Pancasila
(2) : Perubahan Sejati oleh Rakyat Jelata
Penaklukan kolonialis pada mulanya tidak berhasil,
kecuali dalam pengertian fisikal dan ekonomi, tapi kemudian ia menunjukkan
hasil (sekurangnya akhir abad ke-19) pada tingkat intelektual.
Ahli-ahli hukum adat dan tradisi bermunculan di
kalangan sarjana yang menjadi penasihat pemerintahan kolonial, tumbuhnya
intelektualisme yang berorientasi pada logika Barat/kontinental, ditambah
lahirnya kelompok-kelompok intelektual semacam teosofi di Jawa, menjadi
kecambah bagi penaklukan intelektual itu.
Pemikiran “baru” dari kebudayaan kontinental yang
disokong kekuatan ekonomi, politik, dan militer menindas kerja dan produk
intelektual lokal/tradisional.
Pada masa berikutnya perlahan-lahan kekuatan
rasionalisme Eropa yang materialistik dan dominatif itu menaklukkan kultural,
terutama (pada awalnya) di kalangan masyarakat kota (urban). Ketika kemajuan
teknologi informasi dan transportasi terjadi begitu masif dan revolusioner,
penaklukan itu seperti mendapatkan momentum desisifnya.
Teknologi itu menjadi wahana ampuh untuk
mengangkut ide-ide kultural yang termuat dalam konsep filosofis, demokrasi,
kapitalisme, liberalisme, dan lain-lain, yang menjadi penumpang gelap dalam
gerakan supermasif bernama globalisme.
Pada masa yang disebut banyak kalangan sebagai
“kolonialisme baru” itu, pertahanan kebudayaan kita di tingkat pribadi hingga
komunal menjadi rapuh, bahkan hingga pada tingkat terdominasi penuh.
Modus eksistensial yang secara tradisional dan
primordial kita bangun selama ribuan tahun terekspresi secara kasar dan ganas
oleh globalisme, sebuah topeng kolonial yang geraknya didukung kekuatan
politik, ekonomi, hingga praktik militer dan intelijen negara/bangsa kolonial.
Sebagian masyarakat kita saat ini harus diakui
telah menempatkan kebudayaan baru, yang postmodern itu, sebagai acuan tunggal
dalam menegakkan eksistensi kontemporernya.
Masyarakat itu merasa dirinya eksis bila
menggunakan simbol-simbol kebudayaan penakluk itu. Penaklukan simbolik itu
semacam representasi dari takluknya pemikiran, ide, tradisi, bahkan ruang
imajinasi kita sebagai pribadi dan bangsa.
Dalam kultur baru itu, hal-hal yang sifatnya
pragmatik dan hedonistik–sebagai produk adab yang materialistik–menjadi standar
bagi status atau simbol sosial pada umumnya. Dalam kultur ini pula bemunculan
titik api yang menciptakan konflik di berbagai dimensi dan lapisan masyarakat.
Hidup yang dihela oleh kebutuhan material yang
hiper-pragmatik dan hedonistik menciptakan kompetisi yang hanya sehat di atas
kertas, tapi jahat dan destruktif di tingkat praktisnya.
Dengan asas yang dijumput dari kapitalisme, liberalisme
hingga hak asasi manusia, sebagian dari kita mengejar kebutuhan materialistik
itu dengan berbagai cara, termasuk mengkhianati dan membungkam nurani, adat,
dan kearifan tradisinya.
Solusi
Kebudayaan
Dari argumen singkat di atas, kita sudah bisa menemukan
penyebab dari berbagai krisis negeri ini, yakni ketika kita menolak kenyataan
eksistensial yang menjadi inti jati diri kita semua.
Maka solusinya pun menjadi jelas, untuk menjadi
manusia yang beradab luhur (apa pun bentuk/kemajuan kebudayaannya), kita harus
menimbang kembali dengan cara jujur, saksama, dan cerdas kebijaksanaan dan
pengetahuan tradisi yang sejak ribuan tahun lalu diproduksi, dipelihara, dan
dikembangkan oleh nenek moyang kita.
Sebuah perjalanan kebudayaan yang sama sekali
bukan omong kosong dan jauh lebih panjang prosesnya ketimbang bangsa-bangsa
yang menganggap dirinya maju, seperti bangsa-bangsa Eropa apalagi Amerika.
Dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang saat ini
dianggap kuno, lampau, kaku, mistik, dan beku itu sebenarnya kita dapat
menemukan jalan keluar dengan melakukan perubahan sikap (mindset juga
attitude). Kita dengan sendirinya akan menemukan acuan hidup yang lebih dekat
dengan jati diri kita sendiri, lebih komprehensif dalam melihat persoalan dan
lebih praktis dalam pelaksanaan.
Jadi bila–katakanlah–orang Sunda menjadi Sunda
yang sejati, dalam arti menggunakan kearifan primordialnya sebagai acuan untuk
bereksistensi dan bermasyarakat, bisa dipastikan ia tidak akan tenggelam dalam
konflik dengan warga lainnya baik sesama maupun dengan yang berbeda etnik.
Dengan begitu manusia Indonesia tidak akan menjadi
korban dari gerak globalisasi kebudayaan saat ini, sekuat apa pun gerak itu.
Bahkan seharusnya dengan kapasitas dan kualitas
kultural masing-masing etnik, kita dapat memerah atau “menunggangi” kuda
peradaban postmodernisme yang berlari sangat kencang itu, mengambil saripatinya
untuk memperkuat dan kian mendewasakan kebudayaan kita sendiri, sebagaimana
dilakukan nenek moyang kita di masa lalu.
Kita adalah bangsa yang adaptif dalam arti
memiliki kemampuan luar biasa lebih dari bangsa mana pun, dalam menyerap
kebudayaan asing menjadi asupan positif bagi perkembangan jati diri dan
kebudayaan kita sendiri.
Dalam prosesnya yang normal, sehat, dan egaliter,
sejarah kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidaklah mudah untuk ditaklukkan
kebudayaan asing.
Kita adalah bangsa yang ramah, sopan, dan penuh
hormat saat menerima kehadiran tamu, walau tentu saja kita bukan bangsa yang
lunak dan melempem ketika tamu itu memiliki maksud untuk menguasai, apalagi
merendahkan atau menghina martabat kita sebagai tuan rumah. Itu berlaku untuk
semua suku bangsa: rasa hormat dan martabat adalah hal yang bagi siapa pun dari
kita siap mengorbankan apa pun, termasuk nyawa, untuk membelanya.
Membutuhkan
“Updating”
Sesungguhnya nilai-nilai dan moralitas dasar dari
kebudayaan di atas secara jenial telah dirumuskan–walau mungkin belum
sempurna–oleh bapak-ibu bangsa (founding fathers-mothers) kita di masa lalu.
Melalui pergumulan ide yang dilandasi oleh visi
dan spirit kebangsaan primordial, mereka akhirnya menyepakati nilai-nilai dasar
dari keberadaan kita sebagai sebuah bangsa terangkum dalam sebuah rumusan
bernama Pancasila. Namun betapa pun luhur dan jenialnya Pancasila, mesti jujur
kita akui, itu adalah produk dari kerja manusia yang tidak abadi seperti kitab
suci.
Ia membutuhkan updating untuk masalah-masalah
baru, data-data, pemahaman, dan tujuan atau bahkan visi baru. Itulah tugas dari
generasi baru terutama para anggota pemerintahan baru yang silih datang dan
pergi.
Pada tingkat praktis, sebenarnya Pancasila adalah
cara dan acuan yang niscaya dalam peri-hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala.
Apa yang dilakukan pendiri bangsa ini adalah menciptakan kristal-kristal
kebudayaan dari praktik Pancasila di kalangan rakyat jelata itu.
Soekarno dkk tidak menciptakan ide baru untuk
mengatasi hidup yang baru. Namun itulah tugas dan tanggung jawab generasi baru,
generasi kita, untuk terus membuat Pancasila hidup dengan cara melakukan
updating tadi.
Semacam panduan yang berakar dari perkembangan
kebudayaan dan pengetahuan adat dan tradisi dalam upaya merespons kenyataan
baru yang melesat dengan cepat. Panduan dan acuan yang harusnya bermula dari
perubahan radikal para penguasa dan pengambil kebijaksanaan secara khusus dan
kaum elite pada umumnya.
Rakyat jelata adalah pihak terakhir yang akan
menyempurnakan panduan-panduan hidup di atas. Rakyat jelatalah yang sebenarnya
menjadi pelaku utama ketika kebudayaan itu berkembang dan memperbarui diri.
Maka bila harus ada perubahan yang substansial,
tidak terelakkan ia harus terjadi dan dilaksanakan rakyat jelata pada muaranya.
Awal dari semua itu adalah munculnya elite yang memiliki kesadaran bersama
untuk mengubah mindset dan attitude-nya sesuai dengan realitas eksistensial
kita.
Persoalannya kini menjadi lebih terang: bagaimana
elite menjalankan peran dan tanggung jawab historik dan tradisionalnya itu,
sementara saat ini mereka dalam keadaan mabuk karena alkohol globalisme, candu
liberalisme, nafsu kapitalisme, dan penghambaan pada individualisme. Untuk
penjelasan dan jawaban bagi pertanyaan kritis ini, kita membutuhkan kertas yang
lebih panjang.
Warjati
Suharyono
Budayawan
SINAR
HARAPAN, 19 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi