Praktek
korupsi di negeri ini telah begitu rupa sehingga mengakibatkan kehidupan
berbangsa dan bernegara kian rapuh. Indikatornya, meski satu persatu kasus
korupsi berhasil diungkap aparat penegak hukum, namun kasus serupa justru
bermunculan.
Ibarat satu kasus berhasil diselesaikan,
seribu kasus lain menunggu proses pengadilan. Tidak mengherankan jika ada
begitu banyak mantan pejabat dan pejabat yang masih aktif dari kalangan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif ditangkap dan ditahan akibat melakukan tindak
pidana korupsi. Yang mutakhir adalah penetapan Andi Mallarangeng sebagai
tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pusat olahraga Hambalang. Penetapan
Andi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini layak diapresiasi.
Itu karena saat ditetapkan sebagai tersangka
posisi Andi adalah menteri yang masih aktif di Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora). Di samping itu, Andi dikenal sebagai salah seorang yang sangat
dekat dengan Presiden SBY. Andi juga tercatat sebagai sekretaris Dewan Pembina
Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Adapun ketua Dewan Pembinanya tidak lain
Presiden SBY. Fakta ini menunjukkan betapa dekat hubungan personal dan
profesional Presiden SBY dan Andi. Publik layak berharap agar perkembangan
kasus korupsi proyek Hambalang tidak berhenti di sini.
Penetapan Andi sebagai tersangka harus menjadi
entry point bagi aparat untuk mengungkap lebih jauh praktik korupsi dalam kasus
lain yang selama ini telah menjadi perhatian publik. Jika aparat pengadilan
mampu membuktikan dugaan yang dipersangkakan, meminjam istilah Lord Acton, maka
itu berarti Andi telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dua
abad silam, dalam surat yang ditulis pada Bishop Mandell Creighten, Lord Acton
pernah menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan korupsi dan kekuasaan. Acton
berkata jelas sekali: power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely.
Ungkapan ini berarti bahwa orang yang memiliki
kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan
absolut pasti akan menyalahgunakannya. Karena praktik korupsi telah begitu rupa
menggerogoti bangsa ini, maka semangat memberantas korupsi harus terus
dikobarkan.Para pejuang antikorupsi tidak boleh pesimistis hanya karena melihat
begitu banyak kasus korupsi. Ini berarti perang melawan korupsi harus tetap
menjadi agenda besar bangsa. Sebab, korupsi merupakan salah satu penyakit
peradaban yang dapat melumpuhkan bangunan sebuah bangsa dan negara.
Harus ada kesepahaman di kalangan pejuang
antikorupsi bahwa korupsi adalah masalah yang sangat membahayakan bagi masa
kini dan masa depan bangsa. Agar keinginan untuk memberantas korupsi tercapai
maka yang harus dilakukan para pejuang antikorupsi adalah menggunakan ilmu dan
strategi yang tepat. Senada dengan itu, Rektor Universitas Paramadina Anies
Baswedan pernah mengingatkan bahwa memerangi korupsi tidak cukup jika hanya
ditempuh dengan cara menggelorakan gemuruh perlawanan dan pekik antikorupsi.
Peringatan Anies ini penting dikemukakan
karena salah satu faktor yang sangat mungkin memengaruhi lambatnya kinerja
lembaga-lembaga antikorupsi adalah belum menggunakan strategi yang tepat. Salah
satu pilihan strategi yang dapat dijadikan alternatif untuk memberantas korupsi
adalah melalui pendidikan. Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan dalam hal
ini. Pertama, lembaga pendidikan memiliki seperangkat pengetahuan (knowledge)
untuk memberikan pencerahan terhadap kesalahan dalam pemberantasan praktik
korupsi. Sejauh ini definisi korupsi baru dipahami sebatas pada pengertian yang
bersifat legal-formal.
Sementara praktik korupsi dalam berbagai
bentuk telah tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat mulai tingkat
atas hingga rakyat jelata pun mengenal praktik korupsi dalam berbagai budaya.
Dalam konteks budaya yang beragam, masyarakat bahkan menyamarkan praktik
korupsi dengan beberapa istilah. Seperti dikemukakan Mochtar Lubis (1988),
ekspresi korupsi telah mewujud dalam praktek pemberian uang sogokan, uang kopi,
salam tempel, uang semir, uang pelancar atau pelumas, dan parsel lebaran.
Bahkan untuk mengelabui hukum, pemberian
imbalan terkadang tidak langsung diberikan pada pejabat resmi, melainkan
melalui istri, anak, kerabat, dan teman dekatnya. Berkaitan dengan budaya ini
lembaga pendidikan dapat menekankan agar pejabat publik dan masyarakat
berhati-hati dengan ekspresi korupsi yang terselubung. Kedua, lembaga
pendidikan penting dilibatkan dalam pemberantasan korupsi karena memiliki
jaringan (networking) yang kuat hingga ke seluruh penjuru Tanah Air.
Pelibatan lembaga pendidikan mulai tingkat
dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi akan menjadikan usaha pemberantasan
korupsi sebagai gerakan yang bersifat masif. Apalagi jika dalam gerakan
tersebut seluruh sumber daya institusi pendidikan dapat dilibatkan mulai
pimpinan, dosen/guru, mahasiswa/ siswa, karyawan, dan stakeholders yang ada.
Dengan gerakan yang masif diharapkan pada saatnya nanti bangsa ini dapat keluar
dari problem korupsi. Ketiga, jika dilihat secara jujur sejatinya praktik
korupsi di negeri ini banyak melibatkan kalangan terdidik.
Mereka umumnya alumni dari satuan lembaga
pendidikan. Bahkan di antara mereka juga pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Kasus yang menimpa Andi seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi dunia
pendidikan. Orang dengan latar belakang pendidikan mapan sekalipun dapat diduga
terlibat praktik korupsi. Itu bisa jadi karena sistem di negeri ini sudah
sangat korup.
Akibatnya, siapa pun yang masuk sistem pasti
akan sulit menghindari budaya korupsi. Andi dan kalangan terdidik lain yang
ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan yang telah dinyatakan bersalah dalam
kasus korupsi bisa jadi merupakan korban dari sistem administrasi negara yang
tidak pernah dikuasainya dengan baik. Ini karena tatkala kalangan terdidik
belajar di lembaga pendidikan, belum mendapat materi tentang tindakan yang
termasuk kategori korupsi.
Jika hipotesis ini benar, berarti ikhtiar
untuk memasukkan materi pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan
mutlak dilakukan. Ikhtiar untuk mengembangkan materi pemberantasan korupsi di
setiap satuan pendidikan ini harus didukung agar lembaga pendidikan tidak
dikatakan turut memproduksi koruptor.
Biyanto ; Dosen IAIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen
PW Muhammadiyah Jawa Timur
SINDO, 24 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi