RUU
Pendidikan Tinggi, Polemik Itu Belum Berakhir
Bagaimana perguruan tinggi negeri kenamaan bisa
bertarung di tingkat dunia jika keleluasaan geraknya terbatas. Pembelian kertas
sampai pembiayaan penelitian harus seizin pemerintah pusat. Perguruan tinggi
menjadi tak dinamis. Tak heran jika wacana soal otonomi perguruan tinggi pun
bergema sejak era Orde Baru.
Akhirnya, impian perguruan tinggi negeri kenamaan
Indonesia pun terwujud pada era reformasi. Mereka mendapat status badan hukum
milik negara (BHMN) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999.
Perguruan tinggi pertama yang mendapat status ini
adalah Universitas Indonesia. Disusul kemudian enam perguruan tinggi lain,
yakni Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut
Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dengan status BHMN, ketujuh perguruan tinggi
”papan atas” tersebut lebih leluasa bergerak. Mereka memiliki ”otonomi” untuk
mengatur rumah tangga sendiri, termasuk soal kerja sama penelitian, penerimaan
mahasiswa baru, hingga masalah keuangan.
Status BHMN kemudian digantikan badan hukum
pendidikan (BHP) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan
Hukum Pendidikan. Meskipun BHP harus bersifat nirlaba, dalam praktiknya badan
hukum pendidikan banyak dikeluhkan masyarakat. Karena otonomi tidak disertai
dengan kucuran dana yang memadai dari pemerintah, perguruan tinggi tersebut
dipaksa mencari sumber keuangan sendiri untuk kegiatan kampus.
Tidak terlatih berbisnis, langkah yang paling
praktis bagi pengelola perguruan tinggi tentu saja dengan menarik dana dari
calon mahasiswa baru. Berbagai jalur masuk perguruan tinggi pun dibuka. Selain
seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), ada perguruan tinggi
yang membuka lima, enam, bahkan 11 jalur masuk bagi calon mahasiswa baru.
Biaya masuk calon mahasiswa baru untuk setiap
jalur berbeda-beda. Ada yang hanya Rp 2 juta, sementara di ujung yang lain ada
yang sampai menarik bayaran di atas Rp 400 juta untuk program studi tertentu.
Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pihak
mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, MK membatalkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan pada 31 Maret
2010. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010
yang mengembalikan status perguruan tinggi tersebut menjadi perguruan tinggi
yang diselenggarakan pemerintah.
Pro-Kontra
Setelah dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan,
penyelenggaraan pendidikan tinggi seolah mengalami kekosongan payung hukum.
Karena itulah, DPR dengan hak inisiatifnya mengajukan Rancangan Undang-Undang
Perguruan Tinggi yang drafnya diajukan Januari 2011. Dalam perkembangannya, RUU
Perguruan Tinggi ini berubah menjadi RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT) dengan
cakupan yang lebih luas.
Meski DPR dan pemerintah berdalih konsultasi
publik dan rapat dengar pendapat umum sudah dilakukan dengan sejumlah pihak,
tetap saja banyak pihak merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut.
”Kalaupun diajak konsultasi, beberapa masukan yang
disampaikan tidak diakomodasi sama sekali. Pemerintah dan DPR tetap jalan
sendiri dengan konsepnya. Pertemuan hanya sekadar formalitas,” kata Thomas
Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia, dalam diskusi panel bertema ”Mengkaji RUU Pendidikan Tinggi dalam
Menuju Pendidikan Tinggi Indonesia yang Berdaya Saing” yang digelar Kompas pada
Kamis (12/7) pekan lalu.
Dalam diskusi tersebut, kalangan perguruan tinggi
pun merasa heran karena sangat sulit mendapatkan draf RUU PT. ”Jika punya niat
baik, mestinya dibuka kepada publik. Kami khawatir ada yang disembunyikan dari RUU
tersebut,” kata sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo.
Kekhawatiran itu terbukti. Ketika RUU PT disetujui
dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 Juli lalu, ada beberapa
pasal yang dianggap kontroversial dan banyak pula pasal yang dinilai tidak
perlu ada. Soal otonomi perguruan tinggi, misalnya, campur tangan pemerintah
dinilai terlalu besar.
”Pemerintah seolah-olah menjamin otonomi perguruan
tinggi, tetapi campur tangan pemerintah sangat kuat,” ujar Guru Besar
(Emeritus) Universitas Indonesia Emil Salim pada diskusi tersebut.
Adapun pasal yang tidak perlu ada, misalnya Pasal
66 dalam RUU PT yang menyatakan, statuta PTN Badan Hukum ditetapkan oleh
pemerintah. ”Pemerintah tak perlu ikut campur dalam penentuan statuta perguruan
tinggi,” kata Johanes Gunawan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan,
Bandung, pada diskusi yang sama.
Disparitas
Tinggi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh
berkeyakinan, otonomi perguruan tinggi perlu diatur karena disparitas
antar-perguruan tinggi sangat beragam. Dari sekitar 92 perguruan tinggi negeri
(PTN), misalnya, hanya tujuh perguruan tinggi yang mampu mandiri secara
keuangan. Sebanyak 20 PTN lain siap mandiri, tetapi 65 PTN lain belum mampu
untuk mandiri.
”Kondisi 3.200 perguruan tinggi swasta (PTS)
bahkan lebih beragam. Jika tidak diatur, semua akan menafsirkan otonomi
sendiri-sendiri,” kata Nuh.
Guru besar lain mempertanya- kan kuatnya
kewenangan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tecermin
dari banyaknya peraturan pemerintah dan peraturan menteri untuk pelaksanaan RUU
PT. Pemerintah, misalnya, punya kewenangan luas melakukan mutasi dosen
antar-perguruan tinggi, pengaturan keuangan perguruan tinggi, pengaturan rumpun
ilmu dan program studi, serta kewenangan lain yang dianggap terlalu luas.
Kalangan PTS justru mempertanyakan tidak adanya
kewajiban pemerintah memberikan kucuran dana kepada PTS. Padahal, PTS merasa
sudah berbuat banyak untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. ”Kami masih
mempelajari RUU tersebut. Jika banyak yang merugikan, pasti akan kami uji
materi ke MK,” kata Thomas Suyatno.
Jadi, disetujuinya RUU Pendidikan Tinggi oleh DPR
tidak serta-merta disambut gembira banyak pihak. Polemik masih akan terjadi.
Entah sampai kapan...
Laporan
Khusus Tim Kompas (Try Harijono dan Ester Lince Napitupulu)
KOMPAS,
22 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi