Mengikis
Budaya Korupsi
Dari sejumlah fakta yang mengungkap keterlibatan
kaum muda terhadap tindak korupsi, korupsi tampaknya sudah demikian
mendarah-daging. Bayangkan saja, sebagai orang berusia 20-an dan 30-an saat era
reformasi dimulai tahun 1998, mereka tentu tergolong pemuda usia kuliah dengan
semangat idealisme tinggi. Tapi, apa lacur? Mereka lalu justru larut dalam
struktur dan menjadi pelaku korupsi yang lihai.
Generasi muda yang diharapkan menjadi katalisator
perubahan pun malah ikut melestarikan praktik korupsi. Jadi, pernyataan Bung
Hatta (1902-1980) dan Mochtar Lubis (1922-2004) berdasawarsa-dasawarsa lalu
bahwa korupsi memang merupakan bagian dari kebudayaan kita, tepat adanya?
Mencari indikator untuk memvonis korupsi sebagai
bagian dari budaya bangsa kita sebenarnya mudah. Yaitu, jika pelaku korupsi
merasa tidak ada yang salah dengan perilakunya. Ini berbeda, misalnya, jika
para koruptor itu memiliki perasaan malu ketika dituduh korupsi. Hadirnya
perasaan malu menandakan hati kecil para koruptor itu mengakui perbuatan mereka
yang salah. Hanya saja, mereka tetap melakukannya karena berbagai motif.
Absennya perasaan bersalah dalam melakukan korupsi
terwujud dari betapa tenangnya para tersangka korupsi ketika menghadapi proses
peradilan. Bahkan, ada tersangka koruptor yang berani berkoar-koar menantang
siapa pun yang mampu membuktikan dugaan praktik koruptif yang dialamatkan
kepadanya. Juga, ada yang mati-matian mempertahankan posisinya. Suka tidak
suka, korupsi memang telah menjadi budaya bangsa?
Meminjam sosiolog Pierre Bourdieu (1930-2002)
sebagaimana disitir Ritzer (Modern Sociological Theory, 2003), budaya inilah
yang disebut habitus korupsi. Yaitu, praktik berulang yang diwarisi dan
dimodifikasi oleh satu aktor sosial hingga menjadi kebiasaan praktis ibarat
orang naik sepeda. Terbentuknya habitus korupsi kemudian menciptakan kesan
tidak ada yang salah dalam praktik korupsi.
Nah, setidaknya ada sejumlah faktor yang
menyuburkan budaya korupsi di Indonesia.
Pertama, korban korupsi umumnya tak berwajah.
Berbeda dengan kasus kriminal lain seperti pencurian atau pembunuhan di mana
korbannya konkret merujuk pada pribadi tertentu yang menjadi korban. Akibatnya,
pelaku korupsi tidak merasakan getaran empati terhadap korban. Sebab, sang
pelaku memang tidak dapat melihat korbannya secara konkret.
Kedua, nikmat dan manfaat melakukan korupsi
ternyata lebih besar daripada mudaratnya. Bayangkan saja, para koruptor dari
hasil jarahan mereka mampu tetap berbusana perlente di persidangan, menikmati
fasilitas dan diskresi mewah di rutan dan penjara, serta tampil anggun di
berbagai forum publik semisal televisi.
Ketiga, 'justifikasi kompensatif' oleh para
koruptor itu sendiri. Sebagai contoh, kadang pelaku korupsi menampilkan diri
sebagai orang yang dermawan menebarkan sumbangan pada masyarakat sekitar. Atau,
mendirikan berbagai perusahaan yang menciptakan lapangan kerja. Bisa juga,
mendirikan berbagai yayasan sosial yang berfungsi ganda sebagai kedok sekaligus
sebagai pembenaran bahwa hasil korupsi mereka toh bermanfaat juga bagi masyarakat
luas. Dengan begini, mereka justru merasa berjasa melakukan korupsi. Padahal
logikanya, kalau mereka tidak mengorupsi uang negara, manfaat yang dirasakan
publik pastilah lebih besar lagi.
Keempat, masyarakat yang permisif terhadap
koruptor. Artinya, masyarakat sering menutup mata terhadap kesenjangan antara
profesi dan gaya hidup seorang pelaku korupsi asalkan koruptor itu merupakan
orang murah hati yang siap memberikan berbagai amal bagi mereka. Alhasil,
permisivitas masyarakat ini kian menguatkan korupsi sebagai budaya.
Kelima, bercokolnya alam pikir materialistis dalam
masyarakat kita. Maksudnya, masyarakat kita terasuki sikap hidup materialistis
yang menakar status orang hanya dari kemampuan materinya ketimbang hal-hal lain
seperti integritas, kecerdasan, dan lain sebagainya. Alhasil, masyarakat kita
hanya bisa sekadar sinis terhadap koruptor. Mungkin karena kesadaran jika
mereka punya akses ke pusaran dana yang besar, bisa jadi mereka akan melakukan
praktik korupsi yang sama.
Miskinkan
Koruptor
Karena budaya merupakan hasil subjektif dari
individu yang menghadapi struktur sosial, modifikasi budaya korupsi hanya bisa
terjadi dengan ikut memodifikasi struktur sosial yang membentuk habitus korupsi
tersebut. Setidaknya ada sejumlah cara untuk itu.
Pertama, hilangkan laba ekonomi-korupsi bagi para
koruptor. Caranya, miskinkan para koruptor dengan cara membekukan aset-aset
mereka yang terkait dengan korupsi. Dengan begitu, lenyap percaya diri mereka
kala berada di bui atau di persidangan. Sebab, tidak ada lagi sumber daya
ekonomi yang mereka persepsikan dapat 'membeli fasilitas' di rutan atau dalam
proses peradilan.
Kedua, vonis mahaberat dan maksimal harus
dijatuhkan bagi para koruptor. Selama ini, kita tahu betapa ringannya vonis
bagi para pelaku korupsi. Mahkamah Agung (MA) pada Februari 2011 merilis data
bahwa mayoritas koruptor hanya mendapatkan vonis ringan 1-2 tahun. Kini,
kondisi vonis ringan itu mutlak mesti diubah. Harus mulai diwacanakan bahwa
jaksa mesti mengajukan tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi minimal 20
tahun agar menimbulkan efek jera.
Ketiga, masyarakat tidak boleh lagi gampang
termakan oleh 'sedekah recehan' para pelaku koruptor. Sebaliknya, masyarakat
sebagai korban korupsi harus ikut mempermalukan para koruptor demi membangun
budaya malu sebagai antitesa budaya korupsi. Sekaligus, ini menunjukkan 'wajah
masyarakat' sebagai korban konkret perbuatan korupsi seraya meredam sikap hidup
materialistis.
Dengan begini, semoga kita bisa mengikis budaya
korupsi dan memperbaiki citra bangsa kita sebagai negara sarang para koruptor
durjana.
Satrio
Wahono
Sosiolog
dan Magister Filsafat UI
SUARA
KARYA, 18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi