Biaya
Operasional Mahasiswa
Ada kabar gembira bagi mahasiswa perguruan tinggi
negeri karena, mulai 2013, pemerintah cq. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mematok biaya kuliah maksimal Rp 2 juta per tahun. Untuk itu, seperti
ditegaskan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Djoko Santoso kepada wartawan (17 Juli
2012), pemerintah akan menanggung seluruh biaya operasional perguruan tinggi
negeri (PTN) dengan alokasi Rp 5-6 triliun per tahun yang akan diberikan dalam
bentuk Bantuan Operasional Mahasiswa (BOM).
Sepintas, ini adalah kabar gembira karena memberi
harapan kepada masyarakat mengenai kemungkinan biaya kuliah yang semakin murah.
Kebijakan ini untuk menjawab kritik masyarakat mengenai makin mahalnya biaya
pendidikan di PTN terkemuka selama satu dekade terakhir, terutama setelah perguruan
tinggi tersebut berubah status menjadi perguruan tinggi badan hukum milik
negara (PT BHMN). Perubahan status itu identik dengan perubahan jumlah
pembayaran, menjadi sangat mahal.
Penegasan Dirjen Pendidikan Tinggi Djoko Santoso
itu dimaksudkan untuk meredam gejolak mahasiswa yang menolak pengesahan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjadi undang-undang baru (13 Juli
2012 lalu). Penolakan mahasiswa tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan
makin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri, terutama yang berstatus
PT BHMN. Hal itu amat wajar karena keberadaan Undang-Undang Perguruan Tinggi
memang untuk memberi payung hukum yang kuat bagi keberadaan PT BHMN setelah
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada
31 Maret 2010.
Masih
Diskriminatif
Kita patut mengapresiasi niat baik pemerintah
tersebut. Sebab, bila hal itu dapat terwujud, termasuk untuk biaya kuliah di
Fakultas Kedokteran, sungguh merupakan terobosan perbaikan akses terhadap
pendidikan tinggi secara signifikan. Tahun ajaran baru 2013/2014 sebagai awal
permulaan pemberian BOM karena jelas bahwa itu terkait dengan masa pemberlakuan
Undang-Undang Perguruan Tinggi, yang tidak bisa seketika. Dengan dimulai pada
tahun 2013, berarti masih ada waktu bagi pemerintah untuk memasukkan anggaran
tersebut ke dalam APBN 2013.
Dasar hukum pemberian BOM untuk mahasiswa PTN itu
adalah Pasal 89: ayat (1) Dana pendidikan tinggi yang bersumber dari APBN
dan/atau APBD dialokasikan untuk: a. PTN sebagai biaya operasional, dosen, dan
tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan; dan butir c. Mahasiswa
sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan; serta ayat (5)
"Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran
fungsi pendidikan".
Jadi, landasan hukumnya sudah jelas, tidak perlu
diperdebatkan. Yang perlu diperdebatkan adalah mengapa hanya untuk PTN?
Bukankah mahasiswa di perguruan tinggi swasta kecil lebih memerlukan? Ini
mengingat yang kuliah di perguruan-perguruan tinggi swasta kecil itu anak-anak
orang miskin. Sedangkan 96 persen yang kuliah di perguruan tinggi negeri/PT
BHMN adalah anak-anak golongan mampu. Karena kemampuan orang tuanya, maka sejak
SD hingga SMA mereka ikut les ini-itu, ikut bimbingan belajar, sehingga pada
saat UN nilainya bagus dan lolos tes ke PTN/PT BHMN.
Tapi anak-anak golongan miskin, karena
kemiskinannya, tidak bisa ikut les ini-itu, juga tidak ikut bimbingan belajar.
Akhirnya, saat UN, nilai mereka jelek dan tidak bisa lolos masuk ke PTN/PT
BHMN. Mereka tidak masuk ke perguruan tinggi swasta terkenal karena tidak mampu
membayar. Satu-satunya cara untuk bisa kuliah adalah ke PTS kecil, yang SPP-nya
murah, tidak peduli kualitas, yang penting bisa kuliah. Mayoritas di antara
mereka bisa kuliah karena sambil bekerja. Ironis sekali bila mereka justru
tidak memperoleh BOM. Sebaiknya BOM menyasar ke mereka, tidak diskriminatif.
Bukan
Pepesan Kosong?
Persoalan lain yang perlu dicatat adalah apakah
BOM ini bukan sekadar pepesan kosong? Pertanyaan ini relevan terutama bila
dikaitkan dengan postur anggaran pendidikan yang riilnya untuk operasional
pendidikan yang amat kecil. Bagi yang tidak mengetahui, anggaran pendidikan
setiap tahun amat besar, karena mencapai 20 persen lebih dari APBN. Dalam APBN
2012, misalnya, anggaran pendidikan mencapai Rp 289,9 triliun (20,2 persen).
Tapi, ketika kita melihat perinciannya, ternyata yang dikelola oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan hanya Rp 64,350 triliun untuk mengurusi pendidikan
dari TK hingga perguruan tinggi, baik formal maupun nonformal. Penyerapan
anggaran pendidikan yang terbesar justru transfer ke daerah (Rp 186,439
triliun) dalam bentuk DAU dan DAK. Salah satu fungsi DAU adalah untuk keperluan
gaji guru.
Selebihnya adalah alokasi untuk Kementerian Agama
(Rp 32,007 triliun), kementerian lain yang menyelenggarakan pendidikan (Rp
6,159 triliun), dan 18 kementerian lain namun tidak disebutkan secara
terperinci.
Anggaran tersebut mengalami kenaikan Rp 18,134
triliun (6,3 persen) pada APBN-P 2012 atau menjadi Rp 308,957 triliun. Namun
pemanfaatan tambahan anggaran pendidikan dalam RAPBN-P tahun 2012 diarahkan
untuk: merespons arahan Presiden guna menjawab keluhan masyarakat terkait
dengan pendidikan; perluasan sasaran dan peningkatan unit cost untuk subsidi
siswa miskin agar siswa tidak putus sekolah dan mengurangi beban biaya
pendidikan yang harus ditanggung orang tua siswa untuk mendukung program
kompensasi pengurangan subsidi BBM; menuntaskan rehabilitasi gedung SD/MI dan
SMP/MTs yang rusak; peningkatan kualitas pendidikan; serta penguatan
pelaksanaan pendidikan karakter bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa
anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional itu amat
kecil dibandingkan dengan jumlah yang diurus, rata-rata 25 juta jiwa murid
SD-PT. Dengan postur anggaran yang seperti itu, apakah kita bisa berharap
banyak pada janji pemerintah untuk mematok biaya kuliah per tahun hanya Rp 2
juta saja? Jumlah PT BHMN saja ada tujuh, rata-rata anggaran belanja mereka
setiap tahun berkisar Rp 1-3 triliun (tergantung universitas/institutnya). Bila
pemerintah mematok anggaran untuk BOM itu hanya Rp 5-6 triliun saja, secara
otomatis dana tersebut akan habis terserap di PT BHMN, sedangkan PTN lainnya
tinggal menerima sisanya saja. Wajar bila kemudian kita pesimistis terhadap
niat baik pemerintah.
Pesimisme itu menguat terkait dengan tuntutan
terhadap PTN/PT BHMN untuk meningkatkan kualitasnya, bahkan didorong untuk
memiliki level internasional (world class university). Untuk mencapai tuntutan
world class internasional, hanya mungkin dilakukan bila disokong oleh pendanaan
yang besar. Dana itu bisa berasal dari pemerintah atau masyarakat atau bahkan
dua-duanya. Bila pemerintah mematok jumlah maksimal yang harus dibayarkan oleh
mahasiswa, konsekuensi logisnya adalah menyediakan dana yang cukup untuk
dialokasi ke PTN/PT BHMN.
Jujur saja, sebagai orang yang selama ini berjuang
untuk peningkatan aksesibilitas masuk ke PTN/PT BHMN, saya mendukung penuh niat
baik pemerintah tersebut. Meskipun demikian, saya juga perlu memberi catatan
kritis agar kebijakan tersebut tidak menjadi pepesan kosong saja, tapi
betul-betul terimplementasi secara konkret tanpa mengorbankan mutu PTN/PT BHMN.
Jangan sampai niat baik pemerintah tersebut berdampak merosotnya mutu PTN/PT
BHMN. Agar kualitas perguruan tinggi negeri/PT BHMN tetap terjaga, peningkatan
anggaran pendidikan tinggi mutlak diperlukan. Alihkan subsidi untuk energi ke
pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum.
Darmaningtyas
Penasihat
di Asosiasi Badan Penyelenggara PTS Indonesia
KORAN
TEMPO, 01 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi