SEJAK disahkannya UU No 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), banyak kekhawatiran muncul di
kalangan perguruan tinggi swasta dan lembaga kursus terhadap akademi komunitas
(AK), jenis penyelenggaraan ''perguruan tinggi baru'' yang sebelumnya hanya
dikenal dengan sebutan universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan
akademi.
Pertanyaan dasar yang muncul,
akankah AK menjadi ancaman bagi PTS dan lembaga kursus? Mengingat, selama ini
peserta didik yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri (PTN) memilih
PTS dan lembaga kursus keterampilan sebagai cara mereka melanjutkan pendidikan.
Kekhawatiran itu cukup beralasan,
jika dilihat hanya dari sudut pandang tempat untuk melanjutkan pendidikan.
Tapi, jika ditinjau dari bentuk layanan yang diberikan AK, kekhawatiran
tersebut sangat berlebihan.
Sebagaimana pengertian AK dalam
pasal 59 ayat 7, AK -di beberapa negara dikenal sebagai community college (CC)-
didefinisikan sebagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi
setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang
ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal
atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
AK adalah salah satu semangat
yang menjiwai UU Dikti berkaitan dengan kesetaraan, penguatan pendidikan
vokasi, dan keutuhan jenjang pendidikan.
Tulisan berikut ingin menjelaskan
perihal AK dengan lebih komprehensif agar tidak dipahami keliru, sehingga
dianggap sebagai sebuah ancaman.
Perluas
Akses Rakyat
Semua memahami, pendidikan
merupakan hal yang amat penting bagi sebuah perjalanan bangsa dan negara. Jika
tingkat pendidikan sebuah negara baik, baik pula pendapatan, indeks kompetitif,
dan indeks pembangunan manusia di negara itu (Statistik World Bank 2011 dan The
Global Competitiveness Report 2010-2011).
Indonesia yang pada periode
2010-2035 sedang dikaruniai populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa
(demographic bonus) akan memiliki kekuatan dan modal besar bagi kemajuan
bangsa. Dengan syarat, populasi usia produktif tersebut berkualitas atau
berpendidikan. Sebaliknya, populasi usia produktif itu akan menjadi bencana
demografi (demographic disaster) bila tidak kita siapkan dengan pendidikan.
Di sinilah pentingnya pendidikan
sebagai upaya peningkatan kualitas anak bangsa sebagaimana amanat konstitusi
UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehadiran AK merupakan bagian
yang tidak terpisah dari upaya untuk meningkatkan kualitas tersebut.
AK tentu tidak hanya berupaya
meningkatkan kualitas penduduk, tapi juga berkaitan erat dengan upaya perluasan
akses dan kesempatan masyarakat dalam memperoleh pendidikan tinggi. Selain itu,
AK diharapkan bisa mengubah petak struktur ketenagakerjaan saat ini yang masih
didominasi kelompok pendidikan dasar dan tidak tamat SD yang mencapai 49,5
persen (BPS 2010).
AK lebih bertujuan pada upaya
menghasilkan model pendidikan tinggi berkelanjutan yang selaras dengan
kemampuan masyarakat dan kebutuhan dunia kerja. Metodenya dilaksanakan melalui
integrasi program pendidikan, pelatihan kerja, penyaluran tenaga kerja, serta
pembinaan kewirausahaan.
Sementara itu, fungsi AK adalah,
pertama, menghasilkan tenaga kerja terampil sesuai kebutuhan
lokal/nasional/global untuk mengisi lapangan kerja. Kedua, menghasilkan lulusan
berkemampuan kewirausahaan yang memadai untuk memperluas lapangan kerja.
Ketiga, menjadi hub pendidikan menengah ke pendidikan tinggi, menyediakan
layanan pendidikan tinggi yang mudah dan murah bagi segenap lulusan pendidikan
menengah. Keempat, mendukung ketercapaian target MP3EI melalui penyediaan SDM
iptek yang memenuhi kualifikasi dalam kuantitas dan lokasi yang sesuai dengan
kebutuhan.
Adapun sasaran AK adalah
membangun satuan pendidikan tinggi berbasis kebutuhan pasar tenaga kerja lokal,
nasional, dan global. Juga, ketersediaan sumber daya lokal sebagai modal
peluang usaha yang dilengkapi sarana laboratorium latihan kerja, manajemen
penyaluran tenaga kerja, dan ekosistem kewirausahaan. Caranya, melalui
pelibatan peran serta politeknik pembina, dunia usaha dan dunia industri, yang
menekankan pada rancangan kurikulum yang sesuai untuk tenaga kerja terampil
maupun wirausaha atau melanjutkan ke jenjang pendidikan vokasi yang lebih
tinggi.
Vokasional,
Bukan Akademis
Mengingat dampak ikutan yang
sangat beragam, diperkuat dengan definisi AK sebagaimana yang tertuang dalam
pasal 59 ayat 7, AK bukanlah ancaman, baik bagi PTS maupun lembaga kursus.
PTS menyelenggarakan program
akademis, sedangkan AK menyelenggarakan program vokasional. Kalaupun ada PTS
yang menyelenggarakan program vokasional, minimal mereka adalah diploma tiga,
sedangkan AK sebatas diploma satu dan dua.
Pada titik inilah mestinya PTS
yang menyelenggarakan program vokasional menjadikan AK sebagai peluang.
Tujuannya, menjembatani kebutuhan lulusan AK untuk bisa memperoleh jenjang
diploma yang lebih tinggi.
Itu sangat dimungkinkan karena
kelenturan dan keluwesan dalam pendidikan AK memungkinkan peserta didik
mengambil sistem modul pelatihan secara spesifik. Modul pelatihan/pendidikan
yang sesuai dengan kurikulum pada program studi AK bisa diakui sebagai modul
yang dapat disetarakan dengan SKS (satuan kredit semester). Dengan demikian,
bila lulusan AK ingin melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
modul tersebut dapat diakui sebagai perolehan SKS.
Bagaimana dengan lembaga kursus?
Hampir sama dengan peluang PTS. Jika selama ini penyelenggara kursus telah
menyelenggarakan kursus satu tahunan atau dua tahunan, yang sering dilabeli
''setara'' diploma satu dan dua, bukan tidak mungkin lembaga kursus tersebut
melakukan transformasi dari sekadar penyelenggara kursus menjadi penyelenggara
AK. Tentu dengan badan hukum yang baru. Sementara itu, lembaga kursusnya tetap
dipertahankan untuk menyelenggarakan program yang bersifat jangka pendek.
Tentu, kemungkinan terhadap
peluang itu tetap berpegangan pada penyelenggaraan AK yang berdasar
prinsip-prinsip pengembangan kompetensi dantechnopreneur, pembelajaran
sepanjang hayat (life long learning), modular dan transferable, serta tetap
berpegang pada prinsip peningkatan kemampuan komunitas lokal sesuai dengan
potensi wilayah.
Jika kita memahami seperti itu,
tentu anggapan ancaman yang selama ini berkembang berubah menjadi sebuah
peluang. Mari beradaptasi dengan kemajuan aturan pendidikan.
Sukemi
;
Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
KOMPAS,
25 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi