Dalam Koran Tempo edisi
19 April 2013, Ade Armando menulis opini berjudul “Gugatan atas UU
Pendidikan Tinggi 2012”. Menurut dia, kelompok masyarakat yang berupaya
membatalkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) adalah
pihak yang memperjuangkan kenikmatan dan kemudahan bagi orang kaya.
Terhadap tulisannya tersebut,
setidaknya ada tiga hal yang ingin saya ungkapkan. Pertama, Ade Armando
mengemukakan bahwa selama ini yang menikmati murahnya biaya pendidikan
berkualitas adalah kalangan menengah atas. Saya pribadi tidak menolak pendapat
beliau. Bagi saya, pendapat itu merupakan cerminan dari persoalan pendidikan di
negeri kita. Persoalan bahwa pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh
(mayoritas) kalangan menengah ke atas.
Pertanyaan saya, apakah persoalan
tidak teraksesnya pendidikan tinggi oleh masyarakat miskin, justru dijawab
dengan dilepasnya perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum, dan membebankan
biaya yang besar kepada mahasiswa?
Kedua, Ade Armando juga mengambil
contoh UI, yang menurutnya saat ini dinikmati kalangan borjuis yang memenuhi
lahan parkir kampus dengan mobil-mobil mewahnya, dan tinggal di
apartemen-apartemen yang mahal. Pernyataan itu juga sama sekali tak saya
sanggah. Karena itulah kenyataan yang saya lihat pula, sejak UI menjadi badan
hukum milik negara (BHMN). Sebuah konsep tata kelola universitas yang sama
dengan perguruan tinggi badan hukum di dalam UU Dikti.
Membaca tulisan Ade Armando,
sepertinya dia lupa bahwa kondisi UI saat ini adalah UI sebagai badan hukum.
Justru karena pembadan hukuman UI-lah pembangunan fisik menjadi tujuan utama.
Perpustakaan (yang katanya) megah dibangun, sementara jurnal internasional
daring tidak bisa diakses. Pembangunan-pembangunan fisik menjadi prioritas
ketika rektor sebagai direktur (apabila kita menggunakan analogi PT), memiliki
kewenangan penuh untuk menentukan kebijakannya.
Hasilnya, bisa ditebak. Kenaikan
biaya secara signifikan, dan perekrutan mahasiswa secara besar-besaran.
BHMN menjadi cerminan bagaimana masa
depan pendidikan tinggi di bawah rezim UU Dikti. Seharusnya, dosen, profesor,
dan rektor yang saat ini mengajar dan bertugas di BHMN turut
menjadi saksi terdekat bagaimana akses
masyarakat semakin terhalang oleh pembadanhukuman PTN tersebut.
Melalui otonomi kebijakan, UI
menghasilkan berbagai kebijakan pendanaan yang membebankan mahasiswa,
seperti admission fee (2004), dengan jumlah 5-25 juta, biaya
operasional (2008) senilai Rp 5-7,5 juta, ujian mandiri (2009) dengan
pendaftaran menggunakan sistem daring, dan jalur non-reguler, dengan biaya
untuk dana pembangunan berkisar Rp 11-45 juta, dan biaya operasional Rp
6,5-10,5 juta per semester.
Dengan kebijakan seperti di atas,
menjadi “wajar” apabila saat ini yang menikmati UI adalah “kalangan borjuis
yang memenuhi lahan parkir kampus dengan mobil-mobil mewahnya, dan tinggal di
apartemen-apartemen yang mahal”.
Hal ketiga yang ingin saya
kemukakan, bahwa UI dan kampus-kampus BHMN lainnya merupakan perguruan tinggi
negeri. Sejatinya, institusi-institusi tersebut merupakan media pemerintah
dalam memenuhi hak atas pendidikan warga negara. Saya tak pernah bosan mengutip
Pasal 31 (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Tidak pernah
bosan juga saya menyebutkan Pasal 13, khususnya angka 1 dan 2 Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob), yang sudah diratifikasi Indonesia pada
2005. Dalam Kovenan tersebut, jelas disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak
asasi manusia, yang pelaksanaannya merupakan kewajiban dari negara.
Secara lebih spesifik, untuk
perguruan tinggi dapat kita lihat dari Kovenan Ekosob Pasal 13, 2.e. Di sana
jelas dicantumkan perguruan tinggi harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya
untuk semua orang, dengan pengadaan pendidikan tinggi yang cuma-cuma secara
bertahap. Keberlakuan Kovenan Ekosob ini adalah sama dan setara dengan
undang-undang, sejak diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005. Artinya,
semua pasal yang ada di Kovenan Ekosob bersifat mengikat dan harus dipatuhi
layaknya undang-undang yang dibuat DPR dan presiden.
Dengan demikian, tugas perguruan
tinggi negeri tidak sekadar memajukan institusinya sendiri, tapi juga menjadi
bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang dimaksud bukan
hanya mahasiswa-mahasiswa yang ada di dalam lembaga pendidikan tersebut, tapi
juga masyarakat yang aksesnya terhambat, entah oleh keterbatasan ekonomi,
geografis, gender, dan lain sebagainya.
Jadi, kalau kita sepakat bahwa hari
ini kita melihat pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah
ke atas, tugas kita adalah menjadikan pendidikan tinggi bisa dinikmati oleh
seluruh warga negara, dan bukannya mendukung bahwa pendidikan tinggi hanya
untuk yang kaya. Tugas yang sudah sepatutnya ditanggung oleh negara, dan
dijalankan melalui perguruan tinggi negeri yang berkualitas dan terjangkau.
Dinda N. Yura ;
Anggota
Komite Nasional Pendidikan
TEMPO.CO, 26 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi