RANCANGAN
Kurikulum 2013, yang sekarang memasuki tahap uji publik, mendorong kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Konsep ini sudah ada pada dekade 1980-an
dengan label cara belajar siswa aktif (CBSA). Penerapan metode ini memerlukan
wawasan teoretis dan pijakan empiris, disertai pemikiran kritis untuk
mengetahui seberapa jauh cara belajar tersebut bisa dilakukan.
Pembelajaran yang efektif berisi proses yang
pada akhirnya membawa perubahan tingkah laku dan tingkat pengetahuan dalam diri
si anak didik. Perubahan ini tidak bisa hanya dicapai melalui ceramah satu arah
oleh guru. Para ahli lebih dari tiga dekade lalu telah melahirkan konsep-konsep
pembelajaran yang mengoptimalkan daya pikir dan kreativitas sang murid untuk
menambah keterampilan dan pengetahuannya. Salah satunya adalah konsep belajar
Experiential Learning yang digagas oleh Kolb (1984).
Melalui experiential learning, murid didorong
untuk mengalami sendiri rangkaian proses yang membawa mereka pada meningkatnya
pengetahuan. Bukannya berceramah sepanjang jam pelajaran, guru hanya akan
memberikan dasar-dasar pengetahuan dan prinsip-prinsip utama suatu bidang
bahasan, kemudian membiarkan para murid melakukan pengamatan, melakukan
eksperimen sederhana, diskusi dengan teman sekelas, bahkan mengakses sumber
belajar lain, seperti Google atau seperangkat sumber online lainnya, untuk
sampai pada pemahaman suatu konsep sosial atau sains tertentu.
Studi-studi tentang efektivitas semua
pendekatan tersebut dalam 7-10 tahun terakhir menunjukkan bahwa peran guru
tetap sangat sentral dalam kelas. Tanpa peran guru sebagai pemimpin, kegiatan
belajar menjadi kacau. Murid menjadi bingung manakala menemui informasi yang
bertentangan, frustrasi karena merasa tidak menemukan jawaban untuk
kesulitannya, atau bahkan apatis karena merasa tidak mendapat apa-apa dari
kegiatan tersebut.
Perbedaannya dengan praktik pembelajaran di
masa lalu yang terpusat pada guru adalah dia tidak lagi menjadi satu-satunya
sumber pengetahuan dan "kebenaran" di kelas. Guru bukan menjadi figur
yang hanya menuangkan seperangkat informasi kepada para murid yang kemudian
ditransfer ke buku catatan mereka dan direproduksi ketika ulangan tiba. Di sini
guru menjadi semacam event organizer yang dengan taktis membagi sesi belajar
menjadi beberapa tahap: penyampaian prinsip-prinsip utama suatu bidang bahasan,
penugasan ke kegiatan pengamatan atau eksperimen dengan panduan yang jelas
tentang tujuan kegiatan tersebut, monitoring kegiatan belajar, pemberian
bantuan manakala sang murid mengalami kesulitan, dan akhirnya semacam sesi
pleno untuk menyimak presentasi para murid tentang temuannya dan cara nalarnya,
serta sedikit penegasan, klarifikasi, atau koreksi terhadap cara bernalar dan
hasil yang disajikan. Jacobson dan Ruddy (2004) mengusulkan serangkaian
pertanyaan sederhana namun akan cukup efektif dalam membuka wawasan pikir para
murid: "apakah kalian memperhatikan bahwa...", "apakah hal itu
juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari", dan "bagaimana kalian
dapat menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari."
Masa kritis dalam pendekatan pembelajaran
experiential ini adalah ketika murid mengalami kesulitan. Guru sebaiknya tidak
memberikan jawaban langsung, tapi mengarahkan cara bernalar dan cara
mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia. Misalnya, guru
menjumpai bahwa beberapa muridnya tidak mengerti kata baru dalam suatu bacaan
berbahasa asing. Sang guru bisa menuntun mereka untuk mencari kamus daring
seperti Cambridge atau Webster yang menyajikan informasi sangat lengkap tentang
makna suatu kata.
Namun, manakala yang terasa oleh guru adalah
kebingungan atau bahkan prosedur bernalar yang salah arah, sang guru sebaiknya
menghentikan kegiatan sejenak untuk mengingatkan anak didiknya akan tujuan
utama yang ditetapkan di awal sesi.
Sudah saatnya dinas-dinas pendidikan di
tingkat kota dan kabupaten merangkul ahli-ahli kependidikan dari berbagai
perguruan tinggi untuk bersama-sama menyiapkan para guru menerapkan Kurikulum
2013 dengan benar. Juga perlu pendampingan berkelanjutan untuk memberikan
solusi bagi guru terhadap masalah-masalah konkret di kelasnya.
Kondisi ideal pendekatan di atas adalah kelas
yang tidak sangat besar, guru yang sudah terlatih, siap mengubah pola pikir
dari figur yang hanya berceramah menjadi figur yang cakap dalam mengendalikan
setiap tahap pembelajaran, serta materi yang memang dirancang khusus untuk
belajar lewat pengalaman, termasuk koneksi internet.
Bahkan, jika semua sudah relatif bisa mendapat
bekal yang sama untuk memulai, masih ada faktor evaluasi nasional yang selama
ini selalu menjadi perdebatan hangat, yakni ujian nasional. Hendaknya ujian
nasional dirancang sedemikian rupa sehingga tetap bisa mengakomodasi dan bahkan
memupuk sikap kolaboratif, mandiri, dan kreatif yang terkandung dalam pengalaman
belajar experiential di kelas. Berita terbaru tentang format evaluasi yang
berciri observasi, bertanya, menalar, dan bereksperimen diharapkan bisa
diterapkan dalam pembelajaran di kelas sehingga terbentuk rangkaian yang
koheren dari penetapan tujuan, pengalaman belajar, sampai format evaluasi.
Patrisius Istiarto
Djiwandono ;
Guru Besar Pendidikan
Bahasa
Universitas Ma Chung,
Malang
JAWA POS, 24 Desember
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi