Penggencetan
dan Wibawa Sekolah
Kasus bullying yang menimpa SMA Don Bosco, Pondok
Indah, Jakarta, adalah puncak dari gunung es kebobrokan sistem persekolahan.
Gunung es ambrol gara-gara orang tua korban berkicau di Twitter. Di zaman ini,
premanisme tidak bisa beroperasi tersembunyi terus di bawah karpet pembiaran
sekolah. Media sosial membuat segala isu sensitif bertiup sekencang puting
beliung.
Sekolah terlalu sibuk mengajar hingga lupa
mendidik murid menjadi manusia berkarakter. Bullying, penggencetan berupa
kekerasan dan pelecehan, telah menjadi tradisi turun-temurun. Kejahatan ini
direncanakan baik. Tahun pertama, mereka dicuci otak. Tahun kedua, mereka mulai
menjadi follower. Tahun ketiga, mereka sudah jadi hulubalang dan raja. Para
pelaku bullying, sesudah menganiaya, masih berbohong. One crime leads to
another crime.
Kasus bullying (selanjutnya diterjemahkan dengan
penggencetan) merupakan masalah laten sekolah menengah di Jakarta. Penggencetan
sudah menjadi pengetahuan umum, merajalela juga di sekolah-sekolah negeri
favorit. Penggencetan di sekolah ditandai dengan perilaku agresif
berulang-ulang yang dilakukan siswa-siswi yang berkedudukan lebih kuat terhadap
siswa-siswi berposisi lemah.
Penggencetan bisa dikelompokkan menjadi lima
kategori. Pertama, kontak fisik langsung, seperti memukul, mendorong,
menggigit, menjambak, menendang, mencubit, mencakar, merusak barang-barang
milik korban, menyekap dalam ruangan, memeras dan memalak korban. Kedua, kontak
verbal langsung, seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu,
memberi stigma buruk, sarkasme, mengejek, mengintimidasi, memaki, dan
menyebarkan gosip. Ketiga, perilaku non-verbal langsung, seperti tatapan sinis,
ekspresi wajah melecehkan, gestur tubuh mengejek, dan kontur tubuh mengancam.
Keempat, perilaku non-verbal tidak langsung, seperti mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan, mengucilkan, mengabaikan, dan mengirim surat kaleng.
Kelima, pelecehan seksual.
Kekerasan dan pelecehan dalam perpeloncoan
merupakan manifestasi relasi kuasa kakak kelas-adik kelas. Perpeloncoan semula
dimaksudkan sebagai latihan mental dan kepemimpinan. Perpeloncoan, prakteknya,
menjadi ajang pewarisan dendam kultural siswa-siswi senior terhadap junior
mereka. Di Yogyakarta, ada SMA negeri yang terpaksa mengurangi persentase murid
lelakinya guna menghentikan kebiasaan tawuran antarpelajar yang disosialisasi
lewat perpeloncoan.
Merajalelanya aksi-aksi perendahan, penghambaan,
pemalakan, dan penindasan antarsiswa di Jakarta menunjukkan betapa lemahnya
pendidikan karakter. Ada pemeo bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat
kuat karakternya untuk tidak berkarakter.
Sekolah terperangkap materialisme kurikulum
bercorak primitif yang memuja otak kognitif. Pendidikan turun derajat jadi
stupidifikasi, sekadar pelatihan menjadi bodoh. Empati tumpul. Para murid
kurang dikondisikan memahami sungguh-sungguh perasaan orang lain. Empati baru
jalan bila murid dapat menemukan hati mereka dalam emosi, kegembiraan, harapan,
dan kepedihan orang lain. Menangkap perasaan orang lain hanya bisa dilakukan
bila murid tahu rasanya berada dalam posisi orang lain. Budaya tepa selira
inilah yang kurang ditumbuhkan sekolah kepada para peserta didiknya yang baru
dalam tahap galau, "alay", dan "ababil"---anak-anak baru
labil.
Esensi pendidikan itu membuat orang menjadi lebih
baik dan berperilaku terpuji. Pimpinan sekolah dan para guru belum kunjung
paham akan esensi ini. Mereka goyah di tepian rutinitas mengajar yang monoton.
Penggencetan cermin senioritas dan junioritas dari para guru sendiri. Sebagai
kaum urban yang orientasinya mencari nafkah, mereka menggadaikan kewibawaan
kepada murid. Para guru tidak setia kepada kesepakatan perihal core values,
seperti sikap toleran, hormat, kemandirian, sopan santun, dan penuh perhatian.
Guru takut kepada muridnya sendiri.
Lorong-lorong penghubung antarkelas di sekolah
rupanya menjadi momok bagi murid junior. Mereka baru berani lewat bila para
seniornya sudah berada di ruang kelas. Guru disiplin jadi serba salah, seperti
melawan diri sendiri. Lembaga pendidikan jadi kurang berwibawa. Mereka mati
kutu menghadapi perilaku bengal segelintir peserta didik.
Mereka yang suka bikin onar memiliki kepribadian
cracker dan leader. Kalau bukan tipologi pencari celah yang punya daya pengaruh
kuat, tidak mungkin mereka bisa menggerakkan dan mempengaruhi orang lain. Guru
gagal memahami karakter siswanya. Perilaku cracker dan leader cenderung
destruktif karena pola pendampingan guru di sekolah gebyah-uyah. Pola ombyokan
tidak mengakomodasi potensi spesifik setiap murid.
Sekolah menjadi seperti bebek lumpuh, terbelenggu
kepengecutan dan kepecundangan gurunya sendiri. Sekolah tak ubahnya minimarket
tempat murid bisa datang-pergi kapan saja, karena mentang-mentang bisa membayar
mahal. Baik pelaku maupun korban seperti disuruh berperang sendiri di
pengadilan guna membela martabat masing-masing, karena kedunguan pengelola
sekolah.
Penggencetan di sekolah bisa dicegah dan
diantisipasi bila para guru memperlakukan murid bukan dengan pendekatan
klasikal, melainkan dengan cara personal. Guru, terutama wali kelas, harus
menerapkan model reksa pribadi agar paham satu per satu murid perwaliannya.
Wali kelas punya data terperinci mengenai tipologi murid cracker, leader, dan
follower berikut potensi persoalan dan solusinya.
Masa orientasi siswa baru (MOS), sumber awal
segala bentuk penggencetan, harus dikoordinasi langsung oleh para guru; tidak
dibiarkan lepas kendali karena dikelola para murid senior. MOS merupakan sarana
penanaman nilai-nilai pendidikan karakter seperti integritas, hormat, tanggung
jawab, keadilan, dan kepedulian. MOS bukan koloseum tempat kaisar mengadu budak
gladiator dengan binatang buas.
J
Sumardianta
Fasilitator
Pendidikan Karakter
KORAN
TEMPO, 31 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi