Strategi
Membangun PNS ala Jepang
KASUS tertangkapnya Kepala Kantor Pajak Kota Bogor
berinisial SA, 44, karena menerima sogok Rp300 juta dari PT Gunung Emas Abadi
kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Kasus yang amat memalukan itu sekaligus mengamini tesis yang
menyebutkan birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor karena
menjadi tradisi birokrat membisniskan kerja kantor dan menjualbelikan jasa
kewenangan untuk kepentingan diri di bawah naungan simbol negara.
Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat
terpuruk. Kita lihat, misalnya, berdasarkan nilai indeks angka korupsi dalam
birokrasi Indonesia seperti hasil riset Transparansi Internasional (TI) yang
berpusat di Berlin, Jerman, menyebutkan birokrat Indonesia terus mempertahankan
juara korupsi selama 10 tahun terakhir. (Detiknews.com, 14/7).
Hasil kajian TI yang di Indonesia di bawah
kepemimpinan Todung Mulya Lubis itu hingga kini masih ditanggapi dingin
pemerintah Indonesia karena menganggap tudingan miring itu bukan kali pertama
terjadi.
Pemerintah, seperti disampaikan Wamenkum dan HAM
Denny Indrayana, selama dua tahun terakhir (sejak 2010) setidaknya telah
menerima 18 kali hasil riset dari berbagai pihak, baik dalam maupun asing,
tentang kerusakan sistem birokrasi pemerintahan Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana membangun strategi jitu
memberdayakan birokrasi nasional sehingga mempercepat kemajuan dan modernisasi
tata kelola pemerintahan menuju good and clean corporate governance?
Praktik
ala Jepang
Setelah mencermati maraknya perilaku birokrat dan
apatur demikian, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah lama berupaya untuk
melakukan ‘perlawanan’. Sayangnya perlawanan yang muncul masih bersifat
sporadis, tebang pilih, dan bahkan berjalan ala kadarnya. Memang benar, aparat
dan lembaga hukum sebagai mata rantai dari upaya penegakan hukum telah banyak
dilakukan berbagai pihak(…?). Namun, semua itu masih bersifat individual, belum
menyentuh kepada pembangunan sistem yang permanen dan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi
pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi
membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri
Matahari Terbit’ itu sejak 1978.
Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang
amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik
Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan
penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta
jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja
dan kinerja pegawai pemerintah.
TI pernah membandingkan beberapa negara Asia dan
Eropa terkait dengan level ‘kebersihan’ mental pegawai pemerintah Jepang.
Ternyata pegawai/aparatur Jepang menduduki peringkat pertama dari 15 negara
maju dalam hal kebersihan mental dan perilaku pegawai pemerintahan.
Pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University
Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials
(1998) menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun
karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke
generasi.
Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya
sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah
revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara
lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan
sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi
pegawai/aparatur.
Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan
disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.
Salah satu sumpah dan janji khas Jepang yang amat menarik ialah kemauan PNS
Jepang secara sukarela melepaskan jabatan/kerja ketika ada satu pihak merasa
dirugikan, dicemarkan, atau dipersalahkan jauh sebelum sanksi sosial dan hukum
resmi negara melakukan eksekusi sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Janji dan sumpah itu akan terus dicatat dan
dideteksi secara berkelanjutan oleh lembaga negara yang hadir mulai tingkat
desa/kecamatan (chi, ken) hingga ke tingkat provinsi/negara (prefecture).
Begitu juga aparatur dan lembaga hukum yang diberi
kewenangan harus menindak dan memberikan kabar ke mana, bagaimana, dan atas
dasar apa sebuah putusan dilakukan di hadapan mahkamah rakyat yang ada di
tingkat kabupaten (ken), demikian seterusya.
Aparat hukum yang melanggar tak hanya akan
‘diadili’ dengan sanksi sosial yang keras, tetapi juga bisa mendapatkan sanksi
10 kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan pegawai/warga biasa. Kenapa?
Karena kesalahan yang dilakukan aparat yang paham hukum berdampak amat luas
sehingga perlu dihukum lebih berat. Dengan cara demikian, belum sampai pada
tindakan dan perilaku, pegawai negeri di Jepang amat santun dan jujur-bersih
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan konsumen layanan publik
lainnya. Wajar apabila sering kita jumpai, tokoh dan aparatur pegawai di Jepang
sudah mengundurkan diri dari jabat annya jauh sebelum vonis hukum dieksekusi.
Itulah tradisi yang terus dikembangterapkan Jepang dalam membangun ‘mental
bersih’ PNS.
Kedua, membatasi aktivitas pegawai negeri Jepang
untuk berbisnis murni atau membisniskan kerja negara. Pemerintah sudah lama
melarang pegawai negeri menjalankan atau berafi liasi dengan pihak
bisnis/investor baik berafiliasi atas nama usaha/bisnis diri sendiri, keluarga,
ataupun handai tolan hingga level ketiga (tidak boleh istri, anak, dan/atau
anggota keluarga dari keturunan suami/istri) menjalankan bisnis murni layaknya
pihak swasta.
Bisnis
Berbagai Bidang
Langkah itu dilakukan lantaran Jepang merupakan
negara industri terbesar di dunia. World Bank (2011) mencatat 90% aktivitas
rakyat Jepang sebagai yang tersibuk berbisnis di seluruh dunia. Ada 2.912 jenis
merek berbagai bidang yang menjadi ‘milik Jepang’ (intellectual right) sehingga
bisa disebut hampir semua warga Jepang menjalankan bisnis di berbagai bidang.
Atas dasar lanskap sosial demikian, Jepang
mengatur bagaimana dan atas dasar apa PNS berbisnis dan sanksi hukum negara
yang amat keras akan dilakukan ketika PNS berbisnis murni, apalagi membisniskan
kerja dan kekuasaan/kewenangannya.
Langkah demikian terbukti efektif, eļ¬sien, dan
produktif berjalan-berkembang dalam birokrasi di Jepang dan kini model demikian
sudah mulai banyak ditirukembangkan di China dan Korea Selatan.
Nah, Indonesia kini sudah memiliki aneka regulasi
di berbagai bidang. Juga sudah memiliki aparat dan lembaga terkait untuk
mengendalikan perilaku dan sikap aparaturnya. Hanya yang belum dilakukan ialah
pelaksanaannya di lapangan oleh lembaga terkait dan aparatur/PNS itu sendiri
yang masih belum sepenuhnya dihayati, diamalkan, dan disebarluaskan dari, oleh,
dan untuk para aparatur pemerintahan.
Pemerintah Indonesia harus benar-benar berani
melaksanakan apa yang sudah diatur dalam regulasinya sendiri. Tentu dengan
pengawasan, pengendalian, dan pemantauan ketat dari semua komponen bangsa ini!
Tasroh
Alumnus
Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
MEDIA
INDONESIA, 18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi