Menyetop
Kekerasan di Sekolah
Lagi-lagi kita dibuat bersedih hati setelah
membaca berita tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh belasan siswa
senior terhadap tiga siswa baru Sekolah Menengah Atas (SMA) Don Bosco Pondok
Indah Jakarta (Republika, 27/7). Tindakan mereka tak dapat digolongkan sebagai
kenakalan remaja, tetapi sudah termasuk tindak kriminal. Bila masih berusia di
bawah 18 tahun, mereka masih tergolong anak. Berarti orang tua kandung atau
orang tua wali mereka harus turut bertanggung jawab penuh terhadap tindakan
yang sangat buruk para siswa tersebut.
Mengapa tindak kekerasan fisik dan psikologis di
banyak sekolah terus terjadi setiap tahun (yang terberitakan di media massa
hanya beberapa kasus)? Apakah para orang tua, guru-guru, pengelola sekolah, dan
Dinas Pendidikan tidak sanggup lagi mencegahnya dan menghukum berat para pelaku
tindak kriminal tersebut? Apakah para penegak hukum tidak bisa menghukum berat
para penjahat muda itu?
Kita tidak tahu bagaimana caranya mendesak para
orang tua, terutama yang sangat sibuk, agar mau dan mampu meng asuh dan
mendidik anak masing-masing dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Fakta selama
ini menunjukkan bahwa banyak anak melakukan tindak kekerasan atau kejahatan
gara-gara salah asuhan. Mereka tidak memperoleh asuhan penuh yang baik dari
orang tua masing-masing. Mereka justru diasuh oleh berbagai tontonan jelek
melalui teknologi informasi dan komunikasi yang sangat canggih, yang disediakan
orang tua mereka sendiri, di samping tontonan buruk di media massa (televisi).
Harus diakui, mengasuh anak generasi sekarang,
terutama yang lahir dan besar di kota-kota besar, memang sangat sulit. Kini,
banyak orang tua yang telah kehilangan wibawa, fungsi, dan peran utama dalam
pengasuhan anak meskipun mereka serumah. Tak terhitung berapa banyak anak
Indonesia yang selama ini tidak memperoleh pelukan hangat, kasih mesra, dan
asuhan rohaniah yang intensif dari orang tua kandung atau orang tua wali
mereka.
Sebenarnya sejak 10 tahun lalu, kita telah
memiliki Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Dalam
Pasal 4 UUPA dinyatakan, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 8
UUPA berbunyi tegas, setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Bahkan, Pasal 9 UUPA juga menegaskan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya.”
Dalam Pasal 10 dinyatakan, setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Juga dalam Pasal 11
UUPA dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai
dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 13 UUPA Ayat (1) berbunyi, “Setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan
salah lainnya.”
Apakah amanat UUPA ini terlaksana di lapangan
(masyarakat), termasuk di sekolah? Pertanyaan ini telah terjawab oleh berbagai
berita di media massa selama ini, termasuk berita terbaru tentang kekerasan di
SMA Don Bosco itu. Telah amat sering muncul berita tentang pelanggaran UUPA,
tetapi para pelanggarnya dibiarkan saja melenggang.
Lalu, apa yang mesti dilakukan agar tindak
kriminal di sekolah tidak terus terjadi?
Menurut penulis, pemerintah (Kemendiknas dan Dinas
Pendidikan) perlu segera membuat peraturan yang tegas dan keras. Pertama,
sekolah dilarang menerima siswa baru. Artinya, bila di suatu sekolah atau para
siswa suatu sekolah beberapa kali melakukan tindak kekerasan atau kriminal
terhadap siswa baru atau sesama siswa seangkatan, sekolah yang bersangkutan
dilarang menerima siswa baru (sekali atau satu angkatan).
Bila pada tahun-tahun berikutnya masih juga
terjadi peristiwa serupa, sekolah itu kembali dilarang menerima siswa baru. Hal
ini pernah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Pemimpin Institut
Pemerintahan Dalam Ne geri (IPDN) Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Ternyata, hasilnya cukup bagus.
Kedua, pemecatan kepala sekolah. Bila tak sanggup
mengasuh para siswa di sekolahnya, kepala sekolah yang bersangkutan harus
diberhentikan dari jabatannya. Ketiga, pemecatan kepala dinas pendidikan. Bila
di wilayahnya sering terjadi tindak kekerasan atau kriminal sesama siswa,
kepala dinas pendidikan di wilayah yang bersangkutan harus diberhentikan.
Keempat, mengeluarkan (memecat) para siswa yang terbukti secara hukum bersalah,
baik terhadap siswa baru maupun siswa lama. Kepala Sekolah harus memberi mereka
surat pemecatan resmi.
Kelima, menghukum orang tua para siswa pelaku
tindak kekerasan atau kriminal. Bagaimana caranya? Sekolah-sekolah dilarang
menerima siswa yang telah dipecat yang berada di wilayah yang sama. Dengan
hukuman tegas dan keras ini, kita berharap sekali tak bertambah terus korban
tindak kekerasan atau kriminal yang dilakukan siswa (anak) terhadap sesama
siswa (anak) pada masa mendatang.
S
Sahalatua Saragih
Dosen
Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
REPUBLIKA,
31 Juli 2012
harus bertindak tegas, agar ada efek jera
BalasHapus