Salah satu alasan utama yang membuat terus
terjadinya demoralisasi bangsa, seperti merebaknya wabah korupsi dan suap,
adalah lemahnya penegakan supremasi hukum.
Atau, karena hukum di negeri ini tidak memiliki
moralitas dan minus keadilan. Oleh karena itu, keadilan sejati yang dirindukan
tidak kunjung terwujud, dan dekadensi moral atau demoralisasi bangsa pun
semakin menyeruak.
Itu semua tidak lain disebabkan bobroknya mental
aparat penegak hukum yang minus nurani dan moral mereka dalam menjalankan
tugas-tugas penegakan hukum.
Dengan demikian, moralitas hukum yang hakikatnya
berorientasi pada penciptaan kebenaran dan keadilan publik sebagai bentuk
pengabdian kepada masyarakat pun semakin lenyap. Yang menyeruak adalah
ketidakadilan dan kepalsuan hidup berbangsa.
Akhirnya, negara dinilai memiliki produk hukum
dengan sistem hukum yang merupakan kosmetik belaka.
Padahal, tujuan dibuatkan hukum oleh suatu negara,
tidak lain, seperti kata filsuf besar Yunani klasik, Socrates, adalah untuk
dijadikan sebagai landasan hidup moral bersama dan terciptanya keadilan dan
keadaban bangsa. Lalu, bagaimana supaya hukum kita menjadi lebih bermoral dan
terutama supaya aparat penegak hukum kita lebih bernurani dan berintegritas?
Pengadilan
Socrates
Sebagai ilustrasi dalam esai ini, kita kembali
melihat pengadilan Socrates yang disebut
Pengadilan Heliasts (Court of the Heliasts) yang melemparkan sejumlah
tuduhan kepada Socrates. Pertama, Socrates dituduh menolak menyembah dewa-dewa
resmi Yunani (impiety).
Kedua, Socrates dituduh meracuni pikiran anak-anak
muda Athena, lewat “filsafat kritis” yang diajarkannya, seperti kebebasan
berpendapat. Semua tuduhan itu diperkuat dengan ramalan kuil Appollo bahwa
Socrates merupakan orang terpandai dan merupakan hadiah dari para dewa untuk Athena.
Sebagaimana dikisahkan dalam buku-buku filsafat,
pada waktu itu tidak ada jaksa dan hakim. Setiap warga Athena yang merasa diri
mempunyai bukti tentang kejahatan yang dilakukan seperti yang dituduhkan kepada
Socrates tampil ke depan untuk memberikan kesaksian.
Atau, setiap warga Athena dapat menjadi hakim dan
jaksa. Di samping tidak ada tata krama dan etika pengadilan, juga Socrates
tidak memiliki peluang untuk keluar dari jeratan Pengadilan Heliasts.
Ini karena “hakim” dan “jaksa”, yang terdiri dari
seluruh warga Athena yang hadir itu, juga adalah musuh-musuh Socrates yang
telah memiliki penilaian buruk sebelumnya, atau apriori negatif terhadap
Socrates yang sulit dibantah.
Terbukti atau tidak, dan sejauh mana pun kebenaran
yang dimiliki Socrates, dengan berbagai argumentasi yang diajukannya, Socrates
sadar bahwa dirinya tidak bisa keluar dari jeratan hukuman mati yang
diterimanya.
Ketika itu, seorang muridnya bermaksud membantunya
agar ia bisa keluar dari penjara dengan menyuap para penjaga. Tetapi, Socrates
menolak bantuan muridnya dan tidak mau menggunakan uang agar tetap hidup,
meskipun ia tahu dirinya tidak bersalah.
Kepada para jaksa dan hakim, yaitu para warga
Athena yang menuntutnya, Socrates mengatakan, “A man should take courage when
about to die, and be of good hope, after leaving this life, he will attain to
the greatest good younder”.
Orang harus tabah ketika menghadapi kematian, dan
patut mempunyai harapan baik bahwa setelah meninggalkan dunia ini dia akan
memperoleh kebaikan terbesar di dunia lain. Dengan demikian, yang pantas
dipilih untuk dipertahankan adalah moral yang dianggapnya benar, meski dengan
harus mengorbankan nyawa.
Artinya, lewat Pengadilan Heliasts itu juga
Socrates hendak memberikan pendidikan hukum dan moral kepada para hakim dan
jaksa dalam pelaksanaan tugas-tugas mulianya. Di depan Pengadilan Heliasts,
Socrates berjanji taat pada hukum. “Saya tidak akan mengemis agar saya diberi
pengampunan, tetapi saya akan memberikan pencerahan (enlightment) kepada Anda
tentang tugas-tugas hakim dan jaksa serta berusaha meyakinkan Anda untuk
melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas tinggi.”
Memang, semasa hidupnya juga Socrates selalu
memberikan kritik pedas kepada para hakim dan jaksa, terutama terhadap kiprah
kelompok filsuf Sofis yang cenderung memanfaatkan kehormatan dan keahlian
mereka sebagai ahli retorika yang senang berwacana untuk memengaruhi kaum muda
Athena pada cara hidup yang tidak terhormat.
Kepandaian retorika bukan dipakai sebagai jalan
menemukan kebenaran, tetapi sebagai alat kelicikan: memutarbalikkan fakta dan
merekayasa berbagai persoalan kemasyarakatan.
Ketaatan pada hukum ini memang sering diucapkan
pula dalam wacana dan tulisan-tulisanya. Suatu ketika Socrates berucap,
celakalah negeri yang penghuninya tidak respek pada hukum, terutama para aparat
penegak hukumnya.
Ini karena tiap pengabaian hukum merupakan
tindakan keji, tidak bermoral, yang amat berbahaya bagi eksistensi bangsa.
Begitu hukum dicabik-cabik, kebenaran hukum dimanipulasi, kebohongan dicuatkan,
kehancuran hadir di depan mata, karena yang akan terjadi adalah ketidakadilan,
penindasan, dan kebiadaban.
Renungan
Bernegara
Keteguhan dalam menjaga moral seperti yang
ditunjukkan Socrates ternyata berbanding terbalik dengan perilaku para
koruptor, dus para hakim dan jaksa di negeri ini.
Hakim dan jaksa yang gemar menerima suap,
merekayasa kebenaran hukum, dan tidak bernurani serta koruptor yang gemar
berbohong dan serakah, adalah indikasinya. Semua itu adalah cermin kesia-siaan
kematian Socrates yang ingin memberikan pencerahan hukum.
Akibatnya, dari potret hukum dus pengadilan di
negeri ini yang bertolak belakang dengan perjuangan Socrates itulah bangsa ini
memasuki periode berbahaya. Aksi suap dan korupsi pun semakin menjadi-jadi.
Orang semakin tidak takut menyuap dan mengorupsi,
karena yakin bahwa dirinya dapat bebas dari jeratan hukum, jika pandai
berselingkuh dengan para hakim dan jaksa dan lihai bermain mata dengan para
penguasa.
Lalu, apakah keadaan bangsa seperti ini terus
dibiarkan hingga jatuh ke tebing jurang kehancurannya? Jawabannya, tentu tidak.
Oleh karena itu, pesan Socrates perlu direnungkan oleh semua komponen bangsa,
terutama para hakim dan jaksa.
Pernyataan Socrates lain yang perlu menjadi sumber
renungan adalah, “Pantang bagiku untuk melecehkan hukum di negeriku, karena aku
tahu hukum, maka wajib bagiku untuk menjalankan dan menghormatinya. Hanya orang
lalim yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan; hidup terhormat
lebih utama dari materi.”
Jika perilaku dan kualitas hidup moral etis para
aparat penegak hukum tidak tercerahkan dari kematian Socrates, bukan saja wajah
hukum kita kian tercoreng, tetapi kehidupan moral bangsa pun kian terdegradasi.
Dengan demikian, yang diperlukan kini adalah
pembangunan keutamaan-keutamaan moral etis kehidupan bangsa yang dimulai dari
pencerahan dan pencerdasan kehidupan hukum oleh aparat penegak hukum. Itu demi
terbangunnya sebuah negara moral.
Kata Robert Spaeman, filsuf asal Jerman, sebuah
negara menjadi negara moral adalah negara yang bukan saja memberikan ruang
gerak bagi masyarakat madani (civil society) untuk mengekspresikan perilaku
hidup yang penuh moral, tetapi harus mendesak aparat pengatur kehidupan negara
seperti aparat penegak hukum untuk berperilaku dan bertindak adil dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
Thomas
Koten
Direktur
Social Development Center; Seorang Sarjana Filsafat
SINAR
HARAPAN, 01 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi