KEMARIN, 25 November 2012,
bertempat di Warung Daun Wolter Monginsidi, Jakarta, sejumlah pakar dan
praktisi pendidikan dari beragam latar belakang keilmuan bersepakat merilis
petisi tentang reposisi ujian nasional (UN). Itu bertujuan untuk mengingatkan
sekaligus menggugat otoritas pendidikan di Tanah Air (baca: Kemendikbud) yang
seakan salah kaprah dalam menerjemahkan hasrat untuk menjadikan pendidikan
lebih berkualitas. Ujian nasional dianggap salah arah karena bertentangan
dengan naluri teori belajar yang seharusnya mendominasi kebijakan bidang
pendidikan yang bermutu.
Petisi tersebut menjadi kian
menarik karena digagas begitu banyak pendidik yang menyadari arti penting
pendidikan bagi perkembangan suatu bangsa. Mereka secara terus terang
menyatakan Petisi untuk Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional itu ditujukan
sebagai penyikapan terhadap semakin buruknya dampak ujian nasional bagi upaya
pencerdasan kehidupan bangsa. Belenggu ujian nasional telah secara signifikan
mereduksi pendidikan nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja
yang nirnalar dan beriman pragmatis.
Benarkah UN sudah menjadi pabrik
pekerja yang nirnalar dan beriman pragmatis? Apa implikasi nirnalar dan beriman
pragmatis dalam konteks kehidupan secara luas di masyarakat kita? Itu dua
pertanyaan yang harus terus diuji siapa pun yang mencintai pendidikan di Tanah
Air. Jika memang terbukti bahwa proses pendidikan kita menjadikan anak-anak
mencintai ijazah dan kelulusan semata, tanda-tanda kebangkrutan sosial sudah di
depan mata.
Namun jika pendidikan masih
mempertimbangkan aspek moralitas, etika, dan kohesi sosial yang kuat, prosesnya
tentu saja harus diubah sedemikian rupa sehingga ketakutan untuk tidak lulus
dan gagal bisa diminimalkan dan anak-anak dapat lebih percaya diri dengan
kegagalan mereka.
Dalam rumusan petisi itu, UN
dianggap sebagai jenis ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa, guru, dan
sekolah. Dinas pendidikan daerah telah menyepelekan proses pendidikan dasar dan
menengah menjadi berfokus pada kelulusan dalam ujian nasional semata. Berbagai
permasalahan dan perilaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi logis
penempatan ujian nasional, antara lain, penyempitan kurikulum, pengastaan mata
pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hafalan,
dan perilaku jalan pintas.
Tentu saja tak sembarangan jika
para pakar dan praktisi pendidikan yang mendeklarasikan petisi tersebut
memiliki anggapan negatif tentang UN. Penyempitan kurikulum jelas sangat
terlihat nyata jika faktanya ialah kemampuan guru dalam membuat rencana
pembelajaran. Dalam bahasa Fenwick W English (2002), kemampuan guru untuk
melihat secara komprehensif dan luas keterpautan dokumen tertulis (written
curriculum) dengan cara mengajarkannya (taught) dan mengujinya (tested)
sangatlah rendah untuk tidak mengatakannya terbiasa menyontek SKKD yang bak
barang suci dan tidak bisa diubah sebagai basisnya. Di situlah terlihat bentuk
penyempitan kurikulum terjadi.
Pengastaan mata ajar juga terjadi
karena secara kasatmata jumlah mata ajar yang dipelajari di sekolah dengan mata
ajar yang akan diujikan secara nasional dan memengaruhi kelulusan siswa sangat
mencolok. SMP dan SMA belajar kurang lebih 13-14 mata pelajaran, yang diujikan
secara nasional hanya 4-5. Belum lagi pengastaan secara rumpun, yang terkadang
baik guru maupun orangtua memberikan status berbeda antara anak-anak yang
cenderung ke ilmu sosial dan anakanak ilmu pengetahuan alam. Bahasa kebijakan
pendidikan kita jelas tidak memberikan pemahaman yang benar bahwa semua mata
ajar sesungguhnya berhubungan satu sama lain dan tugas gurulah untuk
mengintegrasikannya ke dalam skema belajar-mengajar secara baik.
Efek dari dua hal pertama yang
menjadi keprihatinan para pakar dan praktisi penggagas petisi itu saja telah
melunturkan hasrat dan suasana kesenangan dalam proses belajar mengajar, serta
menggantinya dengan suasana keterpaksaan dan ketakutan. Karena itu, ja ngan
heran jika implikasi negatif dari UN yang sudah terlihat ialah usaha kecurangan
masif dan sistematis dari satuan pendidikan, perilaku kecurangan kolektif,
kecanduan pada bimbingan tes dan latihan soal, serta berbagai tindakan ritual
keagamaan maupun klenik yang tidak proporsional dan mengasingkan rasionalitas.
Alasan lainnya yang juga harus
dikritisi ialah UN secara sadar telah berlaku tidak adil karena memberlakukan
kelulusan standar di seluruh Indonesia yang bersifat menghukum pelaku
pendidikan. Karena itu, reposisi terhadap UN menjadi perlu dan penting agar UN
kembali ke fungsi seharusnya, yaitu sebagai salah satu uji diagnostik untuk
pemetaan kualitas layanan pendidikan dengan menaati kaidah-kaidah uji
diagnostik yang tepat (dilakukan dengan pengambilan sampel secara periodik 3-5
tahunan, mendalam, dan mencandra spektrum kecakapan yang benar-benar penting
untuk kehidupan di abad ke-21), serta tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta
didik ataupun penghakiman terhadap guru dan satuan pendidikan.
Selebihnya, biarkan sekolah
dengan segala macam pernak-pernik mereka menjadi penanggung jawab tunggal
kelulusan siswa-siswa mereka, sambil tak lupa terus memberi pengayaan
perspektif manajemen sekolah yang efektif dan dicintai masyarakat sekitarnya.
Jika kita berkeyakinan bahwa UN sebagai alat ukur kualitas pendidikan nasional,
yang harus diperhatikan ialah unit atau satuan sekolah atau lembaga pendidikan,
bukan mengorbankan anak-anak dengan hukuman lulus dan tidak lulus. Kesalahan
dalam melihat sekolah sebagai unit analisis kualitas pendidikan itulah yang
terus berlangsung sehingga negara seakan abai dan lalai dalam membangun
kesadaran warga tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam memajukan
pendidikan di lingkungan masing-masing
Ahmad
Baedowi ;
Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar demi Refleksi