MEMASUKI 20132013, masa depan toleransi di Indonesia
tampaknya masih jauh dari kesempurnaan. Prediksi itu tak lepas dari
meningkatnya aksi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dari tahun ke
tahun. Dalam catatan akhir 2012 yang dikeluarkan Setara Institute, selama kurun
waktu 2012 tercatat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut meningkat
jika dibandingkan dengan 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299 tindakan.
Yang lebih mencemaskan, temuan itu hanyalah sampel
riset yang ditemukan di 13 provinsi. Data tersebut secara eksplisit menunjukkan
kehidupan toleransi beragama di negeri ini belum terbangun dengan baik.
Cita-cita harmoni hubungan intra ataupun antaragama/iman yang mensyaratkan sikap
saling menghargai masih menemui hambatan rumit. Lingkungan masyarakat belum
steril dari virus konflik yang dilandasi perbedaan pemahaman, termasuk
penggunaan cara-cara kekerasan fisik.
Sikap intoleran itu bisa dilihat dari persekusi massal
yang tiada henti terhadap kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan yang
dianggap `sesat'.
Kasus itu bisa
dirujuk dari penyerangan dan perusakan massa terhadap pengikut Syiah di
Sampang, Madura, Jawa Timur (26/8/2012). Aksi serupa di tempat yang sama juga
terjadi pada akhir Desember 2011, ketika massa menyerang dan membakar rumah
pimpinan Syiah, musala, dan madrasah.
Padahal, sebelum kasus tersebut, beragam kekerasan
juga telah menimpa jemaat Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, Gereja HKBP Filadelfia
Bekasi, dan lain-lain.
Fakta itu menandakan identifikasi diri dan kelompok
pada agama masih mendominasi cara beragama, dengan memandang yang `berbeda'
sebagai lawan. Di dalamnya terjadi kekakuan identitas komunal-parokial yang
memercayai keimanannya yang terautentik dan tersuper, serta memandang lainnya
rendah dan tidak murni. Tak pelak, perilaku standar ganda (double standard)
dengan menganggap diri dan kelompoknya paling benar (truth claim) dan pihak
lainnya sesat (dlalalah) mengemuka ke praktik kehidupan.
Keberagamaan yang tidak menjunjung nilai kemajemukan
tentu tidaklah connect dengan realitas keindonesiaan yang tercipta sebagai
tempat `pertemuan' berbagai agama/aliran.
Pendidikan
Toleransi
Kemajemukan ternyata fakta yang eksis sejak dahulu dan
tidak mungkin dapat dihindarkan yang menyusup dan menyangkut dalam setiap dan
seluruh ruang kehidupan, termasuk dalam persoalan agama dan iman. Adalah
sunatullah yang aksiomatis bahwa prakpraktik agama memang beragam dan umatnya
masing-masing berbeda pula.
Dengan melihat potret buram masa depan toleransi
tersebut, tak ayal pendidikan toleransi harus digalakkan sejak dini. Realitas
masyarakat menunjukkan adanya pluralitas etnik, kultur, dan agama, yang hingga
kini harus diakui masih menjadi problem yang cukup pelik. Karena itu, penanaman
nilai-nilai toleransi terhadap perbedaan dalam diri peserta didik jelas
merupakan investasi jangka panjang yang harus digalakkan. Diharapkan, mereka
kelak dapat memiliki kultur untuk dapat hidup secara harmonis dalam komunitas
yang majemuk.
Lebih dari itu, sikap intoleran yang meningkat dalam
era kekinian merupakan `kegagalan' pendidikan dalam menciptakan masyarakat yang
sadar akan nilai-nilai multis kulturalisme. Perbedaan dan kekayaan seharusnya
dapat didayagunakan bagi kemajuan masyarakat, bukan malah menjadi pemicu
maraknya berbagai konflik. Pengetahuan terhadap yang lain harus dibangun EB
bukan berdasar ste reotip karena ia hanya akan berakibat pada suburnya
pemahaman yang cenderung demonologis dengan mencitrakan pihak `lain' sebagai
kelompok yang tidak beradab.
Di sinilah perlunya mengembalikan pendidikan sebagai
media transformasi multikul turalisme, yang di dalamnya mengajarkan
pengapresiasian terhadap keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan. Sudah
seharusnya pendidikan yang mengajarkan kesejajaran dan kesederajatan kebudayaan
mulai diimplementasikan di Indonesia. Meski bangsa ini mengakui keragaman
secara formal, dalam realitasnya itu tidak pernah terimplementasikan secara
elegan.
Pemupukan kesadaran keagamaan yang mengedepankan
semangat saling menghargai melalui pendidikan menjadi kata kunci yang cukup
relevan untuk menghindarkan tensi kekerasan. Dengan pembelajaran sejak dini,
setiap pemeluk agama dituntut untuk `belajar' memahami relung-relung paham
keberagamaan lain sehingga terbuka kesempatan untuk lebih memahami dan
menumbuhkan sikap yang toleran. Toleransi bukanlah sikap yang akan menipiskan
keberagamaan seseorang, pindah agama atau hegemoni kultural, melainkan hanya
menumbuhkan sikap saling memahami dan menghargai.
Hargai
Perbedaan
Dalam agama Islam, misalnya, penghargaan terhadap
perbedaan merupakan salah satu ajaran terpenting. Terbukti, beberapa doktrinnya
memberi kebebasan manusia untuk memilih agama, bahkan tidak beriman sama sekali
(QS Al Kahfi {18}: 29 dan QS Al Baqarah {2}: 256). Kendati Islam merupakan
agama yang diyakini paling benar (QS Ali Imran {2}: 18 dan 85), eksistensi
agama-agama lain juga tidak dinafikan, bahkan kebenarannya diakui (QS Al
Baqarah {2}: 62). Dalam ayat lain juga ditegaskan larangan bagi umat Islam
untuk mencela berhala sembahan orang musyrik (QS Al An'am {6}: 109), serta
perintah untuk menghormati tempat ibadah umat lain (QS Al Hajj {22}: 40).
Lembaga pendidikan, dengan demikian, menjadi `ruang
strategis' untuk membentuk mental atau menumbuhkan watak keragaman yang kuat.
Institusi merupakan bagian dari ruang publik yang
tentunya harus didorong menjadi tempat persemaian nilai-nilai yang menghargai
keragaman. Pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk mewu judkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar siswa mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan.
Dalam menyikapi perbedaan (paham) agama, tampaknya
cukup ideal jika umat beragama mengimplementasikan a passion for truth sebagai
upaya menegakkan kehidupan yang harmoni (Hans Kung: 1987). Seseorang harus
memandang eksistensi berbagai agama (sekte) dengan menggunakan dua sudut
pandang, dari luar dan dalam agama (sekte) yang dianutnya.
Pandangan dari luar yaitu pengakuan bahwa semua agama
(sekte) mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan (salvation) dengan konsep dan
jalan yang beragam. Dari dalam, meyakini apa yang dipeluknya sebagai jalan
paling benar dan kemutlakan iman. Namun, pendirian itu tidak serta-merta harus
menolak `kebenaran' yang diyakini orang lain, apalagi menghancurkan dan
memeranginya.
Baik secara doktrin maupun fakta sosial, sikap yang
terbaik untuk dikembangkan dalam menyikapi perbedaan ialah saling menghormati
dengan mengusung spirit bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement).
Keragaman sesungguhnya ujian bagi tiap kelompok berlomba-lomba menjadi umat
terbaik dalam memberikan manfaat bagi kehidupan umat. Lebih dari itu, berbeda
itu tidak sama dengan bertentangan. Jadi, kita seharusnya menghindari pola
pikir in group-out group, minna-minkum, kami-kamu, dan benar-salah.
Dengan demikian, lingkungan sekolah harus mampu
menghadirkan model pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap saling menghargai
dan menghormati perbedaan. Pendidikan toleransi di sekolah tentu saja tidak
bisa berdiri sendiri. Ia juga harus mendapatkan dukungan dari keluarga dan
lingkungan peserta didik dalam bersosialisasi. Keluarga harus mampu mengenalkan
fakta keragaman agama, ras, suku, dan golongan, yang semuanya harus disikapi
dengan penghormatan. Tak terkecuali, lingkungan masyarakat juga mensyaratkan
keteladanan para tokohnya yang mengajak dan terus berupaya menciptakan sistem
kehidupan yang rukun dalam perbedaan.
Terlepas dari sikap seseorang `bersepakat' atau tidak
terhadap satu agama, ras, suku, dan golongan tertentu, gerakan apresiasi
terhadap yang `lain' mutlak diimplementasikan. Kurangnya toleransi dalam ranah
sosial akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup antarsesama karena akan
menimbulkan sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang sudah didesain
Tuhan seharusnya dibarengi dengan sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi
pluralitas atas prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Allah a'lam bi
al-shawab.
Muh Kholid
AS ;
Aktivis
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,
Alumnus
Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki
MEDIA
INDONESIA, 14 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi