Kebebasan
Akademik Akan Mati?
RUU Pendidikan Tinggi terus menuai kontroversi.
Salah satu isu paling kontroversial dalam pembahasan RUU ini terkait otonomi
perguruan tinggi.
Ada dua butir otonomi yang perlu dicermati:
akademik dan non-akademik. Sebagian pihak percaya, otonomi non-akademik akan
sangat berpengaruh pada otonomi akademik.
Artinya, jika peran negara dikurangi dalam
pengelolaan kampus, otonomi akademik akan menjadi baik. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari fakta banyaknya pasal yang menyebutkan pengaturan lebih lanjut
diatur oleh peraturan menteri akan melanggar kebebasan akademik.
Benarkah demikian? Benarkah kebebasan akademik
akan mati dalam universitas yang pengelolaannya ”tidak otonom”?
Sudah
Diatur
Dalam melihat suatu kebijakan tentu kita tidak
bisa melihat satu produk UU saja. Dengan demikian, kajian atas kebebasan
akademik tidak dapat dilakukan hanya dengan membaca RUU Pendidikan Tinggi ini.
Pengaturan dan perlindungan kebebasan akademik juga diatur dalam dua UU bidang
pendidikan.
Pertama, pengaturan itu tentunya pada UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 24 Ayat (1)
disebutkan: dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pada perguruan tinggi (PT) berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik serta otonomi keilmuan.
Pasal ini hanya menyebutkan kebebasan akademik
berlaku di setiap PT yang ada di Indonesia, baik PT swasta, PT berbadan hukum
(PT dengan otonomi non-akademik), maupun PTN (yang katanya tidak otonom dalam
pengelolaannya). Bisa disimpulkan, kebebasan akademik berlaku di mana pun dan
apa pun bentuk PT-nya.
Kedua, kita juga harus melihat pengaturan
kebebasan akademik dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. UU ini penting
karena sebagian dosen dan profesor khawatir bila universitas tak otonom,
kebebasan akademik akan mati.
Dalam Pasal 51 Ayat (1) dinyatakan bahwa dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: (a) memperoleh penghasilan di
atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (b) mendapatkan
promosi dan penghargaan sesuai tugas dan prestasi kerja; (c) memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (d)
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar,
informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat; (e) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan; (f) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
menentukan kelulusan peserta didik; dan (g) memiliki kebebasan untuk berserikat
dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.
Dari pasal ini, terutama huruf e, bisa dikatakan
bahwa dosen dan profesor tetap berhak memiliki kebebasan akademik. Pasal 1
angka 2 tidak membedakan pengertian dosen di universitas yang memiliki otonomi
pengelolaan ataupun dosen dari universitas yang ”tidak otonom dalam
pengelolaannya” sehingga kebebasan akademik dapat dirasakan oleh semua dosen
Kemudian, dalam Pasal 75 UU Guru dan Dosen,
kebebasan akademik ini dipertegas. Ayat 2 dan 4 menyatakan, seorang dosen
berhak atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas
dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pembatasan kebebasan akademik,
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang
dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
Bahkan dalam Ayat (6) ditegaskan: dalam rangka
kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan
sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Lebih
jauh lagi, Pasal 79 UU Guru dan Dosen secara tegas menyatakan, PT yang melanggar
hak dosen, termasuk hak atas kebebasan akademik, diancam dengan sanksi
administrasi.
Kesimpulan
Pengaturan kebebasan akademik di kebijakan
pendidikan Indonesia tidak sebatas pada apa yang diatur oleh RUU Pendidikan
Tinggi. Kebebasan akademik juga tidak bergantung pada bentuk kampus itu seperti
apa. Semua PT wajib menjunjung tinggi kebebasan akademik, sebagaimana sudah
diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas.
Kunci kebebasan akademik ada pada setiap insan
akademis di dalam universitas, bukan bentuk universitasnya. Kebebasan akademik
bagi insan akademis di PT telah cukup dilindungi dalam UU Sisdiknas serta UU
Guru dan Dosen.
Lantas, bila tidak memengaruhi kebebasan akademik
di Indonesia, mengapa para pembuat kebijakan tetap memaksa untuk mengesahkan RUU
Pendidikan Tinggi ini?
Yura
Pratama Yudhistira
Anggota
Komite Nasional Pendidikan
KOMPAS,
13 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi