RUU pengganti UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang tengah dibahas di DPR merupakan ikhtiar pemerintah untuk
memperbaiki pemerintahan daerah menjadi lebih lebih efektif dan stabil. Juga
untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam kerangka NKRI.
Namun, artikel Ramlan Surbakti berjudul ”Otonomi
Daerah dari Presiden?” (Kompas, 31 Juli 2012) mempertanyakan RUU dimaksud. Ia
mengkritisi beberapa ”cara pandang baru” yang dirumuskan pemerintah, utamanya
terkait kekuasaan Presiden dalam otonomi daerah.
Sejatinya, cara pandang baru merupakan terobosan
untuk mencari jalan keluar terhadap permasalahan pemerintahan daerah yang
semakin kronik dan sistemik pasca-reformasi pemerintahan daerah. UU No 32/2004
telah menghadirkan ribuan kasus. Pilkada yang makin pelik dan kompleks,
pemekaran daerah dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali, ratusan
pemimpin daerah kena kasus hukum, pembangkangan kepala daerah terhadap
pemerintah atasan, lahirnya aneka peraturan daerah (perda) bermasalah, dan lain
sebagainya.
Negara apa pun di dunia pasti menginginkan
keteraturan dan keserasian dalam kehidupan pemerintahan daerahnya, apalagi di
negara kesatuan yang sangat majemuk seperti Indonesia. Padahal, ciri utama
otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan adalah adanya hubungan hierarki
antara pusat dan daerah.
Dalam praktik negara kesatuan, daerah otonom
dibentuk oleh pemerintah pusat dan bahkan juga dapat dihapus bila dia tak mampu
melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan untuk menjalankan pemerintahan
daerah berasal dari pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintahan pun
dipegang oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sesuai Pasal 4
(1) UUD 1945.
Menafsirkan
Otda
Untuk menafsirkan konsep desentralisasi dan
otonomi daerah yang bersumber dari UUD 1945 secara tepat, sangat penting bila
kita memahami asbabun nuzul serta berbagai pemikiran para pendiri bangsa yang
merumuskan konsep tersebut. Menurut Mohammad Hatta, ”...adalah hak rakyat untuk
menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri, melainkan
juga pada setiap tempat di kota, di desa, dan di daerah” (Kompilasi UU Otonomi
Daerah, 2004). Artinya, otonomi daerah sangat penting dalam menentukan kemajuan
rakyat, bukan semata dari petinggi pemerintah pusat.
Demikian pula pemikiran Soepomo dalam penjelasan
Pasal 18 UUD 1945: ”...di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan
badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi
atas dasar permusyawaratan”. Ini artinya, kehadiran DPRD dalam sistem
pemerintahan daerah kita merupakan wujud dari politik desentralisasi, bukan
hanya semata-mata administratif desentralisasi yang lebih menekankan pada
pendelegasian kewenangan. Dengan demikian, pemikiran untuk menghapus DPRD
dengan pertimbangan efisiensi semata tak saja inkonstitusional karena
bertentangan dengan Pasal 18 (3) UUD 1945, juga perampasan terhadap hak rakyat
dalam berdemokrasi yang bersendikan permusyawaratan.
Untuk mengakomodasi hak rakyat, seraya menjalankan
kewajiban mempertahankan NKRI melalui pemerintahan daerah yang teratur dan
efektif, maka RUU pengganti UU No 32/2004 berpijak pada dasar-dasar
konstitusional yang kontekstual seiring perkembangan masyarakat.
Pertama, pada dasarnya terdapat kaitan erat antara
Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945. Pasal 18 Ayat (5) menyatakan,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah. Sementara Pasal
4 Ayat (1) menyatakan, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan
UUD.
Kedua, dalam konteks negara kesatuan, pelaksanaan
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif hanya ada di tingkat pusat.
Karena itu, dalam memaknai Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 berarti tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari konsep negara kesatuan.
Ini berarti kekuasaan yang diotonomikan pada
hakikatnya kekuasaan eksekutif yang ada di tangan Presiden sebagaimana dimaksud
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. Tanggung jawab akhir dari seluruh penyelenggaraan
urusan pemerintahan, termasuk yang diotonomikan, tentunya berada di tangan
Presiden.
Konsekuensi logis dari pengaturan itu, maka
Presiden punya kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan, monitoring dan
evaluasi, bahkan sanksi terhadap penyelenggara pemerintahan daerah yang tidak
amanah, tidak menaati perundang- undangan dan kebijakan pemerintah pusat. Dalam
hubungan itu, maka perda sebelum diberlakukan dievaluasi, daerah-daerah tiap
tahun dinilai kinerjanya, dan kepala daerah yang melanggar sumpah jabatan dapat
diberhentikan.
Meluruskan
Pijakan
Konstitusi negara adalah pijakan utama dalam
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, terutama Pasal 4 (1)
dan Pasal 18 UUD 1945. Dengan demikian, pemerintahan daerah disusun dengan
mengedepankan demokrasi, serta harus mengakomodasi hak-hak masyarakat di
daerah. Demikian juga dengan tata cara pembuatan kebijakan, maka kehadiran DPRD
dalam tatanan pemerintahan daerah tak sepenuhnya mengadopsi teori trias
politika. Buktinya, tidak ada korelasi dan hubungan hierarkis antara DPRD
dengan DPR dalam sistem politik Indonesia.
Penilaian Ramlan terhadap pengaturan penataan
daerah yang dianggap berpikir terbalik dan ”mendikte” DPR dalam menjalankan
fungsi legislasinya perlu dikoreksi. Sebenarnya, RUU pengganti UU No 32/2004 memasukkan
pengaturan desain besar penataan daerah (Desartada) ke dalam RUU itu. Namun,
penjabarannya ditetapkan dengan peraturan pemerintah karena Desartada merupakan
pedoman teknis dalam penataan daerah.
Keberadaan Desartada bukan untuk ”mendikte” DPR,
melainkan justru membantu DPR dalam membentuk UU pemekaran daerah yang baik
melalui tahapan daerah persiapan lebih dahulu. Secara legal formal DPR tetap
memiliki wewenang menolak atau menerima daerah persiapan yang diusulkan
pemerintah untuk ditingkatkan jadi daerah otonom.
Pengalaman menunjukkan, DPR pernah membuat 205 UU
tentang pembentukan daerah otonom baru selama 1999-2009. Sebagian besar daerah
otonom baru yang dilahirkan melalui UU yang kerap disebut pengamat sebagai UU
copy paste itu sarat dengan masalah, terutama berkaitan dengan sengketa batas
wilayah, ibu kota dan aset dengan daerah induk yang mengganggu jalannya
pemerintahan. UU yang dibentuk itu lebih cenderung mengakomodasi kepentingan
politik semata, tetapi mengabaikan aspek dan indikator teknis pemerintahan
sehingga persyaratan minimum suatu daerah otonom baru tidak terpenuhi.
Karena itu, guna mengatasi karut-marut berbagai
dampak negatif kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah kita dewasa ini,
pemerintah harus mengambil langkah nyata dengan cara pandang baru. Penataan
otonomi daerah melalui RUU pengganti UU No 32/2004 diharapkan dapat jadi solusi
Djohermansyah
Djohan
Dirjen
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
KOMPAS,
28 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi