Minta,
tapi Takut Otonomi PT
ADA satu kata dalam Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang diminta tapi ditakuti. Kata itu adalah otonomi!
Otonomi,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Apakah
selama ini pendidikan tinggi tidak memiliki otonomi di dalam pengelolaannya?
Dalam hal otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan
kebebasan ilmiah sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Ada
kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi, mengikis daya kritis, serta
menggadaikan pendidikan tinggi. Kecemasan itu adalah sesuatu yang tidak akan
terjadi. Sejatinya, nilai kebebasan akademik telah melekat dalam perguruan
tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di dalamnya, sebagai seorang
ilmuwan dan cendekiawan.
Itulah yang
mendorong inovasi bangsa. National Science Foundation (2007), NSF Report
07-317; Litan, R.E. et al (2007), ''Commercializing University Innovations: A
Better Way'' in Innovation Policy and the Economy, vol 8 MIT Press, menyatakan
bahwa perguruan tinggi adalah sumber penting penelitian dan pengembangan. Lebih
dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan-terobosan pemikiran
yang memungkinkan munculnya industri-industri baru dilaksanakan di perguruan
tinggi.
Perguruan
tinggi juga memiliki misi yang lebih luas dalam menerjemahkan hasil litbang
menjadi produk dan perusahaan baru. Sebanyak 15 persen penelitian terapan
dilaksanakan melalui inovasi yang dimulai di kampus yang kemudian diserap
menjadi bisnis melalui paten, start-up, serta pengaturan konsultansi antara
dosen dan industri.
Sementara
itu, Bernanke, B. 2007, ''Speech At the U.S. Chamber Education and Workforce
Summit'' menyatakan bahwa pembelajaran setingkat sarjana adalah kegiatan utama
perguruan tinggi yang memungkinkan perguruan tinggi berhasil melaksanakan
penelitian maju (advanced research) dan pendidikan pascasarjana.
Dengan
peran strategis itu, otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik
masih tetap luas. Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa
penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik
praktis.
Pertanyaannya, kenapa dalam RUU PT ada pasal
yang menyatakan kurikulum, program studi, dan penelitian akan diatur melalui
peraturan menteri? Sesungguhnya, itu merupakan bagian dari upaya pemerintah
untuk melindungi masyarakat, bukan kooptasi. Bukankah saat ini banyak perguruan
tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi?
Bila itu dibiarkan, masyarakat akan dirugikan.
Dilema
Otonomi
Kembali
pada kata otonomi yang diminta tapi ditakuti. Pertama, otonomi diminta karena
para pengelola berharap bisa leluasa menentukan ''hitam-putihnya'' perguruan
tinggi dengan otonomi itu. Saatnya perguruan tinggi tidak boleh terkooptasi
oleh pemerintah, sehingga rumpun ilmu pengetahuan, kurikulum, program studi,
penelitian, dan pengabdian masyarakat ditentukan perguruan tinggi. Asumsinya,
perguruan tinggi-lah yang lebih tahu soal itu.
Kalimat-kalimat tersebut tertuang dalam pasal
34 dan pasal 48 RUU PT yang sekarang sudah makin sederhana, dari sebelumnya 102
pasal kini hanya menjadi 59 pasal.
Dalam soal
pengelolaan keuangan, otonomi diminta. Sebab, dengan pemberian otonomi itu,
pengelola akan ''bebas'' menentukan dan menggunakan keuangan yang telah
dihimpun dari masyarakat.
Tapi, itu
berimplikasi pada hal kedua, otonomi ditakuti. Muncul kekhawatiran, jika
otonomi diberikan sepenuhnya, terutama untuk perguruan tinggi negeri (PTN),
para pengelola akan seenaknya menentukan besarnya biaya pendidikan. Padahal,
sebagian besar PTN dibiayai pemerintah dari pajak yang dipungut dari rakyat.
Kekhawatiran
tersebut amat beralasan. Sebab, ketika UU PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara)
diberlakukan, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan
seenaknya dalam menentukan besarnya biaya pendidikan. Jadi, wajarlah apa yang
dikhawatirkan itu karena pengalaman telah membuktikan. Belakangan, UU tersebut
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Upaya
Akomodasi
Pertanyaannya, bagaimana mengakomodasi dua
kepentingan itu? Di satu sisi, otonomi diminta. Di sisi lain, otonomi ditakuti.
Adalah
''cerita lama'' jika asumsi pemberian otonomi tersebut akan mengakibatkan
komersialisasi dan seenaknya menentukan biaya. Mengapa? Sebab, setelah
dibatalkannya UU BHMN oleh MK yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah
(PP) No 66/2010, jelas diatur bahwa PTN harus memberikan porsi minimal 20
persen dari jumlah mahasiswa baru untuk keluarga tidak mampu.
Jauh
sebelum PP itu, Kemendikbud juga meluncurkan program Bidik Misi, program
bantuan biaya pendidikan masuk perguruan tinggi negeri bagi lulusan SMA/SMK/MA
dari keluarga tidak mampu dengan nilai akademik baik. Sejak 2010, program
tersebut telah menempatkan sekitar 40 ribu mahasiswa dari keluarga tidak mampu
untuk kuliah gratis di PTN hingga lulus. Bahkan, tiap bulan mereka mendapat
uang saku atau biaya hidup.
Dengan
memahami konsep awal RUU PT bahwa perguruan tinggi itu dikelola dengan prinsip
nirlaba, sesungguhnya pengelola perguruan tinggi tidak boleh dan dilarang keras
mengambil keuntungan. Karena itu, RUU PT tersebut mengamanatkan pula bahwa
penentuan besaran biaya pendidikan, dalam hal ini PTN, akan diatur tersendiri
dalam sebuah peraturan menteri.
Itu tidak
lain merupakan bagian dari upaya melindungi masyarakat agar bisa mengakses
pendidikan tinggi dengan biaya terjangkau.
Yang jelas,
substansi otonomi dalam RUU PT sebagai PTN BH (perguruan tinggi negeri berbadan
hukum) sangat berbeda dari konsep otonomi yang pernah ada dalam UU BHMN.
Klausul dan pertimbangan yang melatarbelakangi pemberian otonomi itu pun
berbeda.
Dalam soal
pendanaan untuk meringankan beban masyarakat, dalam RUU itu akan disiapkan
bentuk bantuan operasional (BO) PTN bagi PTN. Bagi PTN yang sudah berbadan
hukum (PTN BH), bantuan diberikan melalui mekanisme subsidi, sedangkan bagi PTS
lewat mekanisme hibah.
Sekali
lagi, terhadap mekanisme bantuan pembiayaan itu, amat berlebihan jika otonomi
yang diberikan nanti dikhawatirkan mengakibatkan biaya mahal. Jangan cemas.
Sukemi
Staf
Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
JAWA POS,
10 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi