PENGELOLA perguruan tinggi (PT) akan memasuki era
baru dengan telah diundangkannya UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU
Dikti) pada 10 Agustus 2012. Alas hukum ini memberikan harapan baru, terutama
tentang jaminan aksesabilitas masyarakat kurang mampu dalam mengenyam
pendidikan di PT serta jaminan otonomi keilmuan PT dengan memberikan status
dalam bentuk PT negeri badan hukum (PTN BH).
UU Dikti ini bukan "reinkarnasi" dari UU
BHP (UU No 9 Tahun 2009) yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Tapi, UU
Dikti merupakan pengaturan yang mengarah pada pemberian kesempatan yang luas
bagi si kurang mampu yang berkualifikasi kemampuan akademik yang sesuai standar
sebagai mahasiswa PT. Selain itu, UU ini memberikan kepastian mengenai jaminan
kemandirian kampus dalam mengekspresikan kebebasan akademiknya, dan mengelola
kampus yang bebas dari intervensi dan kooptasi penguasa.
Dana
"BOS" PT
Isu
pendidikan tinggi yang paling seksi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah
mahalnya biaya kuliah, baik di PTN maupun PTS. Akibatnya, akses masuk bagi
calon mahasiswa miskin menjadi sempit.
Isu
mahalnya biaya ini ada benarnya, tapi ada pula salahnya. Benarnya, karena
memang secara faktual terdapat beberapa PTN dan PTS yang memasang tarif mahal
untuk fakultas tertentu (antara lain FK, FKG, dan FTI). Biaya operasional
minimal di fakultas tersebut memang cukup mahal. Sedangkan tidak benarnya,
masih terdapat PTN yang menetapkan biaya murah, bahkan ada PT BHMN di Jawa
Timur ini yang masih sangat terjangkau.
Bagi PTN
yang menyelenggarakan FK, FKG, atau FTI, mahalnya biaya operasional pendidikan
karena subsidi negara kecil, sehingga biaya yang ditarik dari masyarakat
menjadi mahal. Jadi, mahalnya biaya pendidikan FK di PTN bukan karena statusnya
yang BHMN. Secara faktual PTN yang non-BHMN justru jauh lebih mahal daripada
yang di PT BHMN. (Tentang ini, saya menulis Tentang Otonomi PT, Jawa Pos, 11
Juli 2012).
Isu
mahalnya biaya ini dicarikan solusi dalam UU Dikti. Menurut UU itu, salah satu
prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah keberpihakan pada kelompok
masyarakat kurang mampu secara ekonomi (pasal 6 huruf i). PTN diwajibkan mencari
dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi
kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20 persen dari
seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi
(pasal 74). Pemerintah, pemda, dan/atau PT berkewajiban memenuhi hak mahasiswa
yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studi dengan cara
memberikan: beasiswa, bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, dan/atau
pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh
pekerjaan (pasal 76).
Lebih tegas
lagi, terdapat payung hukum bagi pemerintah untuk memberikan biaya operasional,
khususnya bagi PTN. Biaya operasional ini dimaksudkan sebagai subsidi dari
negara kepada PTN, sebagaimana yang sudah dilakukan di pendidikan dasar dan
menengah dalam bentuk biaya operasional sekolah (BOS). Dengan adanya
"BOS-PT" ini PTN akan dibatasi dalam menarik biaya dari masyarakat,
karena sebagian besar akan ditanggung negara.
Jika UU
Dikti konsisten dilaksanakan, baik oleh pemerintah dalam bentuk pengucuran
"BOS-PT" maupun oleh PTN dalam bentuk penetapan biaya pendidikan yang
murah ditarik dari masyarakat, era pendidikan tinggi yang murah tapi
berkualitas bukan merupakan utopia lagi. Dengan demikian, UU Dikti patut
didukung dan dijaga/dikawal dari gangguan pihak-pihak yang mencoba melakukan
judicial review untuk kepentingan komersial pribadi dan kelompoknya, atau
kepentingan karena ada sponsor finansial dari pihak ketiga.
Otonomi
PTN-BH
Isu lain
yang tidak kalah seksi adalah otonomi PT. Kebebasan akademik dan kebebasan
mengelola PT ini lazimnya disebut otonomi PT. UU Dikti memberikan otonomi luas,
baik terhadap PTN maupun PTS dengan batas-batas tertentu.
Wujud
kebebasan akademik, khususnya bagi para guru besar (profesor), adalah
dinaikkannya usia pensiun menjadi 70 tahun dari 65 tahun. Diharapkan
produktivitas para guru besar dalam rangka mencerdaskan bangsa akan meningkat
dan lebih lama karena telah dijamin kesejahteraannya oleh negara sampai usia
tersebut.
Otonomi
yang lebih luas diberikan UU Dikti terhadap PTN yang berstatus badan hukum
(PTN-BH). PTN-BH ini dicikalbakali oleh PT BHMN yang sekarang ada. Nanti PTN
lain yang sudah siap menjadi PTN BH dapat mengajukan diri untuk ditetapkan
sebagai PTN BH setelah dievaluasi Mendikbud.
Cermin
otonomi PT yang diberikan terhadap PTN-BH, antara lain, tata kelola dan
pengambilan keputusan secara mandiri. Juga unit yang melaksanakan fungsi
akuntabilitas dan transparansi, hak mengelola dana secara mandiri-transparan
dan akuntabel, wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga
kependidikan. Tak kalah penting, wewenang membuka-menyelenggarakan dan menutup
program studi.
Namun,
meskipun telah berstatus PTN-BH, aksesabilitas masyarakat kurang mampu tetap
berlaku bagi PTN-BH tersebut. Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran tentang
mahalnya biaya pendidikan.
M Hadi
Shubhan
Sekretaris
Universitas Airlangga dan Doktor Ilmu Hukum
JAWA POS,
27 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi