Pancasila
(1) :
Praksis
Budaya dan Bangsa Bernama Indonesia
Dalam sebuah feature tentang kondisi masyarakat di
wilayah perbatasan RI dengan negara lain, harian Kompas menceritakan kisah
miris yang sudah terbayang dari judulnya, “30 Tahun Dipelihara oleh Malaysia”.
Suatu kenyataan yang tentu membuat kita sedih dan
prihatin. Namun sesungguhnya di balik kisah itu terdapat juga bukti yang kuat
tentang keteguhan jati diri sejati bangsa Indonesia.
Apakah rakyat di perbatasan Kalimantan itu hendak
mengubah status kewarganegaraan mereka menjadi warga negara Malaysia?
Ketika kenyataan membuktikan lebih dari satu generasi
mereka diabaikan oleh pemerintahnya sendiri, ketika akses dan peluang ekonomi
mereka tertutup karena pemerintah tidak pernah membangun infrastruktur yang
dibutuhkan sehingga mereka kesulitan untuk melakukan komunikasi sosial dan
kultural dengan penduduk desa lain, sementara kebutuhan dasar hidup mereka
lebih diperhatikan oleh negara tetangga, bukankah cukup semua alasan itu untuk
mengganti kewarganegaraan menjadi orang Malaysia?
Ternyata, percayalah, rakyat kita yang diabaikan
itu yang mungkin kecewa dan marah pada pemerintah yang sah, akan tetap menolak
tawaran menjadi warga negara Malaysia.
Mereka akan tetap percaya diri menjadi warga
Indonesia dan menjadi bagian dari sejarahnya, termasuk tetap menganggap
Soekarno sebagai presidennya. Hal ini membuktikan bahwa seseorang menjadi
bagian integral dari bangsa dan republik ini tidak hanya didasarkan oleh kaitan
atau kepentingan ekonomi, politik, militer, bahkan agama belaka.
Terdapat faktor lain yang mampu meliatkan dan
mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, yang bahkan ternyata juga tidak cukup
dipenuhi oleh sebuah tema modern yang begitu populer: nasionalisme. Namun
mereka—juga kita—tetap bertaut dengan bagian-bagian lain dari bangsa ini karena
sebuah ikatan atau tautan yang bernama ikatan kebudayaan.
Ikatan yang kemudian menjadi sebuah integrasi
kebudayaan kolektif, yang sesungguhnya adalah dasar yang lebih kokoh,
fundamental, historis, dan primordial ketimbang ikatan-ikatan dalam kata sifat
lainnya. Kita mengetahui dengan baik bagaimana sejarah masyarakat dan bangsa di
dunia ini ternyata begitu rapuh dan mudah putus hanya karena tidak kuat
ditopang oleh tautan kebudayaan itu.
Ikatan integratif kebudayaan sudah menjadi sebuah
keniscayaan bagi suku-suku bangsa yang ada di kepulauan yang indah ini. Dari
mana dan bagaimana ikatan ini terbentuk melebihi ikatan-ikatan lain bahkan
termasuk ikatan yang nasionalistik? Tidak lain ia tercipta dari realitas
arkeologis dan primordial dari suku-suku bangsa itu sendiri.
Itulah realitas dari peradaban maritim. Sebuah
peradaban yang karena faktor-faktor geografis, demografis, dan faktor natural
lainnya membuat suku-suku bangsa itu menjalin hubungan yang
mutualistik–interdependensial bahkan sejak awal terbentuknya suku-suku bangsa
di Nusantara ini, ribuan tahun sebelum Masehi.
Identitas
Adab Maritim
Bentuk hubungan itu meniscayakan sifat utama dari
peradaban maritim, yakni keterbukaan, egaliterianisme, kebebasan fakultatif,
dan proses akulturasi yang luwes serta dinamis sebagai bahan dasar terbentuknya
masyarakat atau bangsa yang plural serta multikultural.
Maka sesungguhnya bila realitas arkeologis dan
primordial di atas kita pahami dan jalani secara teguh dan intens, maka problem
yang menciptakan konflik abadi di negara-negara dengan peradaban
kontinental—seperti masalah multikulturalisme yang masih menjadi beban bagi
sebagian besar bangsa dan negara-negara Eropa—seharusnya tidak terjadi di
negeri ini.
Semua adat dan tradisi di negeri ini—betapa pun
beraneka rupa dan bangsa lain masih kesulitan untuk membaca atau
memahaminya—memiliki satu identitas kultural yang sama yang kemudian melahirkan
sifat-sifat peradaban.
Identitas kultural yang sama itu bermula dari cara
manusia Indonesia melihat realitas dirinya sendiri (aku) dan akhirnya melihat
diri orang lain (kamu); diri sebagai sebuah kelompok (komunitas) hingga diri
sebagai sebuah bangsa.
Pemahaman—yang dalam pengertian tertentu adalah
sebuah filosofi—itu terekspresikan oleh semua adat dan tradisi sebagai
peng-aku-an yang identik secara eksistensial dengan orang lain (peng-kamu-an).
Artinya, secara primordial kita adalah manusia
yang sangat sadar dan mengakui bahwa “aku ada karena kamu ada”. Aku, sebagai
pribadi, komunitas atau bangsa “ada” karena adanya kamu. Inilah dasar integrasi
paling asal (primordial) dari bangsa Indonesia. Realitas eksistensial yang
kemudian menciptakan kesatuan sosial, naluri bermasyarakat atau insting
kegotongroyongan di antara rakyat negeri ini.
Karakteristik itulah yang membuat tidak ada etnik
atau suku bangsa mana pun di negeri ini yang bisa mengklaim dirinya sebagai suatu
identitas yang unik atau orisinal. Karena ternyata kita semua, entah orang
Banjar, Bali, Sunda, Batak, Jawa, atau Ternate dan Papua itu dibentuk oleh
sebuah pergaulan yang dilandasi oleh praksis kebudayaan di atas.
Praksis kebudayaan yang sebenarnya juga
meniscayakan bangsa kita menjadi bangsa yang demokratis secara substansial.
Memberi kita semua sebuah perasaan yang mengikat secara kuat bahwa kita adalah
bangsa besar, di dalam keanekarupaan atau kebinekaan etnik, tradisi dan
adatnya.
Ikatan yang tidak terlalu kita sadari hingga saat
ini, menjadi faktor utama dalam melahirkan sebuah bangsa bernama Indonesia.
Maka cobalah periksa sejarah perjuangan republik modern bangsa ini, yang pada
mulanya diisi oleh tokoh-tokoh yang masih sangat kental kesadaran etniknya
(katakanlah dengan munculnya berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Java,
Jong Sumatera, Jong Celebes, dll), tapi ternyata mereka berhasil mengatasi
sentimen lokalnya dengan mengutamakan sentimen yang lebih kuat: sentimen
kesatuan, sentimen kebangsaan.
Mungkin ada benarnya ketika sentimen itu
diformulasi dalam pengertian atau terminologi politik sebagai nasionalisme.
Namun pengertian yang sangat muda itu tidaklah
didasari oleh satu spirit yang jauh lebih kuat, luhur, dan primordial, yaitu
spirit kemasyarakatan atau kesatuan yang sudah tertanam sekian masa dalam
insting dan naluri kebudayaan kita. Insting dan naluri yang telah terbukti
tetap mempertahankan rakyat kita menjadi satu bangsa, betapa pun pada saat yang
sama rakyat itu mengalami ketertindasan secara ekonomi, militer, agama, hingga
politik.
Akar
Krisis Bangsa
Saya kira inilah argumen utama dan pertama saya
untuk menjelaskan akar muasal dari persoalan-persoalan kritis negeri. Bahkan
bisa jadi ini adalah kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Asal muasal dari persoalan itu sebenarnya tidak
lain dari sebuah keadaan baru (modern) yang membuat sebagian dari kita terpaksa
atau tidak, sadar atau tidak, telah mengkhianati bahkan melawan eksistensi kita
(sebagai manusia, suku dan bangsa). Keadaan baru/modern itu tentu saja, kita
tahu, berawal dari masa kolonialistik di waktu lalu.
Masa yang secara kultural menjadi proses pertemuan
kebudayaan atau akulturasi yang sesungguhnya secara alamiah sudah menjadi
karakter pergaulan dari bangsa ini dalam menerima keberadaan dan keikutsertaan
budaya-budaya lain dalam proses pengembangan dirinya.
Namun di masa kekuasaan kolonialistik terjadi
pergaulan kebudayaan yang sangat tidak sehat bahkan jahat, ketika kebudayaan
asing dibawa oleh pemerintah kolonial bersama sekutunya dengan represif
menciptakan dominasi sampai memusnahkan adat setempat.
Pola penaklukan kolonialis yang sebelumnya
termaktub dalam slogan “gold, gospel, and glory” sebagai dasar moral gerak
penjelajahan dan penaklukan bangsa Eropa terhadap bangsa non-Eropa, yang
kemudian berkembang menjadi lebih filosofis, politis, dan akhirnya menjadi
penaklukan kultural.
Radhar
Panca Dahana
Budayawan
SINAR
HARAPAN, 18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi