermas pernah bilang
knowledge is power atau ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Siapa yang punya ilmu
pengetahuan berarti punya sumber daya besar dan strategis yang menentukan
sejarah peradaban manusia. Sepanjang dalam diri manusia, masyarakat, dan bangsa
mengidap krisis ilmu pengetahuan atau menganaktirikan kesejatian kesakralan
pendidikan, kemajuan dan kebesaran sebagai manusia, masyarakat, dan bangsa
tidak akan pernah bisa diperolehnya.
Pendidikan
Seumur Hidup
Syarat utama dan fundamental untuk memajukan
bangsa ialah pemajuan ilmu pengetahuan atau menggalakkan gerakan cinta sekolah
yang berbasis pemanusiaan manusia atau penyederajatan status sosial. Miskin
atau kaya seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi, apalagi
menghentikan dan mematikan semangat, gairah, dan obsesi untuk mengejar dan
menguasai ilmu pengetahuan. Menggapai dan menguasai ilmu merupakan roh konsep
ideal `pendidikan seumur hidup' (life long education), suatu pendidikan yang
wajib diikuti setiap anak manusia di Bumi Pertiwi ini.
Kita pun disuruh berani `ibadah edukasi' melintas
batas global demi ilmu, di masyarakat, bangsa, atau negara mana pun di dunia
ini, sepanjang di situ memang menyediakan kesempatan secara egaliter untuk
belajar dan menguras kemajuan ilmu pengetahuan yang tersedia.
Kita tidak boleh melihat pada siapa dan negara
mana kita memperoleh `menu edukasi', tetapi kita disuruh menjadi pembelajar
yang baik, yang berusaha maksimal mencerdaskan diri, termasuk menggerakkan semua
mesin fundamental di negeri ini untuk membudayakan mental pembelajar atau
membelajarkan mental mengutamakan jagat pendidikan, dan bukan mengamankan,
apalagi mengamini akselerasi `korporasi edukasi', yang mendiskriminasikan
(mengeliminasi) hak kependidikan.
Kita tak akan pernah punya anak-anak bangsa yang
tangguh, militan, kreator, dan pejuang kalau diri mereka mengidap krisis ilmu
pengetahuan, yang menjadi embrio merajalelanya `korporasi edukasi' dari
`tuntutlah ilmu pengetahuan meskipun ke negeri China', yang merupakan sabda
Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan di mana pun dan dalam kondisi apa pun, kita
wajib membangun anak-anak menjadi komunitas pembelajar. Kasus tawanan perang
yang dijadikan guru oleh Nabi Muhammad SAW juga menandakan urgensi dan fundamentalnya
proses transformasi edukasi, dan bukan pada berapa besar kalkulasi ekonomi.
Kebijakan edukasi yang dikeluarkan Nabi itu
seharusnya dijadikan pelajaran berharga oleh setiap warga bangsa, bahwa
penyelengga raan pembelajaran merupakan kunci utama yang menentukan
keberlanjutan dan kejayaan hidup bangsa. Dunia pendidikan wajib menciptakan
atmosfer membebaskan dan bukan menghadirkan penindasan atau pendiskriminasian
karena dengan atmosfer itu, kepribadian peserta didik terbentuk menjadi
pembebas, dan bukan menjadi penindas.
Hanya dengan bermodalkan pengistimewaan pendidikan
itu, berbagai bentuk problem bangsa yang menjajah itu bisa dimerdekakan.
Mengamini pelanggaran HAM (hak pendidikan) ibarat mengamini berlangsungnya
penjajahan atau penindasan dan membenarkan terjadinya dan lestarinya disparitas
edukasi di balik selubung korporasi edukasi.
Jika penyelenggaraan pendidikannya masih sarat
baksil atau dikuasai semacam virus diskriminasi atau korporasi edukasi seperti
maraknya `sekolah nakal', bukan problem bangsa yang bisa dientas jagat
pendidikan, sebaliknya dari jagat pendidikanlah, akumulasi problem penyakit
bangsa diproduksi dan dilanggengkan.
Alangkah menyenangkan dan kondusifnya iklim
belajar-mengajar jika anak-peserta didik yang masih berusia dini atau terikat
regulasi `wajib belajar', bisa menikmati iklim pembelajaran tanpa perlu
`diganggu' guru, kepala sekolah, atau elemen koperasi sekolah, yang bermaksud
menagih uang buku pelajaran, iuran OSIS, asuransi sekolah, dana kesehatan, dan
`daftar' pembiayaan selangit yang mencekik?
Betapa bergairahnya anakanak kita dalam
mendengarkan, menyerap, dan mendiskusikan pelajaran yang diajarkan para guru
ketika kepala mereka tidak `dijejali' problem kebijakan `sekolah nakal' yang
mencoba mencari celah-celah yang bisa dijadikan alasan mengail uang
sebanyak-banyaknya.
Sudah saatnya kita, terutama dari kalangan `wong
elite', tidak mengamini multidimensi korporasi edukasi karena dalam ranah hukum
(PP Nomor 48 Tahun 2008), sebenarnya pemerintah telah berjanji hendak
mewujudkan pembebasan atau pemanusiaan manusia atas anak didik dari segi biaya
Bambang
Satriya ; Guru besar dan Dosen Luar Biasa Universitas Machung dan UIN Malang,
Penulis Buku Etika Birokrasi
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi