Telah lama sekolah di Indonesia
bukan lagi rumah kedua yang nyaman bagi siswa. Siswa dibebani mata pelajaran
titipan yang menjemukan. Ujian nasional tak menghargai pengembangan proses
kreatif siswa, bahkan memicu modus kecurangan baru. Banyak sekolah di daerah
krisis guru dan fasilitas. Guru tak profesional pun dipertahankan. Harapan
sederhana orangtua agar sekolah mencerdaskan anak tak digubris.
Kambing
Hitam Kurikulum
Negara belum berhenti menjadikan
siswa sebagai obyek politik pendidikan. Sebelum evaluasi menyeluruh, tiba-tiba
kurikulum lama dianggap gagal membentuk insan berakhlak mulia. Mengurangi
jumlah mata pelajaran memang langkah yang patut diapresiasi dan sudah lama
dikritik, tetapi revisi itu lebih mengikuti selera penguasa sebagai garda
negara moralis, bukan kepentingan siswa sebagai generasi masa depan bangsa.
Bahasa Inggris dihapus dalam kurikulum wajib sekolah dasar. Suka atau tidak,
ruang publik kita disesaki bahasa asing itu. Materi pengetahuan melimpah di
dunia maya dan siap diakses. Bahasa Inggris bukan hanya pintu masuk dunia
pengetahuan yang kini nyaris tanpa batas, melainkan juga isi gagasan. Mendesak
sekali perkenalan dengan bahasa itu sejak dini. Itu tak menghambat penguasaan
bahasa Indonesia yang baik, apalagi daya serap otak siswa seperti karet busa
kering yang cepat menyerap air.
Tugas pemerintahlah menghadirkan
guru bahasa Inggris yang mengajar secara kreatif dan menarik, seperti dilakukan
dalam berbagai kursus bahasa di Tanah Air. Bahasa sebenarnya lebih efektif saat
dikaitkan dengan percakapan, seperti bahasa dalam bahasa Jerman (Sprache)
terkait berbicara (sprechen). Beberapa pesantren modern menjadikan satu hari
dalam seminggu untuk memaksa komunitasnya berbahasa Inggris.
Pancasila yang sempat dikeluarkan
kini hendak dimasukkan lagi sebagai mata pelajaran tersendiri. Memang penting
siswa memahami ideologi negara. Namun, ketakmampuan penyelenggara negara
mewujudkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pangkal pudarnya
penghayatan Pancasila. Moralitas bangsa dirusak ulah elite politik dan
penyelenggara negara korup, ditambah toleransi negara untuk pelbagai kerusakan
itu.
Berpaling ke mata pelajaran agama
bukan solusi. Sungguh tak tepat sekolah negeri justru membangun fanatisme suatu
agama dan membuat siswa agama lain enggan memasuki sekolah yang seharusnya jadi
tempat bercampurnya siswa dengan berbagai keyakinan. Idealnya, pelajaran agama
di sekolah negeri bersifat lintas agama dan ramah terhadap semua kepercayaan.
Generasi masa depan berkualitas merupakan buah pendidikan berkualitas berbasis
sekolah umum. Sekolah umum bukan tempat mempelajari keterampilan kerja
betapapun pentingnya (bukan sekolah kejuruan), bukan tempat perdalam ilmu agama
betapapun luhurnya (bukan sekolah agama), juga bukan tempat indoktrinasi
ideologi negara betapapun mulianya (bukan sekolah ideologi).
Sekolah
Umum
Sekolah tempat mempelajari
pengetahuan universal sebagai bagian pengalaman hidup banyak orang. Melampaui
keterbatasan usia, pengalaman, dan lokasinya, siswa di bawah bimbingan guru
menjelajah dunia kebendaan (fisika, biologi, geografi), dunia manusia (budaya
lokal, kewargaan, ideologi negara), dan dunia abstrak (matematika, bahasa).
Semua itu dikemas ringan dalam proses pembelajaran yang bersahabat dengan dunia
anak. Sekolah adalah tempat yang seharusnya budi pekerti siswa menjadi
tercerahkan. Sekolah adalah sebuah warisan intelektual peradaban Barat yang
lebih dulu mengenal demokratisasi pengetahuan. Istilah ”sekolah” tak hanya
berarti tempat belajar, tetapi kata Latin schola atau Yunani schole juga
berarti waktu luang. Kegiatan dalam waktu luang tak wajib dan dikerjakan dengan
senang, untuk memperkaya hidup dan pengalaman.
Dalam cara pikir orang Yunani kuno,
belajar hal-hal mendalam terpisah dari kegiatan memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Orang harus membereskan dulu kebutuhan dasar hidupnya. Demikian
ungkapan Latin primum vivere, deinde philosophari, hidup dulu, barulah berfilsafat.
Sekolah adalah ruang olah nalar dan hidup siswa. Dalam lukisan ”Sekolah Atena”
karya Raphael, seniman Renaisans, jari telunjuk Plato digambarkan menunjuk ke
atas (dunia abstrak) dan tangan Aristoteles mengarah ke bawah (dunia konkret).
Sekolah Plato (academia) mengajarkan gagasan kesempurnaan penghuni dunia sana
dan semua yang baik di dunia ini hanya tiruan tak sempurna. Mengajar untuk tahu
adalah membidani kesadaran tentang kebenaran dalam diri seseorang, seperti
bidan yang membantu ibu melahirkan. Demikian metode Sokratik atau maieutik.
Sekolah Aristoteles (lyceum)
mengajarkan yang sempurna tersua di dunia ini menyatu dengan benda konkret.
Kendati bertolak belakang dalam mendefinisikan apa yang nyata, kedua filsuf ini
besar dengan cara masing-masing. Keduanya mencerahkan peradaban Barat,
teristimewa Aristoteles untuk dunia Arab semasa Abad Pertengahan. Mereka
mewariskan kesadaran yang jadi basis perkembangan sains modern terkait
kemampuan rasio (alam dapat diselidiki) dan tanggung jawab manusia (alam harus
diselidiki).
Belajar adalah bagian dari tanggung
jawab manusia sebagai makhluk rasional. Jika proses belajar itu benar, akhlak
siswa dengan sendirinya terbentuk. Belajar menuntut kesediaan untuk belajar
dari kesalahan, belajar disiplin dalam berlogika dan menerapkan rumus (melawan
mentalitas ”yang penting hasilnya”), dan belajar tekun (melawan budaya instan).
Budaya nyontek dan plagiarisme menjadi aneh dalam kultur belajar yang sehat.
Menuntut ilmu setinggi-tingginya
tak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat kemuliaan akhlak. Keserakahan dan
hawa nafsu yang tak terkendali adalah sumber kerusakan moralitas bangsa. Namun,
penentu kemajuan bangsa dalam jangka panjang adalah tradisi pendidikan yang
kuat.
Indonesia harus mempersiapkan
generasi masa depan berkualitas untuk menyongsong era pasar bebas tenaga kerja
yang kian kompetitif di lingkungan Komunitas ASEAN mulai 2015. Jangan sampai
untuk posisi resepsionis pun orang kita kalah dari tenaga kerja asing hanya
karena soal kemampuan berbahasa Inggris.
Daripada tergesa-gesa menerapkan
kurikulum 2013, kualitas guru untuk mendampingi siswa belajar harus dapat
prioritas. Pemerintah belum melakukan pendidikan berkelanjutan untuk guru yang
umumnya berkemampuan mengajar pas-pasan. Sertifikasi guru baru memotivasi guru
mendapat tambahan penghasilan dan memotivasi kaum muda memilih profesi
keguruan. Tersebar kabar 50 persen guru Matematika SD di Sulawesi Utara tak
paham berhitung. Kemampuan siswa kelas VIII dalam Matematika dan Sains menurut
survei internasional 2011 menurun, bahkan berperingkat di bawah Palestina.
Lalu, Kurikulum 2013 hendak menggabungkan pengetahuan sosial dan pengetahuan
alam ke pelajaran bahasa Indonesia. Kembalikanlah sekolah sebagai rumah masa
depan anak dan bangsa!
Yonky
Karman ;
Pengajar
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 15
Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi