Dalam
artikel berjudul ”Perguruan Tinggi Berkualitas” (Kompas, 19/8), Hendra
Gunawan (ITB) menyenaraikan delapan syarat untuk menjamin mutu perguruan
tinggi. Dua yang pertama ialah sistem perekrutan dan sistem promosi berbasis merit serta
sistem peer review. Ia juga mengingatkan betapa pentingnya mencegah inbreeding.
Ketiga hal itu saling berkait. Untuk PT di
Indonesia, promosi sebaiknya didasarkan pada hasil evaluasi yang meliputi
penilaian (1) diri sendiri, (2) atasan, (3) sejawat [rekan kerja sesama dosen],
dan (4) mahasiswa.
Idealnya, menurut Prof Tjia May On (ITB), ilmuwan
itu biar dinilai oleh masyarakat saja, seperti seniman. Pengubah (dirigent/conductor)
Herbert von Karajan dijuluki maestro oleh masyarakat pengagumnya. Affandi
disebut maestro juga oleh masyarakat yang mengagumi keindahan lukisannya.
Akan tetapi, yang didambakan Tjia tak sesuai dengan
Indonesia. Di Indonesia dosen harus proaktif mengusulkan kenaikan jabatan
fungsional akademiknya melalui sistem ”kum” (cumulative credit-points).
Sejarawan Onghokham (alm) sampai pensiun ”mangkrak” di golongan III/a sebab ia
tidak peduli pada pengumpulan kum.
Dwidharma
Di PT kita ada tridharma, yakni pendidikan,
penelitian, dan pengabdian (kepada masyarakat). Jadi evaluasi catursula (four-pronged
assessment) tersebut di atas terutama—tetapi tak hanya—meliputi ketiga dharma
itu. Saya katakan ”terutama”, tetapi ”tidak hanya”, sebab ada PT yang
mementingkan sikap dan perilaku moral. Kalau Anda cacat moral, jangan harap
Anda bisa menjadi guru besar di UGM. Pernah ada dekan yang dicopot dari
jabatannya karena masalah moral yang menyangkut WIL.
Di Amerika juga ada tridharma, tetapi yang
mengemuka hanya dua dharma yang pertama. Urutannya pun penelitian dulu, baru
pendidikan. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak
dilakukan.
Meskipun pendidikan disebut sebagai dharma kedua,
tidak berarti pendidikan diabaikan terhadap penelitian. Di Michigan State
University, Prof Osgood tak banyak penelitiannya, tapi sangat piawai mengajar
di kelas. Dosen lain, Dr V Kane yang hebat prestasinya sebagai peneliti di Cyclotron
Laboratory dipecat karena serampangan memberi nilai blanket
A kepada mahasiswanya. Dengan dukungan massa mahasiswa, melalui ombudsman
ia memprotes pemecatannya, tetapi sia-sia belaka. Richard P Feynman terkenal
bukan saja karena ia ”dosen gaul” dan peneliti ulung (ia pemenang Nobel
Fisika), tetapi juga karena sangat piawai memberi kuliah.
Ungkapan ketus ”yang mampu, meneliti; yang tidak
mampu, mengajar” pernah terdengar. Tetapi itu dulu. Bahwa Amerika mementingkan
pendidikan, juga terlihat pada tiadanya program doktor jalur penelitian seperti
di Inggris dan negara-negara Persemakmuran (Commonwealth) dan ”laku” di
negeri kita.
Pembentukan komisi pembimbing (plus 2-3 anggota tim
lainnya) dan penelitian purnawaktu baru diizinkan setelah mahasiswa S-3 mengambil coursework dan
lulus ujian komprehensif yang berat. Di sana kandidat PhDjuga harus menguasai
tiga bahasa asing yang dipakai dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional.
Memang, yang dituntut hanya penguasaan pasif, artinya dapat membaca dan
memahami artikel dalam jurnal berbahasa asing. Akan tetapi, syarat itu bukan
hanya formalitas, sebab si calon benar-benar diuji.
Bahkan secara individual, tidak ”ombyokan”. Di S-3
kita juga ada syarat bahasa asing, tapi hanya Inggris dan markah (score)
TOEFL yang dituntut rendah saja. Itu pun kalau sampai si mahasiswa hampir
menempuh ujian terbuka (promosi doktor) tak dapat memenuhi syarat itu, dia
dimaafkan.
Jeruk makan jeruk
Secara genetika, inbreeding tak
baik sebab kelemahan yang dibawa dalam gen-gen induk diturunkan ke anak, lalu
ke cucu, dan seterusnya sehingga kelemahan itu kian menjadi-jadi. Sejalan
dengan itu, secara ”memetika” pun, kelemahan pada dosen dibawa dalam meme-nya
dan direplikasi oleh mahasiswanya. Meme ialah konsep yang
direka cipta Richard Dawkins, yang setara dengan gene dalam
genetika. Bedanya, meme ada di relung
sosial-budaya. Meme juga tidak menurun melalui proses
reproduksi/prokreasi, tetapi melalui interaksi sosio-kultural antar-manusia,
yang dapat melewati media dan mesin/komputer di antaranya. Dalam interaksi itu
terjadi replikasi dan imitasi yang ditingkatkan (augmented).
Jadi, dosen yang pendidikan S-1, S-2, dan S-3-nya
ditempuh di PT tempat dia jadi guru besar (Kompas, 21/7/2013) dianggap
tak lucu. Sama tak lucunya dengan rektor yang lulus S-3 dengan pujian dari PT
yang dipimpinnya hanya dalam waktu 1 tahun 11 bulan dan menandatangani sendiri
ijazahnya. Dalam ungkapan Joshua, ini ”jeruk makan jeruk”.
L
Wilardjo ;
Guru Besar Fisika UKSW
KOMPAS, 24 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi