UN: Momentum Peningkatan Mutu Pendidikan


UN: Momentum Peningkatan Mutu Pendidikan

Hasil Ujian Nasional yang baru beberapa bulan lalu diumumkan menunjukan adanya variasi persentase kelulusan antar sekolah, kabupaten/kota bahkan provinsi. Ada kabupaten/kota lulusannya masih relatif lebih rendah di banding dengan kabupaten/kota. Masalah ujian nasional ini pada dasarnya menjadi domain pedagogis. Maknanya UN adalah bentuk pertanggungjawaban setiap peserta didik yang telah mengikuti kegiatan belajar mengajar selama periode tertentu.Untuk peserta didik SD periode tertentu tersebut adalah enam tahun, untuk SMP dan SMA/SMK periode tertentu tersebut adalah tiga tahun.

Merupakan suatu hal yang wajar jika ada yang tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional (UN). Setiap peserta didik mempunyai kemampuan akademis yang berbeda. Ada peserta didik yang cepat menguasai mata pelajaran yang diajarkan sehingga pada saat mengikuti UN sudah siap, tetapi, karena berberbagai alasan, ada perserta didik yang belum siap ketika mengikuti UN sehingga tidak lulus.

Ketika dalam suatu kabupaten/kota atau satu sekolah relatif banyak peserta didik yang tidak lulus, dibanding dengan kabupaten/kota atau sekolah lain, UN mencuat i domain politis karena banyak komentar dari berbagai kalangan mulai dari pengamat pendidikan, politisi, sampai dengan orang tua, bahkan anggota masayarakat pada umumnya. Komentar bervariasi dari tidak setuju dengan diselenggarakannya UN sampai dengan UN dianggap sebagai upaya untuk mendeskreditkan peserta didik. Ada juga yang berpendapat UN merupakan alat ukur yang tidak fair. Namun kalau kita mau memandang dari sudut pandang yang positif, UN dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk memetakan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dari situ titik pangkal peningkatan mutu pendidikan dilakukan.

Makna UN

UN merupakan barometer mengukur mutu pendidikan dari tingkat sekolah sampai dengan tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan sampai dengan nasional. Agar UN dapat menjadi barometer mutu pendidikan UN harus bersifat standar. Dalam konteks metodologi UN yang standar mempunyai dua kriteria yakni validity dan realibility. Secara definisi validity adalah mengukur apa yang harus diukur. Misal untuk mengukur prestasi bahasa Inggris, maka UN mata pelajaran Bahasa Inggris mencakup tata bahasa, perbendaharaan kata, dan pemahaman membaca. Sedangkan reliability harafiah berarti konsisten. Ibarat suatu penggaris yang panjangnya 30 sentimeter, ketika digunakan untuk mengukur kain yang panjangnya 30 sentimer maka menghasilkan hasil yang sama untuk mengukur panjang meja.

Soal UN yang reliabel akan menghasilkan skor yang sama jika ditempuh oleh anak yang mempunyai kemampuan akademis yang sama dimanapun mereka bersekolah. Pertanyaannya mengapa anak yang tinggal di Jakarta cenderung mempunyai UN yang lebih tinggi dibanding dengan siswa yang berasal dari Jayapura atau Palembang, misalnya, walaupun kemampuannya sama?.

UN merupakan alat ukur kemampuan akademis bersifat curriculum-driven. Artinya butir-butir soal yang dituangkan dalam UN didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI). Keduanya memang bukan kurikulum dalam arti konvensional. Keduanya merupakan dua dokumen resmi yang menjadi dasar bagi setiap guru dalam mengajar setiap mata pelajaran kepada siswa. Dua-duanya saling berkaitan erat satu dengan lainnya, namun secara hirarki SKL posisinya lebih tinggi daripada SI. SKL merupakan suatu kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap lulusan pada setiap satuan pendidikan tertentu yang meliputi SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Berdasarkan pada SKL tersebut, SI dijabarkan menjadi program pada kelas tertentu. Dari situ dijabarkan lebih lanjut pada pokok bahasan pada satuan waktu yang terdiri dari triwulan, mungguan sampai dengan harian.

Berdasarkan pada peraturan Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasioinal Pendidikan, istilah kurikulum hanya ada pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Setiap satuan pendidikan mempunyai diskresi untuk menggunakan kurikulum dari berbagai sumber, sepanjang dalam mengartikulasikan kurikulum tersebut ke dalam mata pelajaran selalu merujuk pada SKL dan SI.

Ketika terdapat persentase kelulusan yang berbeda antara satu sekolah pada daerah yang berbeda, terdapat beberapa kemungkinan. Pertama, pada kelas akhir menjelang kelas terakhir, ketika para peserta didik menngikuti UN, belum semua SI diajarkan kepada mereka. Kedua, kalaupun sudah merujuk kepada SI, guru belum cukup kompeten dalam mengartikulasikan SI ke dalam konsep-konsep mata pelajaran, atau bahkan sarana pendukung yang dimiliki oleh suatu sekolah kurang memadai dalam memfasilitasi peserta didik untuk memperdalam suatu konsep yang diajarkan kepada mereka. Ketiga, ada kemungkinan pada saat mengikuti ujian, peserta didik tidak cukup fit atau nervous, sehingga dalam menjawab tidak konsentrasi. Keempat, karena adanya kecurangan. Akibat dari kurang percaya diri baik pada peserta didik maupun guru, sehingga guru mencoba untuk membocorkan jawaban. Dan akibat fatal dialami oleh peserta didik ketika kunci jawaban yang diberikan salah.

Lepas dari berbagai permasalahan tersebut, UN seharusnya dijadikan momentum untuk meningkatan mutu pendidikan. Kenapa demikian, rendahnya persentase kelulusan UN pada suatu kabupaten/kota memberikan informasi akurat tentang symptom mutu pendidikan pada kabupaten/kota tersebut.

Berdasarkan pada teori education production function rendahnya mutu pendidikan karena dua faktor umum yaitu in-school factors dan out-of-school. Kelompok faktor yang pertama meliputi ketersediaan dan pemanfaatan sarana pendidikan yang tersedia di sekolah, kualifikasi pendidikan dan kompetensi manajerial kepala sekolah, serta kualifikasi pendidikan dan kompetensi mengajar guru. Sedangkan kelompok kedua meliputi status ekonomi keluarga siswa yang indikatornya meliputi jenjang pendidikan orang tua, penghasilan orang tua. Di samping itu, faktor yang termasuk dalam kelompok kedua adalah motivasi siswa.

Intervensi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, cenderung ditujukan pada faktor pada kelompok pertama, yaitu in-school factors. Intervensi pada kelompok faktor ini diharapkan dapat memberikan hasil dalam jangka waktu relatif pendek. Intervensi terhadap out-of-school factors akan memberikan hasil yang relatif jangka panjang, dan juga melibatkan kementerian lain. Peningkatan status ekonomi orang tua, misalnya, memerlukan keterlibatam Kementerian Pedagangan dan atau Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pemerintah tentu saja tidak bisa menunggu status ekonomi orang tua meningkat dahulu agar anaknya bisa sekolah. Untuk mengatasi hal itu intervensi jangka pendek yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian beasiswa miskin.

Dengan berdasarkan pada asumsi bahwa rendahnya persentase kelulusan UN pada suatu kebupaten/kota merupakan symptom rendahnya mutu pendidikan pada kabupaten/kota tersebut, inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional akan memberikan subsidi peningkatan mutu pendidikan pada kabupaten/kota yang persentase kelulusan UN nya rendah diharapkan akan menjadi intervensi yang efektif terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Oleh: Bambang Indriyanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan
Posted Wed, 07/18/2012 - 10:04 by sidiknas
Sumber: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-un


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar demi Refleksi