Kelola
Liberalisasi Perbankan
Liberalisasi sektor perbankan nasional ”secara
masif ”dimulai sejak krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Hal ini ditandai oleh lahirnya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan. UU ini lalu diperkuat Peraturan Pemerintah No
29/1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum.
Hingga saat ini, kebijakan liberalisasi keuangan
telah diadopsi sejumlah negara di Asia Timur. Kecenderungan ini
dilatarbelakangi keterlibatan negara-negara Asia Timur dalam forum kerja sama
ekonomi internasional, seperti WTO, APEC, dan AEC. Liberalisasi juga dipandang
sebagai solusi terhadap krisis ekonomi Asia Timur tahun 1997/1998.
Kecenderungan di atas melahirkan tiga pola
pergeseran dalam sistem perbankan Asia Timur, yaitu (1) Perubahan struktur
portofolio dari dominasi kredit korporasi ke konsumer dan ritel. (2) Kombinasi
antara peranan perbankan swasta dan pemerintah. (3) Semakin besarnya peranan
bank asing di Asia Timur (McCauly dan Hobson, 1999).
Perubahan di atas melahirkan beberapa isu krusial,
seperti ketimpangan alokasi kredit antara kredit konsumsi dan investasi,
konsolidasi perbankan yang menggeser kepemilikan bank dari dominasi pemerintah
ke swasta, serta kehadiran lembaga keuangan asing dalam industri perbankan
nasional.
Permasalahannya, liberalisasi keuangan yang
dipraktikkan di negara-negara Asia Timur bersifat tak simetris (asymmetric
liberalization). Ini tecermin pada perbedaan derajat keterbukaan sistem
perbankan setiap negara, di mana Indonesia merupakan negara dengan derajat
keterbukaan (derajat liberalisasi) paling tinggi.
Liberalisasi
Asimetris
Liberalisasi keuangan merupakan bagian integral
dari liberalisasi ekonomi. Liberalisasi keuangan mengurangi secara signifikan
peranan pemerintah dalam industri keuangan. Kebijakan ini bertujuan
meningkatkan akses pelaku usaha baik domestik maupun asing terhadap industri
keuangan sehingga terhindar dari represi finansial (McKinnon, 1973).
Pengalaman Brasil menunjukkan, liberalisasi yang
ditandai meningkatnya peranan perbankan asing (kantor cabang bank asing
ditambah bank lokal milik asing) yang mencapai sekitar 40 persen dari sisi
permodalan tak membuat kedalaman sistem keuangannya semakin baik. Rasio kredit
perbankan terhadap PDB Brasil baru sekitar 43 persen pada 2009.
Demikian juga Indonesia dengan derajat keterbukaan
sistem keuangan paling besar memiliki rasio kredit terhadap PDB sekitar 29,62
persen tahun 2011. Hal ini hanya lebih baik dari Laos dan Kamboja yang rasionya
20,4 persen dan 27,6 persen. Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Singapura
128,6 persen, Malaysia 117,6 persen, dan Thailand 92,97 persen (MAS, 2012).
Fakta ini menunjukkan kehadiran bank asing di Indonesia dan sejumlah negara
berkembang lain tak membuat alokasi kredit, khususnya ke sektor produktif,
lebih baik. Bank asing, termasuk bank lokal milik asing, hanya ikut bersaing
menyalurkan kredit di segmen konsumer dan ritel.
Penetrasi perbankan asing juga berdampak pada
perubahan porsi kepemilikan bank di Indonesia yang telanjur memberikan peluang
bagi pihak asing memiliki 99 persen saham perbankan lokal. Tak bisa dihindari,
kurang lebih 55,32 persen aset perbankan nasional dikuasai asing hingga akhir
2011 (IRB, 2012). Bank- bank asing memiliki kemudahan mengembangkan segmen
bisnisnya di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada kian ketatnya persaingan
antarbank dalam memperebutkan nasabah di daerah perkotaan. Penyaluran kredit
perbankan menjadi semakin terkonsentrasi ke sektor konsumer dan korporasi
besar.
Perkembangan di Indonesia sangat kontras dengan
China di mana empat bank BUMN China menguasai sekitar 60 persen pangsa pasar
perbankan nasionalnya. Bahkan, otoritas China secara periodik menginjeksi modal
bagi bank pemerintahnya untuk pertahankan pangsa pasar (McCauly dan Hobson,
1999).
Mengelola
Liberalisasi
Peranan perbankan asing dalam industri perbankan
nasional yang sangat besar tak sejalan dengan kecenderungan di kawasan lain,
seperti Asia Pasifik yang porsinya kurang dari 10 persen, Eropa Timur, Timur
Tengah, dan Afrika sekitar 15 persen. Kondisi Indonesia relatif sama dengan
Amerika Latin yang porsi bank asingnya mencapai 50 persen.
Kehadiran perbankan asing di Indonesia dipicu
kemudahan proses perizinan bank dengan prinsip single license. Bank Asing
leluasa membuka kantor cabang dan menempatkan ATM hingga ke daerah. Pada saat
yang sama, hampir semua negara anggota ASEAN menerapkan prinsip perizinan
bertingkat (multiple license).
Tak berlaku asas resiprokal, yaitu kesetaraan
perlakuan antara bank asing di Indonesia dan bank lokal di negara asal bank
bersangkutan. Idealnya, Indonesia menerapkan pendekatan one on one agreement,
yaitu jika perbankan asing membuka satu kantor cabang dan ATM di Indonesia,
bank asal Indonesia juga wajib memperoleh perlakuan yang sama dalam membuka
kantor cabang dan ATM di negara asal bank asing.
Dengan demikian, perubahan UU Perbankan yang
sedang dibahas di DPR seharusnya menyentuh beberapa hal pokok: perubahan
substansial terkait paradigma kebijakan dari yang sangat liberal (derajat
keterbukaan tinggi) jadi sedikit lebih ketat. Misalnya dengan mengurangi porsi
asing dalam kepemilikan perbankan nasional dari 99 persen menjadi sekitar 50
persen. Langkah ini sejalan negara lain, seperti Malaysia yang hanya
mengizinkan kepemilikan asing 10 persen untuk individu dan 20 persen untuk
institusi, Vietnam 30 persen, dan Brasil 50 persen. Bahkan Singapura mewajibkan
persetujuan MAS hanya untuk memiliki aset bank lokal di atas 5 persen.
Mengatur penetrasi bank asing sehingga bersifat
komplementer dengan arah pengembangan industri perbankan nasional. Misalnya
dengan mengarahkan bank asing untuk menutupi kekurangan industri perbankan
lokal dalam hal pembiayaan infrastruktur.
Pengaturan ini juga akan mengeliminasi contagion
effect (efek tular) ketika terjadi krisis di negara asal bank asing. Sebagai
langkah pengamanan terhadap perekonomian nasional, perlu pengaturan mengenai
larangan kepemilikan tunggal (single ownership), termasuk oleh pihak asing.
Tujuannya meningkatkan kontrol terhadap aktivitas perbankan nasional sehingga
terhindar dari masalah salah kelola seperti yang terjadi pada periode sebelum
krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Muhammad
Syarkawi Rauf
Kepala
Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis,
Fakultas
Ekonomi Unhas
KOMPAS,
17 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi