Otonomi
Perguruan Tinggi, Disparitas Menjadi Pokok Persoalan
Kualitas ilmuwan Indonesia tidak kalah
dibandingkan kualitas ilmuwan negara-negara lain di kawasan Asia. Bahkan,
kualitas ilmuwan Indonesia cukup disegani di tataran dunia. Namun, dari sisi
peringkat indikator pendidikan tinggi, harus diakui, posisi Indonesia tergolong
rendah.
Posisi Indonesia dengan skor 46 jauh di bawah
Singapura (2), bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia (21), Brunei
(28), dan Thailand (39). Indonesia hanya sedikit di atas Vietnam, Filipina, dan
Kamboja. Dalam peringkat indikator inovasi, posisi Indonesia pun demikian.
”Kunci pengembangan perguruan tinggi sebenarnya
ada di otonomi. Jika diberi otonomi, perguruan tinggi akan terpacu untuk maju
dan berkembang,” kata Guru Besar (Emeritus) Universitas Indonesia Emil Salim.
Namun, di sinilah letak persoalannya. Disparitas
perguruan tinggi di Indonesia sangat beragam. Dari sekitar 92 perguruan tinggi negeri
(PTN), hanya tujuh PTN yang bisa mandiri secara keuangan dan sebagian besar
berada di Pulau Jawa. Sementara PTN lain masih harus banyak dibantu, bahkan
tertatih-tatih untuk pengembangan kampusnya.
Perguruan tinggi di Jawa, karena kualitas dosennya
sangat memadai, sangat mudah menjalin kerja sama penelitian dengan industri.
Kerja sama penelitian soal kualitas batubara saja, misalnya, Institut Teknologi
Bandung bisa mendapatkan sekitar Rp 30 miliar. ”Karena itu, otonomi perguruan
tinggi semestinya diperluas,” kata Harijono A Tjokronegoro, Guru Besar Institut
Teknologi Bandung.
Universitas Indonesia, dengan anggaran di atas Rp
1,4 triliun per tahun, bisa mendapatkan banyak pemasukan dari hasil kerja sama
penelitian. Kondisi serupa dialami perguruan tinggi lain yang sudah relatif
mandiri.
Luar Jawa Tertinggal
Di sisi lain, sebagian perguruan tinggi di luar
Jawa, sangat kesulitan untuk melakukan kerja sama penelitian dengan institusi
lain karena keterbatasan jumlah dan kemampuan dosen.
Di Universitas Tanjungpura, Pontianak, misalnya,
dari sekitar Rp 300 miliar anggaran universitas, hanya sekitar 33 persen yang
bisa dipenuhi dari sumbangan mahasiswa dan hasil kerja sama penelitian. ”Dari
sisi keuangan, kami sangat tergantung dari pemerintah,” kata Rektor Universitas
Tanjungpura Thamrin Usman.
Menaikkan biaya pendidikan dari mahasiswa juga
tidak mungkin karena kemampuan ekonomi orangtua sebagian besar mahasiswa
pas-pasan. Selain itu, menggenjot pendapatan dari hasil penelitian juga sangat
berat karena keterbatasan kemampuan dosen.
”Dari sekitar 1.000 dosen, jumlah guru besarnya
tak sampai lima persen,” kata Thamrin Usman.
Universitas Riau, meskipun berada di daerah kaya,
tidak mudah pula menjalin kerja sama penelitian dengan industri untuk menambah
pendapatan perguruan tinggi. ”Kualitas dosen pengajar masih harus ditingkatkan.
Dan itu menjadi prioritas kami,” kata Rektor Universitas Riau Ashaludin Jalil.
Saat ini dari sekitar 1.200 dosen Universitas
Riau, sekitar 75 persen sudah berpendidikan S-2, sekitar 100 dosen
berpendidikan S-3, sedangkan jumlah guru besar tak sampai 50 orang. ”Idealnya
jumlah guru besar 20 persen atau 240 orang,” kata Ashaludin Jalil.
Begitu juga di Universitas Pattimura, Ambon. Dari
sekitar Rp 208 miliar anggaran per tahun, tak sampai Rp 45 miliar yang
merupakan sumbangan mahasiswa. ”Sisanya dipenuhi dari pemerintah. Kami belum
sanggup jika harus mandiri secara keuangan,” kata Rektor Universitas Pattimura
Thomas Pentury.
Kemampuan Terbatas
Menaikkan uang SPP dari sekitar 20.700 mahasiswa
juga tidak mungkin karena kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa sangat terbatas.
Universitas Pattimura hanya mengenakan uang masuk Rp 600.000 dan biaya kuliah
sekitar Rp 500.000 per semester bagi mahasiswa.
”Jika uang kuliah dinaikkan, kami khawatir banyak
mahasiswa yang tak sanggup membayar sehingga drop out,” kata Thomas Pentury.
Biaya kuliah ini tergolong sangat murah karena
berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, biaya unit (unit cost) untuk mahasiswa ilmu sosial sekitar Rp
10 juta-Rp 17 juta per tahun. Biaya unit mahasiswa teknik sekitar Rp 14 juta-Rp
20 juta dan biaya unit mahasiswa kedokteran sekitar Rp 32 juta-Rp 62 juta per
tahun.
Anggaran Minim
Menurut Imam Prasodjo, sosiolog dari Universitas
Indonesia, sudah seharusnya negara memberikan bantuan untuk mahasiswa. ”Negara
harus memenuhi kebutuhan biaya perguruan tinggi, tetapi di sisi lain harus
memberikan otonomi. Kunci perguruan tinggi adalah otonomi dan independensi,”
kata Prasodjo.
Anggota Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, sepakat
dengan keinginan Prasodjo. Namun, kenyataannya, anggaran untuk pendidikan
tinggi sangat minim. ”Anggaran pendidikan saat ini diprioritaskan untuk
pendidikan dasar,” kata Rully.
Ia memberikan gambaran, dari anggaran pendidikan
2012 yang besarnya Rp 289,9 triliun atau 20,2 persen dari APBN, sebagian besar
ditransfer ke daerah. Anggaran pendidikan di pemerintah pusat hanya sekitar Rp
102,5 triliun yang dibagi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 64,3
triliun, Kementerian Agama Rp 32 triliun, dan 18 kementerian serta lembaga lain
sekitar Rp 6,1 triliun.
”Sebagian besar atau sekitar Rp 186,4 triliun
anggaran pendidikan diberikan ke daerah dalam bentuk dana alokasi khusus, dana
alokasi umum, tunjangan profesi guru, hingga dana operasional sekolah,” kata
Rully.
Dari sekitar Rp 64 triliun dana yang diperoleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dana yang dialokasikan untuk PTN hanya
sekitar Rp 14,1 triliun. Itu pun harus dibagi untuk sekitar 92 PTN.
”Anggarannya memang sangat terbatas,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso.
Jadi, memang dengan anggaran yang sangat minim,
tidak mudah untuk meningkatkan mutu dosen dan menaikkan indikator pendidikan
tinggi Indonesia.
Laporan
Khusus Tim Kompas
KOMPAS,
22 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi