Peti Mati Pendidikan Tinggi
Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan
bahwa mulai 2013 mahasiswa perguruan tinggi negeri hanya membayar sumbangan
pembinaan pendidikan sebesar Rp 2 juta per tahun. Untuk itu, dikatakan bahwa
pemerintah akan menanggung seluruh biaya operasional PTN dengan alokasi Rp 5
triliun-Rp 6 triliun per tahun (Kompas, 18 Juli 2012).
Jika
pernyataan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) ini terwujud, nantinya biaya kuliah
di PTN akan setara dengan biaya 20 tahun lalu ketika belum terjadi gelombang
liberalisasi pendidikan. Saat itu, SPP mahasiswa PTN rata-rata Rp 200.000,
sedangkan harga es teh manis di Kota Yogyakarta adalah Rp 150 per gelas. Saat
ini harga es teh telah mencapai Rp 1.500 per gelas. Angka biaya SPP Rp 2 juta
per tahun cukup wajar dan sebanding dengan kenaikan harga es teh.
Masalahnya,
apakah pernyataan tersebut bukan pepesan kosong alias sekadar untuk
”menyeimbangkan” berita-berita penolakan atas Undang-Undang Pendidikan Tinggi
(UU PT) yang baru saja disahkan? Dengan anggaran rata-rata Rp 14,1 triliun per
tahun untuk 92 PTN se-Indonesia selama ini, mahasiswa harus membayar biaya
kuliah Rp 10 juta hingga 65 juta per tahun (Kompas, 20/7/2012). Jika biaya
kuliah dipatok rata-rata hanya Rp 2 juta per tahun, mungkinkah pemerintah
menutup seluruh kekurangan biaya operasional PTN secara berkesinambungan?
Problem
utama dalam implementasi kebijakan pendidikan selama ini adalah rendahnya
konsistensi dan komitmen pemerintah. Untuk pembayaran tunjangan sertifikasi
guru dan perbaikan infrastruktur pendidikan saja pemerintah pusat dan daerah
masih sering inkonsisten kendati anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN
telah terpenuhi. Berapa lama pemerintah akan mampu (dan mau) menanggung
sepenuhnya biaya operasional PTN yang kian mahal?
Di balik
pernyataan Dirjen Dikti sebenarnya terkirim sinyal bahwa pengesahan UU PT
merupakan peti mati bagi visi besar pengembangan PTN, misalnya sebagai
universitas penelitian berkelas dunia. Ada tiga hal mengapa demikian.
Pertama,
tidak seperti UU Badan Hukum Pendidikan yang penuh ”lubang”, UU PT disusun
cukup rapi dari aspek konstitusionalitas sehingga kecil kemungkinan upaya uji
materi akan berhasil.
Tidak
seperti UU BHP yang menyeragamkan model pengelolaan PT dan bertentangan dengan
hak berserikat, sebagaimana diatur Pasal 28 UUD 1945, UU PT menjamin hak itu,
baik institusional maupun individual. Penilaian bahwa UU PT membatasi otonomi
perguruan tinggi dan memangkas kebebasan akademik tidak bermakna bahwa UU PT
inkonstitusional.
Faktanya,
sejumlah peraturan produk Orde Baru yang membuka campur tangan pemerintah pun
masih berlaku hingga sekarang. Misalnya Keputusan Dirjen Dikti No
48/DJ/Kep/1983 tentang Beban Tugas Tenaga Pengajar pada Perguruan Tinggi
Negeri, yang merujuk Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 1980 tentang Fungsi
Pendidikan Tinggi.
Peraturan-peraturan
itu menyubordinasikan kebebasan akademik di bawah kewenangan jabatan struktural
yang politis dan sekarang sifatnya melulu administratif. Dua peraturan ini juga
dijadikan landasan penyusunan Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi
Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi tahun 2010 oleh Ditjen Dikti.
Pembatasan Kreativitas
Kedua, UU
PT membatasi kreativitas pengembangan ilmu melalui pengetatan pembukaan program
studi (prodi), khususnya yang pohon keilmuannya dinilai tidak jelas (Kompas,
20/7/2012). Proposal untuk membuka prodi manajemen pada fakultas ekonomi,
misalnya, berpeluang besar untuk disetujui karena pohon ilmunya jelas dan sudah
mapan meskipun prodi manajemen sudah ada di banyak institusi pendidikan tinggi
saat ini.
Sebaliknya,
seperti dialami sebuah universitas di Yogyakarta, proposal pembukaan prodi
mekatronika sulit disetujui. Bukan hanya pohon ilmunya dianggap tidak jelas,
nama mekatronika mungkin juga belum pernah didengar oleh para pejabat Ditjen
Dikti.
Niat
melindungi masyarakat dari praktik ilegal penyelenggaraan pendidikan seharusnya
dilakukan dengan mendorong kreativitas pengembangan ilmu melalui bidang-bidang
yang belum mapan tetapi prospektif. Sebagaimana sejarahnya, tahun 1950-an
institusi pendidikan tinggi didirikan di setiap provinsi agar keunggulan khas
setiap daerah dapat dikembangkan dan kebutuhan daerah akan tenaga terdidik
terpenuhi.
Pembatasan
diperlukan justru untuk prodi-prodi yang telah banyak jumlahnya agar hubungan
penawaran-permintaan (supply-demand) di pasar kerja tidak jenuh. Sayangnya, UU
PT tidak dilandasi cara pandang demikian.
Ketiga,
dikotomi PTN-PTS (perguruan tinggi swasta) terpancar kuat dalam UU PT. Jika
biaya operasional 92 PTN ditanggung pemerintah, berapa dana dari pemerintah
untuk PTS yang jumlahnya lebih banyak dan kondisinya lebih bervariatif daripada
PTN? Sebaliknya, jika PTN diawasi dalam hal pemanfaatan anggaran, apakah
pengumpulan dana masyarakat secara langsung oleh PTS juga diawasi pemerintah
dan DPR?
Jadi, bagi
PTS, UU PT diskriminatif. Bagi PTN, UU PT bersifat sentralistis karena
pembiayaan PTN akan ditanggung pemerintah, tetapi aspek-aspek kunci manajerial
dan akademik diambil alih. Untuk dunia pendidikan tinggi Indonesia secara umum,
UU PT membatasi kreativitas keilmuan.
Oleh karena
itu, meskipun konstitusional, UU PT sebenarnya tidak legitimitas karena tidak
mewadahi kepentingan para pemangku kepentingan secara seimbang. Jadi, upaya uji
materi mungkin bisa berangkat dari aspek legitimasi UU PT.
Agus Suwignyo
Pedagog cum Sejarawan Pendidikan
FIB-UGM
KOMPAS, 25 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi