KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan
rintisan sekolah bertaraf inter nasional (RSBI) karena dinilai inkonstitusional
sesungguhnya sangat membantu memperbaiki visi mutu pendidikan berbangsa. Itu
sekaligus menjadi momentum untuk melihat pendidikan secara jauh lebih
makroskopis. Di satu pihak, ada dorongan masyarakat yang mempersyaratkan adanya
pendidikan bermutu.
Namun, di lain pihak, masyarakat tidak sepenuhnya
meyakini jaminan mengenai cara yang sepatutnya ditempuh untuk memperoleh mutu
yang diinginkan. Sekolah berlabel internasional dan bertarif lebih tinggi
daripada sekolah biasa ialah salah satu indikator umum yang cenderung
menjadikan sekolah itu, bagi anggota masyarakat tertentu, seolah-olah lebih
bermutu. Tidak semestinya begitu! Namun, para pejabat dan orangtua tertentu
umumnya tidak sadar bahwa karakteristik itu, an sich, bukanlah indikator mutu
yang sebenarnya mereka cari.
Tentu, kita patut merasa bahagia ketika mengetahui
bangsa Indonesia sudah dimotivasi keinginan untuk memperoleh pendidikan
bermutu. Kita tahu bangsa ini, selama dijajah berabad-abad lamanya, tidak
pernah mempersoalkan mutu pendidikan seperti yang sekarang dipertikaikan.
Selama itu yang dibincangkan ialah pendidikan yang apa adanya.
Sekarang, kita berhadapan dengan masyarakat yang mulai
menuntut bahkan mempersyaratkan adanya mutu, apa pun standar yang mereka
gunakan sebagai penentuan dan ukuran mutu. Dengan kata lain, ada kecenderungan
di dalam masyarakat bahwa mutu pendidikan dipertengkarkan sebagai isu praktis,
tanpa kejelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud.
Masyarakat saat ini perlu mengetahui bahwa mutu yang
dituntut itu bukanlah sesuatu yang fixed, formal, dan otomatis. Mutu pendidikan
merupakan konsep yang sangat dinamis, berkembang melalui sesuatu yang
berproses, senantiasa hidup, serta penuh dengan berbagai rangsangan dan
perubahan.
Banyak persoalan jauh lebih urgen dan memerlukan
pertimbangan lebih serius demi bangsa. Terlebih bila dibandingkan dengan
percekcokan yang tidak menentu dan tidak bermakna tentang siapakah dan
mengapakah ada anak bangsa yang terhitung sebagai anak didik atau murid sekolah
internasional, termasuk mengapa ada anak bangsa lainnya yang harus hidup dalam
sistem (?) yang tampaknya berbeda karena pengaruh visi masa lalu yang belum
terkoreksi sepenuhnya. Sesuai dengan pascakeputusan MK pun, bukan mustahil dan
pada saat-saat tertentu, masih akan timbul berbagai bentuk `pembenaran' dengan
berbagai ar gumentasi `keunggulan', yang masih di pertahankan demi mutu (yang
juga tidak jelas) melalui berbagai terminologi yang sebenarnya hanya menjebak!
Ukuran
Urgensi
Yang lebih esensial untuk dipersoalkan bukanlah apa
sebaiknya nama sekolahnya yang seksi. Atau, berapa harga yang harus dibayarkan
orangtua supaya masih terjangkau. Kemudian dari negara mana gurunya harus
didatangkan supaya masuk akal. Apa lagi kurikulum nya yang menarik agar
kedengaran seperti datang dari angkasa luar!
Hal seperti itu tidak pernah perlu dibincang kan
karena tidak pernah berguna. Lagi pula isu semacam itu tidak kena-mengena
dengan persoalan mutu pendidikan berbangsa, yang justru merupakan urgensi yang
aktual dan serius.
Sekolah yang bermutu mengutamakan pen didikan yang
mencerdaskan dan memberani kan anak bangsa untuk berpikir, bukan sekadar
menghasilkan generasi bangsa yang fasih menghafal melalui berbagai latihan dan
ujian hafalan, apa pun namanya. Dengan menggunakan sekolah sebagai ukuran
keberhasilan, tidak berarti bahwa kita semua sudah bangga karena bisa
mempertontonkan Indonesia sebagai bangsa penghafal melalui berbagai ujian
hafalan, yakni ujian yang lebih sering disebut secara menakutkan dan
menyeramkan sebagai ujian nasional.
Kita biasanya sudah menganggap pencapaian cukup baik
apabila anak bangsa menjadikan bangsa yang tersekolah. Anak-anak kita diamati
dan diawasi agar mereka diyakini masuk sekolah. Akan tetapi, kita sebenarnya
tidak mengetahui apa yang terjadi sesudahnya dan selebihnya. Kita sudah senang
apabila anak kita sudah masuk sekolah yang megah. Sebenarnya harus jauh lebih
dari tujuan itu. Hendaknya yang menjadi tujuan utama ialah anak kita tumbuh
sebagai anak yang terdidik, bukan sekadar sebagai anak yang tersekolah.
Bertentangan
Yang kurang disadari, bahkan yang termasuk kurang
dipertimbangkan para perumus kebijakan pendidikan nasional pun, ialah sekolah
internasional yang kita banggakan atau sekolah mana pun yang kita jadikan
sebagai model sebenarnya tetap mengandung berbagai kelemahan internal, yang
berarti tidak tanpa cacat.
Secara filosofis, yang sangat menonjol ialah penilaian
yang negatif dan bahkan bertentangan mengenai kedudukan sekolah internasional
yang diusulkan pemerintah sendiri, ditinjau dari amanah UUD 1945.
Sekolah yang semula diterima dengan tangan terbuka
sebagai pintu kemajuan dan perkembangan demokrasi kini secara politis mulai
dikecam sebagai perpanjangan kepentingan globalisasi, komersialisasi, dan
sejenisnya.
Makin banyak pula pengamat mengemukakan berbagai
kelemahan yang terkait dengan persepsi salah mengenai perpanjangan kekuasaan, kedudukan
sosial. Di antara kritik yang cukup keras mengenai peran pendidikan misalnya
timbulnya saran untuk menyelamatkan masyarakat dari pengaruh detrimental dari
sekolah yang salah jadi.
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan
sekomprehensif mungkin mengenai masa depan bangsa, dan dengan menyimpulkan apa
yang patut menjadi konsiderans mutu untuk masa ini, tanpa putusan MK pun RSBI
dinilai bertentangan dengan undang-undang.
Sudah jelas bahwa yang menjadi urgensi pendidikan
berbangsa dewasa ini sama sekali bukanlah alternatif pendidikan internasional
versus pendidikan nasional. Gagasan untuk menumbuhkan pendidikan internasional, di
samping tetap adanya pendidikan nasional, memang sama sekali tidak berdasar.
Malangnya, gagasan liar itulah yang telah menimbulkan air liur di kalangan
mereka yang sudah telanjur percaya akan superioritas mutu RSBI versus sekolah
nasional yang `tradisional'.
Apa yang salah mengenai sekolah `tradisional'
tersebut? Salahkah bila mutu pendidikan berbangsa dimulai dari situ? Mengapa
mutu sistem nasional tersebut harus ditingkatkan melalui barang baru dengan apa
yang disebut internasional?
Apakah barang baru itu merupakan sistem tersendiri
atau bagian dari sistem yang sudah ada?
Pertanyaan serupa sebenarnya menjadi tidak relevan
bila asumsinya sudah jelas. Namun sekarang, pertanyaan serupa itu bisa menjadi urgen
karena asumsinya masih kacau-balau. Pemerintah pun tidak memiliki konsiderans
mutu yang jelas dan mampu diterapkan dalam konteks berbangsa.
Yang diperlukan sekarang bukanlah apakah anak bangsa
tercatat sebagai murid sekolah nasional ataukah murid sekolah internasional.
Yang jauh lebih utama yaitu apakah anak bangsa sekarang ini tersekolah atau
terdidik. Yang dibutuhkan ialah bagaimana peristiwa pembelajaran ternyata mampu
mengantar anak bangsa menjadi bangsa yang cerdas.
Yang penting ialah apakah anak bangsa memiliki jati
diri dan heroisme keindonesiaan. Dari satu bangsa yang hari ini berkembang
sekitar 240 juta jiwa, yang tetap berpulau-pulau sekitar 1.750 buah, dan dengan
konsep pemekaran para pengelola sekitar 600 daerah otonom, yang urgen ialah penerapan
amanah konstitusi tentang pendidikan berbangsa.
Winarno
Surakhmad ;
Pengamat
Pendidikan
MEDIA
INDONESIA, 14 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi